LOGINBrayan yang melihat apa yang asisten pribadi istrinya itu lakukan pun segera bangkit dan membantu selingkuhnya. "Elena, cukup!" hardik Key.
Elena pun segera melepaskan jambakan tangannya dan berdiri sembari bersedekap dada. Sebenarnya, ia masih sangat ingin melanjutkan aksi gilanya itu. Jika perlu, sampai perempuan bernama Lisa itu berdarah-darah. Namun, berhubung Brayan sudah melarangnya, ia pun tidak bisa berbuat apa-apa. Semasa hidup, Elena memang bekerja dengan Key. Namun setelah atasannya itu meninggal, sudah pasti kini yang menggantikan menjadi CEO perusahaan adalah Brayan. Mengingat, Key adalah anak tunggal yang sudah yatim piatu semenjak SMA. Siapa lagi ahli waris perusahaan Key jika bukan Brayan? "Ini makam Key, tolong bersikaplah yang baik," terang Brayan lagi. 'Heh, bersikap baik konon. Buat apa bersikap baik pada kuburannya? Sedang saat orangnya masih hidup kalian justru bersikap semena-mena,' monolog Elena. "Lisa, apa kau lapar?" tanya Brayan mengalihkan suasana. Key sedikit terkejut, lalu melihat kepada Brayan dan berkata, "Sedikit. Eh, tapi kalau Mas masih mau di sini, tidak apa-apa kok, aku masih bisa menahannya." Key melepas senyum manis. "Alah, sok baik. Cuih!" Elena pun berlalu dan meninggalkan pasangan suami-istri itu begitu saja. "Sudah, jangan diambil hati. Dia memang gitu orangnya, tapi dia baik kok." Brayan mencoba membuat suasana hati Lisa sedikit tenang. Key kembali tersenyum. Namun dalam senyumnya yang terlihat tenang itu, tersimpan gejolak hati yang begitu luar biasa. Kembali melihat kepada Elena yang sudah menjauhi makamnya dan kemudian hilang dari pandangan. 'I miss you, Elena ....' "Ayo ....!" ajak Brayan seraya menggandeng tangan Lisa. Kemudian menoleh sekali lagi kepada nisan istrinya itu dan berkata, "Aku pulang dulu ya, Key? Kapan-kapan, aku ke sini lagi." Brayan mengusap sekali nama istrinya. Lalu menarik tangan Lisa dan terus menjauhi makan Key. Ternyata begini setelah kita mati. Tangis dan simpati orang-orang hanya sebentar dan sekedarnya saja. Selebihnya, mereka akan melanjutkan hidup mereka lalu melupakan kita seiring waktu yang berjalan. Menyedihkan! "Kau mau makan apa sayang?" tanya Brayan seraya membuka pintu mobil untuk Key. "Apa saja, Mas." Key langsung masuk dan memakai safety belt-nya. Setelah Brayan juga masuk, mereka langsung bergerak meninggalkan makam. Sepanjang perjalanan, tak banyak percakapan antara Key dan juga Brayan. Keduanya sama-sama tengah bergelut dengan pemikiran masing-masing. Key memikirkan bagaimana kelanjutan nasibnya yang terjebak dalam tubuh Lisa. Sedang Brayan memikirkan tentang apa yang harus ia lakukan selanjutnya bersama Lisa. Mengingat, Key saat ini sudah tiada. Haruskah ia mempertahankan Lisa yang selama ini hanya menjadi pelariannya saja? "Selamat datang." Seorang pramusaji membuka pintu tatkala melihat Brayan dan Lisa. "Seperti biasa," ucap Brayan santai. "Baik, Pak." Sang pramusaji langsung mengarahkan pasangan itu kepada privat room yang ada di lantai atas. Sebab ini adalah yang pertama bagi Key pergi ke restoran mewah itu, pandangannya berkelintaran melihat seluruh bagian restoran. Sikapnya itu ternyata menarik perhatian Brayan. "Apa kau baik-baik saja?" tanya pria tampan itu. "Oh, i—iya ... aku baik-baik saja, Mas." Key melempar senyum simpul. "Kita kan sering ke sini, tapi kau terlihat seperti baru pertama kali." Brayan mulai membuat Key