Rumah Sakit
Langkah Brayan dan Key terlihat lebih cepat dari biasanya. Mereka baru saja tiba di rumah sakit dan akan segera melihat keadaan korban yang diduga Kayla Anindita itu. Dari kejauhan, tampak beberapa orang polisi berjaga di depan sebuah ruangan yang merupakan tempat korban kecelakaan maut itu berada. Tanpa menunda lagi, Brayan pun segera menghampiri mereka. "Pak ... Pak ... di mana istri saya?" tanya Brayan dengan raut wajah cemas. "Apa Bapak suami dari Ibu Kayla Anindita?" tanya salah seorang polisi. "Iya, Pak. Benar ... Saya suami Kayla Anindita. Istri saya baik-baik saja 'kan, Pak? Dia tidak kenapa-kenapa 'kan?" cerca Brayan. Para polisi itu tampak terdiam untuk beberapa saat. Setelah saling melempar pandang satu sama lain, akhirnya salah seorang dari mereka berbicara dan berkata, "Maaf, Pak. Ibu Kayla ... beliau sudah meninggal dunia." What? A—aku mati? I am dead? How can be? Duaar! Seperti mendengar petir di siang bolong, jantung Brayan begitu tersentak dan terkejut luar biasa. Seolah raganya seperti ketiban bongkahan batu yang cukup besar, ia langsung kehilangan keseimbangan dan nyaris ambruk di tempatnya berdiri. Untung saja Key cepat memegang lengan suaminya itu. "Mas baik-baik saja?" tanya Key berlakon sebagai Lisa. Brayan lalu menoleh ke arah Key dan menatap selingkuhannya itu untuk beberapa saat. Tak ada sepatah kata pun yang ia ucapkan, hanya saja, Key bisa melihat sorot mata yang mulai berkaca-kaca itu. "Mas ... duduk dulu ya?" tawar Key. Brayan menolak sembari menggelengkan kepalanya. Lama menahan, akhirnya bulir-bulir air bening itu jatuh juga di wajah pria tampan tersebut. Dan itu adalah untuk kali pertama dalam hidup seorang Key, ia melihat suaminya menangisi dirinya. "Aku harus melihat dia, Lis. Aku ... aku yang membuat Kayla mati. Aku yang sudah membunuhnya." Brayan tampak begitu menyesal. Deg! Detak jantung Kayla meningkat pesat. Dalam hati ia hanya bisa berkata, 'Apa kamu menyesal, Brayan? Apa kamu mengakui kesalahanmu?' "Mas, sudah ... jangan menyalahi diri Mas terus. Mungkin semua ini memang sudah jalan takdir. Mas tidak membunuhnya?" Key berusaha untuk membuat Brayan berhenti menyalahi diri sendiri. "Aku mau melihat, Key." Brayan sudah berdiri dan langsung masuk ke dalam ruangan yang ternyata merupakan kamar jenazah. Key pun tak menahannya lagi. Ia akan membiarkan Brayan meluapkan kesedihan hatinya dulu. Dengan perlahan, Key berjalan menyusul Brayan, masuk ke dalam ruang jenazah tersebut. Tampak dari pintu sesosok tubuh perempuan di tutupi dengan kain putih yang bersimbah darah. Sosok itu sudah kaku dan menjadi mayat. Brayan mencoba untuk membuka kain yang menutupi kepala agar bisa melihat wajahnya. Dan ... setelah kain tersingkap, betapa terkejutnya Key, saat melihat dirinya sendiri sudah terbujur kaku dengan wajah pucat pasi di atas brankar tersebut. Ya Tuhan, i—itu aku? A—aku benar-benar sudah mati? Tubuh Key panas dingin. Ia bahkan lebih shock dari suaminya sendiri. Terang saja, siapa yang tidak meriang melihat jenazah diri sendiri. Key bahkan merasa, jika ia kini tak bedanya seperti roh yang melihat jasadnya sendiri. Kata orang-orang begitu. "Kayla ... Key ...! Sayang ...! Buka matamu Key. KAYLA ...!" teriak Brayan sembari