“Kamu mengharap apa dari jawaban yang akan saya ucapkan?”Dov mengangkat sebelah alis saat Rona fokus mempelajari wajahnya dari jarak dekat. Wanita itu sepertinya tidak sadar atas apa yang ia lakukan sekarang.“Gue ngarep?” Rona segera menarik tubuhnya mundur dan membuat jarak terbentang. “Ck, yang bener aja.”“Mukamu merah. Mikirin kejadian semalam?"Dov tidak segan-segan menunjuk hingga mengarahkan telunjuknya hingga menempel di sebelah pipi Rona yang sedikit tembab.Mata bulat Rona membeliak. “Nggak usah pegang-pegang!” serunya sebal.“Dengar ya, saya nggak mungkin menghabiskan waktu sama wanita lain kalau sudah beristri,” tandas Dov akhirnya. “Jadi, kamu bisa mengambil kesimpulannya.”“Ah, oke gue paham.” Rona mengangguk-angguk, walaupun rautnya terlihat masih gelisah.Tatapan Dov terpaku pada punggung Rona begitu wanita itu mendekati jendela kaca ruangannya. Sengaja membelakangi dan mendiamkannya selama beberapa saat.Dov paham Rona tengah menahan diri dari rasa malu setelah ia s
“Ini apa lagi, Mas?” Rona masih sesenggukkan saat tiba-tiba asisten pribadi Dov menyodorkan sebuah kunci padanya. “Saya nggak ngerti ....”Selain karena kebusukan Jeff yang baru diketahuinya, kecaman Dov tadi juga turut menyebabkan matanya berair hingga ia mengeluarkan isakan yang tak kunjung reda selama Imron menjelaskan dari A sampai Z.Imron memberikan sekotak tisu dan Rona mengambil untuk menyeka wajah basahnya. Lalu pria itu berdeham pendek.“Itu kunci apartemen yang akan kamu tinggali.”“Kok apartemen?” Rona mengerutkan kening. “Saya nggak minta lho, Mas. Emangnya saya menang give away apaan—““Pak Dovindra yang memerintah saya untuk kasih kunci itu,” potong Imron cepat. “Saya sudah hubungi manajer kamu, jadi setelah ini bisa langsung ditempati.”Rona mengerjap cepat saat memandang kunci di tangan. Selama ia menatap benda kecil itu, kebingungannya makin membesar. “Ini maksudnya apa ya?” tanyanya memastikan. “Jadi selama ini artis Step Up selalu dikasih apartemen sama presdir?”
“Gimana? Kunci apartemen udah kamu kasih?” Dov menguap pelan ketika Imron memasuki ruang kerjanya. “Apa dia menolak atau kasih kamu banyak pertanyaan?”Imron menggelengkan kepala. “Janish Merona sempat kaget, tapi nggak banyak tanya, Pak.”Satu alis Dov terangkat. “Kok bisa?” tanyanya heran. “Saya nggak menduga dia akan menurut langsung begitu.”“Sepanjang saya menjelaskan jobdesk khusus yang tertera di surat perjanjian kerja, Rona kebanyakan melamun dan menangis,” terang Imron.Dov menghela napas berat, teringat pada ucapan hingga bentakannya yang terasa kelewatan. Tak heran Rona masih menangis dan tidak fokus saat penjelasan tadi. “Mungkin kalau dia sampai di apartemen dan tahu lokasinya bersebelahan dengan unit Jeff, ada banyak keluhan dan amarah yang dia berikan pada kita.”Menempatkan Rona di salah satu penthouse-nya adalah upaya pertama untuk memperlihatkan pada Jeff, bahwa kini Rona bukan wanita yang layak diremehkan lagi. Dov ingin membuat Rona dipandang baik oleh orang-orang
“Nggak ... nggak boleh.” Sesekali Rona menepuk wajahnya kanan-kiri bergantian saat mulai terlena dengan pemandangan di hadapannya. “Jangan tergiur, please.”Rona menatap langit-langit putih bersih nan megah. Anak tangga dengan desain penuh kemewahan itu meluruhkan logika dan kesadarannya perlahan.Belum lagi fasilitas seperti kitchen island, ruang tamu yang menyatu dengan living room. Tempat seperti itu baru terlihat tak asing baginya si pecinta drama. Tontonannya biasa menyajikan cerita romansa tentang konglomerat yang jatuh cinta pada babu.Namun ia tidak mengerti mengapa ia harus terjebak pada situasi ini sekarang. Apartemen yang ternyata penthouse, dengan dua lantai berarsitektur modern minumalis, lift khusus yang menghubungkan penghuni langsung ke lobi dan tempat parkir kendaraan, ditambah balkon yang menjadi impiannya sejak dulu.“Ini ... ini nggak mungkin,” bisiknya pada diri sendiri, suara masih bergetar. “Ini nggak bisa dibiarin gitu aja, Yun!”Suara yang berubah lantang seke
Kalau orang lain mungkin bisa tidur nyenyak setelah diberikan rumah tinggal semewah dan sebagus penthouse milik Dov. Sementara Rona justru kesulitan merasa lelap sepanjang malam.Di sela kejengkelannya terhadap Dov, ia sibuk memantau media sosial. Membaca komentar netizen yang menyeret namanya, tapi nihil. Rumor tentang dirinya yang menjalin hubungan diam-diam dengan Dov tidak sebanyak tadi.Rona terus memantaunya hingga fajar tiba. Tubuhnya lemas karena kurang tidur, tapi ada kewajiban yang harus ia penuhi.“Jangan lupa jam 7 udah harus di ruangan Pak Dov.” Yuyun mengingatkan sambil menunjukkan pesan dari Imron. “Gue akan antar lo ke sana, setelah itu gue mau urus barang-barang lo di unit sebelah.”Mata lesu Rona membelalak lebar. “Nanti mereka tahu dong kalau gue tinggal di sini?”Menerima pemberian Dov bukan berarti bisa belajar terbiasa dengan keadaan sekitar. Kekhawatiran Rona masih banyak, terutama saat membayangkan reaksi Jeff dan Wena begitu tahu mereka tinggal bertetangga.“E
Dov menggeliat beberapa kali dan berusaha menutup kedua telinga dengan bantal. Tak sampai di sana, ia juga menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhnya.Suara alarm ditambah ketukan pintu membuat tidurnya yang baru lelap dua jam ini harus terganggu. Namun bukannya berhenti, ketukan pintu itu berubah menjadi suara Ravi yang berteriak memanggilnya.Di balik selimutnya, Dov mengerang. “Jangan ganggu tidurku, Mas!” “Ini sudah jam 8, kamu nggak ingat kata-katamu sendiri kemarin?”
