LOGINLisa benar-benar terkejut dengan apa yang Rava lakukan. Tak sangka jika pria itu akan berbuat sesuatu yang membuat mereka seperti mengulang kisah lama. Duduk dan jalan-jalan dengan motor sport itu, rasanya benar-benar seperti baru saja terjadi. "Rava, tidak harus peluk." Lisa berusaha untuk menolak. "Ya sudah terserah kau. Kalau jatuh tanggung sendiri." Rava mulai menarik gas motornya. Lisa tersentak. Dan dengan gerakan refleks ia pun terpaksa memeluk erat tubuh Rava. "Rava, jangan balap-balap. Nanti kopernya jatuh." Lisa memperingati mantan kekasihnya itu. "Kau tenang saja, aku sudah bertahun-tahun mengendarai motor ini. Tidak akan terjadi apa-apa dengan kita." "Tapi aku takut Rava." Lisa memejamkan mata dengan kepala yang bersandar pada punggung pria itu. Tak lama, mereka pun sudah tiba di tepi jalan utama. Di sana, suasana sedikri lebih ramai dari desa Lisa. Banyak kendaraan yang lalu lalang. Rava langsung menghentikan motornya di depan sebuah toko yang sudah tutup.
Bruk! Lisa jatuh karena menabrak tempat sampah. Tubuhnya langsung terguling di atas tumpukan sampah yabg berserakan. Bau busuk dan amis langsung menyeruak dan menempel pada bajunya. "Aduh ... sakit?" erang Lisa. Ia melihat kepada siku tangannya yang sedikit lecet. Sementara para pria mabuk itu semakin dekat. Lisa ingin bangkit, tapi energinya sudah terlanjur habis saat lari dan terjatuh. Ia pun mulai pasrah. Berharap ada keajaiban yang mau membantunya. Tak lama, tiga pria oplosan itu sudah berdiri di dekatnya. "Yah ... jatuh kan? Makanya jangan lari, Neng. Coba kalau Neng tidak menghindar, kan tidak akan jatuh seperti ini." Para pria itu tergelak. Mereka benar-benar terlihat bahagia. Seperti seseorang yang mendapatkan hasil pancingan berupa seekor ikan besar. Puas dan senang sekali. "Malam ini kita senang-senang," gumam salah seorang dari mereka. Pria itu bersiap, hendak menyentuh wajah Lisa. Akan tetapi, belum juga niatnya itu terealisasikan, dari arah belakang, seseor
Hari semakin larut, menyisakan gelap yang pekat dan aroma malam yang kian mencekam. Di bawah bias minim lampu jalan yang temaram, Rava duduk tak bergerak di atas jok kokoh motor sport miliknya. Sebuah kuda besi hitam legam yang berkilauan pasif, memantulkan sedikit sisa cahaya. Kepulan asap rokok itu tampak seperti bayangan putih yang melayang dalam kegelapan. Keheningan yang mendalam hanya dipecah oleh tarikan napasnya yang sesekali. Dan kini, ada makhluk lain yang tengah berdiri di dekatnya. "Mau ke mana kau malam-malam begini?" tanyanya pada Lisa yang berdiri seperti patung tak jauh dari posisi motornya. "Hah, kamu lagi. Kok bisa ya, kamu ada di mana-mana? Sudah seperti hantu saja, ck!" Lisa terlihat kesal. "Sudah, tak perlu kamu tanya ke mana aku. Aku mau ke mana itu bukan urusanmu, urus saja dirimu sendiri," lanjutnya yang setelah itu kembali menarik koper. Rava tersenyum miring. Kemudian kembali menarik dalam-dalam filter rokoknya, sebelum akhirnya ia buang ke tempat sa
"Bangsat ...! Aku diusir seperti sampah." Lisa membuka pintu lemari dengan gerakan murka yang membabi buta. Amarahnya benar-benar tak terkendalikan lagi. Mengambil pakaiannya dengan cara acak dan berantakan. Di belakangnya, Brayan berdiri di pintu dengan tatapan heran. Terus memperhatikan sang selingkuhan yang sedang mengamuk seperti banteng. "Mau ke mana kau?" tanyanya. Posisi kedua tangannya sudah berada di dalam saku celana. "Jangan tanya-tanya!" teriak Lisa. Ia sudah selesai dengan baju-bajunya dan segera menutup koper. Mengangkat dan bersiap untuk menyeretnya keluar dari rumah itu. "Tadi Mas yang sudah usir aku," ucapnya lagi dengan tatapan tajam dan menikam. Sorot mata permusuhan begitu kentara di wajah yang dulu selalu merayu dan membuat laki-laki itu menjadi candu. "Aku tidak mengusirmu." "DIAAAMM!" teriak Lisa lagi. Dadanya kembang kempis karena marah. Jika tak ingat kalau yang di depannya ini adalah Brayan, pasti sudah habis ia pukuli. Kalau perlu, sampai mati sek
"Menikah?" tanya Brayan. "Eum. Tiga hari lagi kan?" tanya Lisa balik. "Oh ... ternyata kau sudah tahu, ya?" tanya Brayan sembari melepas senyum penuh kepalsuannya. Sumpah, mendengar kata-kata Lisa, membuat Brayan seperti terjebak dalam permainannya sendiri. Niat hati ingin terus bersama dengan istri tercinta, nyatanya, malah sang selingkuhan yang ada bersamanya. Ini namanya sudah jatuh, ketimpa tangga pula. "Tahu dong, Mas. Emang apa sih yang aku tidak tahu tentang Mas. Dari mulai tanggal lahir Mas, pin ponsel Mas, pin kartu debit, kredit, semuanya. Sampai ukuran celana dalam Mas juga aku tahu, kan?" Lisa mengedipkan sebelah matanya. Brayan tertawa pelan mendengarnya. Ternyata begini resikonya selingkuh dengan perempuan tanpa urat malu. Dan ... yah, pelakor kan memang tidak punya malu, ya kan? "Kau bisa saja." Lisa masih tersenyum seraya terus menatap pria itu. "Sekarang giliran Mas. Mau ngomong apa?" tanya Lisa penasaran. Ia yakin, pasti yang ingin Brayan katakan adal
Lisa terdiam. Sorot matanya masih terpatri kepada Rava. Dalam tawaran pria itu, jelas, ada hal yang harus ia perhitungkan. Dan ia bukanlah perempuan bodoh jika sudah berbicara soal materi. "Kamu memberiku sebuah cincin tapi menyuruhku untuk meninggalkan Mas Brayan? Kamu ini sadar atau tidak sih? Cincin seperti ini, lebih dari satu bisa dia berikan kepadaku. Ngerti?" Lisa segera melangkah meninggalkan toko perhiasan itu. "Mbak, nanti dulu ya?" Rava mengembalikan cincin tersebut kepada pelayan toko. Kemudian segera berlari mengerjar Lisa yang hampir sampai di mobilnya. "Lis ... Lisa ... Tunggu Lis." Rava terus memanggil nama kekasihnya itu. "Aku mau pulang saja," ucap Lisa seraya membuka kunci mobilnya. "Lis, tunggu." Rava sudah menahan lengan Lisa, tapi cepat ditepis oleh Lisa. "Apa sih, kamu? Aku mau pulang. Kamu sendiri kan yang bilang, kalau aku ini sudah akan menikah dengan Mas Brayan. Kenapa masih kamu ganggu sih?" "Aku tahu, Lis. Tapi aku mohon, tolong kamu pertim