menggoyang-goyangkan tubuh istrinya. "Ini aku, Key ... Brayan, suamimu," tutur pria itu lagi. Key yang sudah menyandarkan punggungnya pada tembok rumah sakit tampak mengangkat kepalanya saat mendengarkan kata-kata Brayan. Selain kalimatnya yang begitu menyentuh hati, cara pengucapan Brayan juga terdengar begitu tulus. Ditambah dengan air mata yang sedari tadi tiada berhenti mengalir, Brayan ... benar-benar kehilangan sosok istrinya. "Kenapa ini bisa terjadi, Key. Kenapa kau pergi disaat kita sedang bertengkar? Aku bahkan belum sempat untuk meminta maaf padamu. Kembali Key, kembali padaku. Key ... KEY ...!" Key berjalan mendekati Brayan dan langsung memeluk tubuh pria itu. Seperti Brayan, ia pun sama terlukanya. Air matanya mengalir saat melihat betapa sedihnya suaminya saat ia mati. "Mas, sudah ya? Ikhlaskan dia. Mas juga tidak boleh menyalahkan diri Mas terus-menerus. Semua yang terjadi sudah menjadi suratan takdir. Mas harus terima." Key mengelus-elus punggung Brayan. Brayan bangkit dan beralih menatap kepada Key (Lisa). Matanya yang basah sudah cukup menjadi bukti jika ia begitu kehilangan. Sorot mata yang biasanya tajam dan binal itu, seolah hilang begitu saja. Key mengusap lembut wajah Brayan. Melepas senyum manis sebagai bentuk dukungannya kepada suaminya itu. Meski pun saat ini suaminya belum tahu siapa dia sebenarnya, tapi Key tetap berusaha untuk membuat Brayan merasa tidak sendirian. "Yuk ...," ajak Key. Brayan pun menutup kembali kain kepala jenazah Key. Namun sebelum itu, ia sempat memberikan istrinya itu satu buah kecupan perpisahan. Sebelum nanti tubuh Key benar-benar dikebumikan. Sepanjang perjalanan kembali ke hotel, Brayan tampak murung dan tak berkata apa-apa. Pandangannya terus saja lurus ke arah depan dengan kedua tangan berada pada kemudi. Key yang berada di sampingnya juga ikut-ikutan diam. Mereka sama-sama kehilangan. Brayan kehilangan separuh jiwanya, sedang Key kehilangan raganya. Ia bahkan tidak tahu sampai kapan ia akan bertahan di tubuh Lisa. Dan, yang tidak terjawab hingga saat ini, roh Lisa ada di mana, jika raganya ada bersama Key? *** Hujan turun gerimis mengantarkan kepergian Kayla Anindita. Seorang pimpinan perusahaan besar yang selama ini terkenal disiplin dan tegas pada semua bawahannya. Sosoknya yang perfeksionis dan dianggap sedikit angkuh membuat banyak karyawan tidak berempati dengan kematiannya. Padahal, Key adalah wanita yang baik dan berhati lembut, bagi mereka-mereka yang mengenalnya secara intens. Seperti misalnya Elena Rosalina. Sahabat sekaligus asisten pribadi Key. Semasa hidup, Elena selalu mendampingi Key ke mana saja. Bagi perempuan berusia tiga puluh tahun itu, Key bukan sekedar atasnya di perusahaan, tapi juga sahabat tempat saling bertukar pikiran. Bahkan tak jarang Key mencurahkan isi hatinya kepada Elena. Baik masalah kantor yang setinggi gunung Himalaya, sampai masalah pribadinya, semua ia ceritakan. Kini, Key telah pergi. Pemakamannya juga baru saja dilaksanakan. Orang-orang mulai meninggalkan TPU dan hanya menyisakan mereka bertiga. Brayan, Key (Lisa) dan Elena. "Mas, ini ...," Key memberikan sebotol air kepada Brayan, untuk disiram ke atas gundukan tanah kuburan Key yang masih basah. "Thank you, Lis," ucap