gelagapan. "Benarkah? He-he-he, mungkin itu hanya perasaan Mas saja." Key berusaha membuat curiga Brayan hilang. Mereka sudah tiba di ruangan yang dimaksud. Pelayan yang mengantar mereka langsung memberikan buku menu untuk kemudian disiapkan oleh chef restoran. "Seperti biasa saja," ucap Brayan seraya mengembalikan buku menu. "Baik Pak." Sang pelayan langsung mengambilnya dan beralih kepada Key. "E ... aku ... aku juga seperti biasa," ucap Key mengikuti suaminya. Dalam hati ia berkata, pasti pilihan Brayan adalah yang terbaik di restoran ini. Sebab pria itu dan selingkuhannya sering ke sini, tentu tahu makanan best seller-nya. Sang pelayan sudah berlalu, tinggallah Brayan dan Key berdua. Mendadak perempuan berambut panjang itu merasa salah tingkah dan grogi sendiri. Tak tahu harus berkata apa. 'Come on Kayla, dia 'kan suamimu, kenapa kamu harus merasa gugup? Biasanya saat di depan Brayan kamu tidak pernah berhenti mengoceh. Kenapa sekarang mendadak jadi putri malu?' "Lis ...," lirih Brayan tiba-tiba. Key langsung mengangkat kepala dan melihat kepada Brayan sehingga membuat pandang mereka bertemu untuk beberapa saat. "Iya, ada apa Mas?" tanyanya lembut. "E ... sorry, mungkin ini terdengar sedikit tidak adil, tapi ...." Brayan menghentikan kata-katanya kerena melihat pramusaji sudah berjalan ke arah mereka. "Maaf, permisi ya, Pak, Bu ...." Sang pelayan meletakkan dua porsi makanan dan minuman di atas meja. Kemudian segera pamit setelah mengucapkan 'Selamat Menikmati'. Usai pramusaji berlalu, Key pun kembali kepada pembicaraan mereka tadi. "Oh ya, tadi Mas mau bilang apa?" tanyanya penasaran. Ia begitu ingin tahu apa yang akan Brayan katakan kepada Lisa. Siapa tahu, ada rahasia yang tidak ia ketahui antara suaminya dan sang pelakor ini. "Kita makan dulu ya? Nanti saja kita bahas," ucap Brayan sembari mulai menyantap makanannya. 'Sial! Baru saja aku akan tahu apa yang akan Brayan katakan kepada Lisa, malah tidak jadi. Tapi tak masalah, lambat laun, aku juga pasti akan tahu semuanya.' "Enak tidak?" tanya Brayan mengalihkan pembicaraan. "Enak banget ...." Puji Key pada menu makanan yang sedang ia santap itu. "Makanya aku selalu bawa kau ke sini, karena aku tahu jika kau pasti suka dengan makanannya. Soalnya kalau aku ajak Key, dia pasti bakalan menolak." Brayan mengakhiri kata-katanya dengan meminum jusnya. Dahi Key bertaut. Lalu ia mencoba untuk mencari tahu alasannya dengan berkata, "Memangnya kenapa istri Mas tidak mau ke restoran ini?" tanya Key penasaran. "Soalnya dia alergi dengan seafood. 'Kan ... menu di restoran ini hampir semuanya terbuat dari seafood," jelas Brayan. "Hah?!" Key terkejut dan berteriak keras. Membuat beberapa pengunjung restoran lainnya juga ikut tersentak. Brayan yang melihat tingkah aneh sang simpanan lansung memegangi tangan Lisa dan bertanya, "Ada apa sayang?" Key diam dan hanya menatap ke arah depan dengan tatapan kosong. Otaknya mulai bekerja memikirkan tentang makanan yang baru saja ia nikmati itu, mana habis lagi. Sialan! "Lisa ... are you ok?" tanya Brayan sekali lagi. Key menoleh perlahan ke arah Brayan, lalu menatap wajah suaminya untuk beberapa saat dan berkata, "Mas ...." lirih Key. "Iya sayang, kenapa?" tanya Brayan dengan posisi tangan masih memegang punggung tangan Key. "Makanan yang baru aku makan ini ... apa bahan utamanya juga terbuat dari seafood?" tanya Key hati-hati, sebab ia tidak mau kalau sampai Brayan mencurigai dirinya. "Iya sayang. Ini terbuat dari olahan daging cumi dan udang," jelas Brayan sembari tersenyum simpul. 