"Kamu?" tanya Key tak percaya. Rava menyorot tajam dan penuh kebengisan ke arah wajah Lisa. Punggung perempuan itu tampak masih menempel di dinding lift, dengan kedua tangan yang berada dalam cengkeraman tangan sang pacar. "Tolong jelaskan kepadaku, Lisa. Apa maksud dari semua itu tadi?" tanya Rava sembari menggigit gigit. Geram. "Rava, sakit. Tolong lepasin," mohon Kayl "Sakit katamu, hah? Sakit mana dengan hatiku, hmm? Bertahun-tahun aku berjuang, hanya untuk bisa melamarmu suatu hari nanti, tapi apa yang aku dapat? Kau malah mau menikah dengan Pak Brayan?" "Ini tidak seperti yang kamu bayangkan, Rava. A—aku ...." Key mencoba untuk menjelaskan tapi terhenti. "Tidak seperti yang aku bayangkan bagaimana? Jelas-jelas tadi Pak Brayan bilang, jika kalian akan segera menikah. Apa kau mau bilang jika itu hanya lelucon saja?" Kayla menggeleng dengan kepala yang menunduk. Ia benar-benar bingung dengan situasi ini. Bagaimana cara menjelaskan kepada laki-laki yang ada di depannya
"Perkenalkan, ini Lisa, calon istri saya," ucap Brayan santai. "What?!" Elena dan semua yang mendengar pengakuan Brayan terkejut luar biasa. Mereka sampai ricuh dan saling lihat satu sama lain. Tak terkecuali Rava. Pria berjas abu-abu itu bahkan sampai tak mengedipkan matanya sejak dari Key melangkah naik ke atas panggung dan berdiri sembari tersenyum manis di sisi sang CEO. 'Lisa? Dia akan menikah dengan Pak Brayan? Bagaimana bisa? Semalam aku baru bertemu dengannya dan dia tampak baik menyambut kedatangan dan niat baikku. Apa itu semua hanya sandiwaranya untuk menutupi perselingkuhannya selama ini?' Tangan Rava menggenggam erat. Dengan penuh kekecewaan, ia pun berbalik dan langsung berlalu, keluar dari ruangan itu. Entah ke mana ia akan pergi? Yang jelas, ia ingin meluapkan kekesalannya terlebih dahulu sebelum melanjutkan acara tersebut. Begitu menyesakkan, saat melihat pengkhianatan yang Lisa lakukan di depan matanya. Bagaimana tidak, selama ini ia telah berjuang hab
Key duduk sembari terus menatap ke arah gedung tinggi yang ada di depannya. Memainkan tangan Lisa demi menghilangkan rasa gugupnya yang kian membuncah. Itu kantor milikinya, tapi rasanya seperti neraka bagi dia yang masih terjebak di dalam tubuh sang pelakor. Kalau saja raganya bukan raga Lisa, melainkan raga perempuan lain, mungkin ia tidak akan se-nervous ini. Terlebih saat mengingat bagaimana dulu ia dan Lisa berseteru di depan semua karyawan, ia yakin, para karyawannya belum amnesia dengan kejadian itu. 'Bagaimana jika saat mereka melihatku, aku justru di perlakukan kasar. Diserang seperti saat Elena menyerangku waktu itu? Astaga, aku bisa mati di sana.' Key membuang napas kasar. Bersamaan dengan kekhawatiran Kayla, Brayan pun sudah kembali ke mobil. "Maaf ya aku lama. Nih, untukmu." Brayan menyodorkan sekaleng coffee dingin yang baru saja ia beli dari mini market kepada Lisa. "Terima kasih, Mas." Key memasang raut wajah datar di wajah selingkuhan suaminya itu. Melihat
Lima bulan yang lalu .... "Kau sudah atur jadwal pertemuan kita dengan pihak ketiga pada proyek yang kemarin?" tanya Kayla pada bawahannya yang sedang mengikuti langkahnya yang tergesa. Ia ada meeting dadakan sebentar lagi, jadi harus segera tiba di ruangan sebelum kliennya tiba. "Sudah, Bu. Saya sudah atur jadwalnya. Pukul delapan malam ini di Hotel Ocean," jawab sang bawahan. "Bagus. Terus soal proposal kita yang akan diantar kepada Pak Ridwan, apa sudah kamu selesaikan." "E ... untuk itu, saya ... saya belum ...." Key menghentikan langkahnya saat mendengar jawaban terbata dari bawahannya. Ia pun berbalik dan melihat tajam kepada pria berkemeja putih dengan dasi biru dongker tersebut. "Kenapa kamu belum menyelesaikannya?" tanya Key dengan raut wajah kesal. "E ... maaf, Bu. Saya kemarin harus mengerjakan yang lain, jadi ...." "Astaga, Brayan! Kamu tahu kan kalau proposal itu harus diantar besok sebelum pukul dua. Kalau telat, mereka tidak akan mau menerimanya lagi. Ka
Selang dua puluh menit, mobil Brayan sudah tiba di depan rumah Lisa. Bersamaan dengan itu, tampak Hendra yang juga baru pulang dengan langkah sempoyongan. Berjalan ke arah Brayan dan berhenti tepat di depan selingkuhan anaknya itu. "Selamat malam, Pak," sapa Brayan sopan. "Eum, malam juga. Mau jemput Lisa kau?" tanya Hendra sinis. "Iya ... soalnya besok ...." Belum selesai Brayan dengan kata-katanya, Key sudah lebih dulu keluar dan langsung menyapa sang suami. "Maaf ya, Mas, aku lama." sandiwaranya. "Tidak apa-apa sayang. Justru harusnya aku yang minta maaf, karena sudah buat kau nunggu lama. Tadi ada meeting dengan klien, jadi aku pulangnya agak malam," jelas pria yang masih memakai setelan jas kantornya itu. "Tidak apa-apa kok, Mas. Aku juga sudah kangen sama kamarku. Malah tadi aku pikir Mas tidak akan datang dan aku bisa menginap di sini." Key melepas senyum palsunya. "Ya tidak dong sayang. Lagian besok kan ada acara penting yang harus kita hadiri," jelas Brayan yang
Key terus menatap Rava, begitu juga sebaliknya. Pandang mereka bertemu untuk beberapa saat. Niat hati ingin memberitahu pria itu tentang siapa ia sebenarnya, berakhir batal karena Kayla teringat jika ada Bagas di antara mereka. "Lis, aku kangen sekali sama kamu. Jangan minta putus lagi ya?"ucap Rava dengan suara berat sarat akan menahan kesedihan. "Minta putus?" Key bertanya. "Eum, seperti yang sudah-sudah. Aku tahu Lis, aku ini bukan laki-laki kaya raya seperti yang kamu mau, tapi aku mohon sama kamu, kasih aku kesempatan. Aku akan buktikan ke kamu, yang aku sungguh-sungguh untuk menjadikan kamu istri. Kamu mau kan sayang?" tutur Rava dengan penuh ketulusan. Key terdiam dan membeku di tempatnya. Dalam sekejap, ia langsung terpana dan masuk ke dalam perasaan haru yang luar biasa. Seumur-umur, baru kali ini ia mendengar kata-kata yang begitu indah dari seorang laki-laki. Setelah lama membisu, Key pun kembali bersuara. "Kenapa kamu mau melakukan semua ini, Rava?" tanyanya men