Brayan sembari tersenyum simpul. "Oh, jadi benar kamu yang namanya Lisa?" tanya Elena tiba-tiba. Dia sudah berdiri di belakang Key yang masih berjongkok ditepi makam mengikuti Brayan. Key menoleh ke belakang. Ia tersenyum ke arah Elena dan langsung bangkit berdiri. "Ele—" "Dasar perusak rumah tangga orang. Pelakor! Perempuan binal ...!" Elena menyerang dan langsung menjambak rambut Key secara tiba-tiba. "Aw ... aw ... aw ... sakit!" Pekik Kayla. Astaga, Elena. Ini aku, Key ... atasanmu. Aih, gimana sih?!"Ikut?" tanya Brayan dengan nada yang sedikit kaget. "Iya, ikut. Kenapa? Tidak boleh?" tanya Key balik. Brayan kembali menutup pintu dan berjalan ke arah Key. Langsung menyentuh kedua lengan perempuan itu dan berkata, "Sayang ... dengar, kau kan tahu kalau hubungan kita ini belum resmi. Apa kata orang-orang nanti kalau aku pulang ke rumah Key dengan membawa perempuan lain? Mereka bisa salah paham. Kau tunggu di sini saja ya?" Key menepis kedua tangan Brayan. "Tidak! Pokoknya aku tetap mau ikut. Aku bosan di sini terus. Mas kurung Seperi burung di dalam sangkar emas." Brayan membuang napas kasar. "I know sayang, i know. Tapi untuk saat ini, please ... aku minta kau mengerti. Keadaannya sangat tidak memungkin untuk kau ikut. Aku mohon, mengertilah sedikit." "Mas kenapa sih? Bukannya istri Mas sudah meninggal ya? Kenapa sekarang Mas seperti takut kalau orang-orang tahu tentang kita?" Key terus bersandiwara. "Bukan begitu sayang ...." Key bergerak mengambil tas dan kaca m
'Mati aku, mati ...! Tampaknya Brayan mulai menyadari gelagat aneh ku. Bagaimana mungkin aku tahu semua yang Lisa tahu?' 'Ini baru perkara toilet, bagaimana lagi jika Brayan melihat kulitku yang memerah karena alergi seafood? Come on Key, tetap tenang dan jangan terlihat panik. Kamu harus cari cara agar Brayan tidak curiga jika kamu bukan Lisa.' Key memegang pelipis dengan kedua tangannya. Setelah merasa cukup tenang, ia pun menarik napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan. Kemudian mulai membongkar tas Lisa dan mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk meredakan sedikit gatal-gatal di tubuhnya. "Astaga apa ini?" tanya Key saat membongkar semua isi tas Lisa. "Pil kontrasepsi? Heh?" Key terkekeh saat mendapati obat pencegah kehamilan di dalam tas Lisa. Tenyata selingkuhan suaminya ini pintar juga. Meminum obat kontrasepsi agar tidak kebobolan saat berhubungan. 'Menjijikkan!' Key lalu mengambil sesuatu yang mirip dengan aroma balsem tapi dalam bentuk roll on. Langsu
Brayan yang melihat apa yang asisten pribadi istrinya itu lakukan pun segera bangkit dan membantu selingkuhnya. "Elena, cukup!" hardik Key. Elena pun segera melepaskan jambakan tangannya dan berdiri sembari bersedekap dada. Sebenarnya, ia masih sangat ingin melanjutkan aksi gilanya itu. Jika perlu, sampai perempuan bernama Lisa itu berdarah-darah. Namun, berhubung Brayan sudah melarangnya, ia pun tidak bisa berbuat apa-apa. Semasa hidup, Elena memang bekerja dengan Key. Namun setelah atasannya itu meninggal, sudah pasti kini yang menggantikan menjadi CEO perusahaan adalah Brayan. Mengingat, Key adalah anak tunggal yang sudah yatim piatu semenjak SMA. Siapa lagi ahli waris perusahaan Key jika bukan Brayan? "Ini makam Key, tolong bersikaplah yang baik," terang Brayan lagi. Heh, bersikap baik konon. Buat apa bersikap baik pada kuburannya? Sedang saat orangnya masih hidup kalian justru bersikap semena-mena. (Monolog Elena) "Lisa, apa kau lapar?" tanya Brayan mengalihkan suasana