'Astaga! Makanan ini dari seafood?! Bagaimana ini? Alergiku pasti akan kambuh dalam beberapa menit ke depan. Aku juga tidak membawa obat penawarnya. Kalau sampai Brayan melihat Alergiku, dia pasti akan curiga. Aku harus ke toilet dulu.' Key bangkit segera dan berkata,"Mas ... aku izin ke toilet sebentar ya?" ucapnya terburu-buru. "Oh, baiklah." Brayan terus melihat kepada Key yang tampak panik. Perempuan itu terus berlalu meninggalkan meja dan ingin segera tiba di toilet. Namun, baru beberapa langkah kaki Key berjalan, suara Brayan sudah kembali terdengar. Ia pun berhenti dan menoleh ke belakang. "Apa kau lupa? Toiletnya 'kan ke arah sana, bukan ke sana," tunjuk Brayan. 'Mati aku! Dia pasti tahu jika aku bukan Lisa, gumam Key seraya melepas senyum penuh tekanan.'Hari semakin larut, menyisakan gelap yang pekat dan aroma malam yang kian mencekam. Di bawah bias minim lampu jalan yang temaram, Rava duduk tak bergerak di atas jok kokoh motor sport miliknya. Sebuah kuda besi hitam legam yang berkilauan pasif, memantulkan sedikit sisa cahaya. Kepulan asap rokok itu tampak seperti bayangan putih yang melayang dalam kegelapan. Keheningan yang mendalam hanya dipecah oleh tarikan napasnya yang sesekali. Dan kini, ada makhluk lain yang tengah berdiri di dekatnya. "Mau ke mana kau malam-malam begini?" tanyanya pada Lisa yang berdiri seperti patung tak jauh dari posisi motornya. "Hah, kamu lagi. Kok bisa ya, kamu ada di mana-mana? Sudah seperti hantu saja, ck!" Lisa terlihat kesal. "Sudah, tak perlu kamu tanya ke mana aku. Aku mau ke mana itu bukan urusanmu, urus saja dirimu sendiri," lanjutnya yang setelah itu kembali menarik koper. Rava tersenyum miring. Kemudian kembali menarik dalam-dalam filter rokoknya, sebelum akhirnya ia buang ke tempat sa
"Bangsat ...! Aku diusir seperti sampah." Lisa membuka pintu lemari dengan gerakan murka yang membabi buta. Amarahnya benar-benar tak terkendalikan lagi. Mengambil pakaiannya dengan cara acak dan berantakan. Di belakangnya, Brayan berdiri di pintu dengan tatapan heran. Terus memperhatikan sang selingkuhan yang sedang mengamuk seperti banteng. "Mau ke mana kau?" tanyanya. Posisi kedua tangannya sudah berada di dalam saku celana. "Jangan tanya-tanya!" teriak Lisa. Ia sudah selesai dengan baju-bajunya dan segera menutup koper. Mengangkat dan bersiap untuk menyeretnya keluar dari rumah itu. "Tadi Mas yang sudah usir aku," ucapnya lagi dengan tatapan tajam dan menikam. Sorot mata permusuhan begitu kentara di wajah yang dulu selalu merayu dan membuat laki-laki itu menjadi candu. "Aku tidak mengusirmu." "DIAAAMM!" teriak Lisa lagi. Dadanya kembang kempis karena marah. Jika tak ingat kalau yang di depannya ini adalah Brayan, pasti sudah habis ia pukuli. Kalau perlu, sampai mati sek
"Menikah?" tanya Brayan. "Eum. Tiga hari lagi kan?" tanya Lisa balik. "Oh ... ternyata kau sudah tahu, ya?" tanya Brayan sembari melepas senyum penuh kepalsuannya. Sumpah, mendengar kata-kata Lisa, membuat Brayan seperti terjebak dalam permainannya sendiri. Niat hati ingin terus bersama dengan istri tercinta, nyatanya, malah sang selingkuhan yang ada bersamanya. Ini namanya sudah jatuh, ketimpa tangga pula. "Tahu dong, Mas. Emang apa sih yang aku tidak tahu tentang Mas. Dari mulai tanggal lahir Mas, pin ponsel Mas, pin kartu debit, kredit, semuanya. Sampai ukuran celana dalam Mas juga aku tahu, kan?" Lisa mengedipkan sebelah matanya. Brayan tertawa pelan mendengarnya. Ternyata begini resikonya selingkuh dengan perempuan tanpa urat malu. Dan ... yah, pelakor kan memang tidak punya malu, ya kan? "Kau bisa saja." Lisa masih tersenyum seraya terus menatap pria itu. "Sekarang giliran Mas. Mau ngomong apa?" tanya Lisa penasaran. Ia yakin, pasti yang ingin Brayan katakan adal
Lisa terdiam. Sorot matanya masih terpatri kepada Rava. Dalam tawaran pria itu, jelas, ada hal yang harus ia perhitungkan. Dan ia bukanlah perempuan bodoh jika sudah berbicara soal materi. "Kamu memberiku sebuah cincin tapi menyuruhku untuk meninggalkan Mas Brayan? Kamu ini sadar atau tidak sih? Cincin seperti ini, lebih dari satu bisa dia berikan kepadaku. Ngerti?" Lisa segera melangkah meninggalkan toko perhiasan itu. "Mbak, nanti dulu ya?" Rava mengembalikan cincin tersebut kepada pelayan toko. Kemudian segera berlari mengerjar Lisa yang hampir sampai di mobilnya. "Lis ... Lisa ... Tunggu Lis." Rava terus memanggil nama kekasihnya itu. "Aku mau pulang saja," ucap Lisa seraya membuka kunci mobilnya. "Lis, tunggu." Rava sudah menahan lengan Lisa, tapi cepat ditepis oleh Lisa. "Apa sih, kamu? Aku mau pulang. Kamu sendiri kan yang bilang, kalau aku ini sudah akan menikah dengan Mas Brayan. Kenapa masih kamu ganggu sih?" "Aku tahu, Lis. Tapi aku mohon, tolong kamu pertim
Udara sore ini terasa lebih sejuk daripada hari sebelumnya. Angin bertiup perlahan. Awan tampak menggantung hitam dan menggumpal. Langit yang semula jingga kini berganti rona menjadi kelabu pekat, menyisakan gurat-gurat mendung yang berarak gempal. Di salah satu kursi taman, Rava duduk termangu dengan pandang yang lurus ke arah danau. Gerak airnya yang disapu bayu alam, menciptakan riak yang saling mendahului. Kembali ia tarik dalam-dalam batang tembakau yang terbakar itu. Menciptakan gumpalan asap tebal dengan aroma yang menyengat. Menyatu bersama udara yang semakin dingin dan menggigit. "Sudah lama?" tanya seseorang dari arah belakang. Rava menoleh dan melihat ke asal suara itu. Tampak Lisa sudah berdiri di sana. Tak jauh dari tempatnya memandang senja. Aura wajah perempuan itu jelas berbeda. Yang beberapa hari ini terlihat begitu meneduhkan di pandangan matanya, menjadi wajah dengan mimik penuh keangkuhan. "Belum terlalu." Lisa tersenyum miring. Kemudian mulai melangkah
"Selamat pagi, darling." Suara bariton Brayan memecah keheningan kamar yang teramat luas itu. Ia langsung mengecup bibir Lisa. Berharap dengan begitu Kayla bisa terjaga dan melihat ke arahnya. Dan benar saja, saat kecupan ke tiga, perempuan berkulit putih itu pun menggeliat dan mengerjabkan mata perlahan. Ia tatap Brayan dengan dahi yang sedikit mengernyit heran. "Mas ....?" ucapnya seraya melihat sekeliling kamar seperti orang bingung. "Mas?" ulang Brayan, sama bingungnya. "Mas, aku tidur di sini semalam? Apa aku mabuk lagi?" Pertanyaan wanita itu kian membuat Brayan tercengang. Ia pun langsung terduduk lesu dan menatap kecewa ke arah Lisa. "Mas ... kamu kenapa?" Brayan masih diam. Bibirnya bergetar, tapi tak bisa mengeluarkan suara. Rasanya terlalu kaku, untuk sekedar mengatakan kalimat "aku baik-baik saja". "Mas ...." ulang wanita itu, yang diduga oleh Brayan adalah sebagai Lisa sungguhan. 'Tidak, bukan Lisa yang aku inginkan. Aku ingin Key. Hanya Key. Situasi