Rumah Sakit Langkah Brayan dan Key terlihat lebih cepat dari biasanya. Mereka baru saja tiba di rumah sakit dan akan segera melihat keadaan korban yang diduga Kayla Anindita itu. Dari kejauhan, tampak beberapa orang polisi berjaga di depan sebuah ruangan yang merupakan tempat korban kecelakaan maut itu berada. Tanpa menunda lagi, Brayan pun segera menghampiri mereka. "Pak ... Pak ... di mana istri saya?" tanya Brayan dengan raut wajah cemas. "Apa Bapak suami dari Ibu Kayla Anindita?" tanya salah seorang polisi. "Iya, Pak. Benar ... Saya suami Kayla Anindita. Istri saya baik-baik saja 'kan, Pak? Dia tidak kenapa-kenapa 'kan?" cerca Brayan. Para polisi itu tampak terdiam untuk beberapa saat. Setelah saling melempar pandang satu sama lain, akhirnya salah seorang dari mereka berbicara dan berkata, "Maaf, Pak. Ibu Kayla ... beliau sudah meninggal dunia." What? A—aku mati? I am dead? How can be? Duaar! Seperti mendengar petir di siang bolong, jantung Brayan begitu te
"Morning, sayang. Maaf ya, aku tadi harus balas pesan dari istriku dulu," terang Brayan seraya menyapu wajah Key dengan bibirnya. "Istri?" Key terkejut mendengarnya. Seingatnya, ia dan Brayan sudah menikah resmi secara agama dan negara. Itu artinya, ia adalah istri sahnya Brayan, tapi kenapa sekarang berganti menjadi ani-ani? Key tidak mengerti. Apa semalam aku bermimpi? Apa sebenarnya perselingkuhan Brayan dan perempuan itu tidak pernah terjadi? Tapi ... siapa istri yang Brayan maksud? Berbagai pertanyaan terus menggerogoti hati dan pikiran Key. Tanpa bertanya, ia lantas bangkit dan berkata, "Maaf, aku harus ke kamar mandi dulu. Cuci muka ... iya ...." Key melepas senyum keterpaksaan dan segera berlalu ke toilet. "Aneh, kenapa aku bisa ada di kamar hotel ini. Bukankah semalam aku sudah kembali ke rumah? Lalu apa yang sebenarnya terja—, Aaa ....!" Key berteriak keras saat melihat wajahnya di cermin. Oh ... My ... God! Apa ini? Ke—kenapa wajahku berubah menjadi wajah ...
Kata orang, mata dibalas mata, tangan dibalas tangan, dan hati juga dibalas dengan hati. Tapi tidak bagi seorang Kayla Anindita. Pengkhianatan idealnya dibalas dengan kematian. Deal. Tidak ada kompromi kalau soal sakit hati. Dan orang yang sedang kecewa, acap kali kalap dalam bertindak. Bodoh amat! Key seolah tidak peduli dengan apa yang ia lakukan. Baginya, suami dan pelakor itu adalah sampah yang harus ia musnahkan sesegera mungkin. Kalau terus dibiarkan hidup, akan semakin busuk dan baunya bakalan menyengat indera perasaan Kayla. Hati. Mampus lah kalian berdua! Selamat jalan menuju neraka. Titip salamku pada malaikat pencabut nyawa dan malaikat penjaga gerbang jahanam. Gumam Key pada diri sendiri. Setelah berhasil menjalankan aksinya, Key pun lantas segera bergerak menuju mobilnya. Ia tidak mau jika sampai ada yang tahu apa yang sudah ia lakukan pada mobil Brayan. Jika sampai suaminya dan wanita bernama Lisa itu tewas dan ia terbukti menyabotase kecelakaan mereka, Key b