“Astaga.” Dov berdecak sambil menggeleng saat menatap kebingungan serta raut terkejut Rona setelah pengakuannya. “Ini udah beberapa hari dan kamu belum ingat sama sekali?”Saat membalas tatapan Dov mata Rona membeliak lebar. Selain suara jarum jam yang memecah keheningan, Rona merasakan debar jantungnya yang tak karuan.“Itu ... itu nggak mungkin, deh.”“Nggak mungkin gimana?” Dov mengerlingkan mata seraya menyatukan kedua tangan dengan tubuh yang bergerak condong ke depan. “Jadi kamu pikir saya memaksa kamu untuk berhubungan?” Ia berdecih pelan. “Ck, yang benar saja!”Rona menelan ludah. “Waktu Bapak ajak saya pergi ke tempat yang lebih sunyi, saya sadar, tapi waktu berhubungan itu ... saya benar-benar mabuk berat dan nggak ingat sama sekali.”Dov menarik napas panjang, lalu berjalan mendekat, langkah sepatunya menggema di lantai kayu mahal.“Perlu saya ingatkan kamu, Janish Merona?” Dov duduk di sisi Rona yang menegang akibat ulahnya. “Kita bercumbu begitu pintu kamar hotel ditutup
“Saya pikir Bapak udah hapus rekaman itu setelah diskusi dengan manajer saya?” Kening Rona berkerut-kerut begitu menyaksikan video yang ditunjukan Dov. “Tapi ... ini semua apa? Bapak berbohong?”Video itu jelas menunjukkan dirinya sedang beradu mulut dengan Jeff di depan unit beberapa waktu lalu. Ia mendengar dari Yuyun bahwa semua urusan tentang rekaman dirinya sudah selesai, tapi rupanya belum.“Saya nggak pernah bilang mau hapus rekaman ini karena sewaktu-waktu bukti ini bisa jadi senjata,” ungkap Dov santai di tengah kegeraman Rona. “Saya hanya bilang ke manajer kamu untuk tidak mengangkatnya ke publik. Begitu, ‘kan?”“Ck, ini sama saja penipuan!” tandas Rona seraya menjauh dari Dov dan bersiap menyambar tas. “Saya bukan tipikal orang yang rela menjual privasi saya untuk jadi konsumsi publik, apalagi pertengkaran saya dengan Jeff saat itu, Pak!”Rona melangkah melewati Imron yang berdiri menatapnya bingung, tujuannya hanya satu saat itu. Pergi meninggalkan ruangan daripada mendeng
“Taruh aja barang-barang gue di dekat meja, Yun. Lo nggak perlu bongkar koper gue segala.”Seruan itu refleks Rona lontarkan begitu mendengar suara pintu terbuka dan koper yang diseret masuk. Mengingat obrolannya dengan Yuyun soal barang pribadinya dari apartemen lama, ia langsung menganggapnya demikian. “Ini tinggal bilas hair mask, lo bisa istirahat di kamar tanpa nunggu gue,” sahut Rona saat merasa Yuyun masih ada di kamarnya karena pintu belum ditutup. Rona melilit rambutnya menggunakan handuk terlebih dahulu, baru kemudian mengenakan bathrobe untuk menutupi tubuhnya yang basah. Ia berdiri di depan wastafel dengan cermin besar yang memantulkan dirinya.Rona berniat mengeringkan rambut dengan hair dryer, tapi perasaannya tak enak karena menyadari Yuyun belum pergi dari kamar. Ia khawatir jika manajernya itu harus turun tangan membenahi barang-barangnya. Sampai kemudian, ia keluar dari kamar mandi dan menangkap perawakan tinggi besar dengan kemeja putih tengah berdiri di dekat je
Masker sepaket dengan kacamata hitam dan topi yang diterimanya tadi ia perhatikan lamat-lamat. Sebagian masker hitam itu tampak basah akibat keringat berlebihnya selama pemakaian.Rona menghela napas panjang. “Baru kali ini gue lihat orang sebanyak itu berlomba-lomba nyari informasi tentang gue,” ujarnya miris. “Andai aja mereka penasaran sama prestasi gue selama ini, bukan nyari kebenaran atas skandal yang terjadi.”Kepergiannya pun dibantu staf khusus Dov agar tidak berpapasan dengan banyaknya wartawan yang memenuhi lobi hingga pelataran kantor. Sedikit saja staf lengah, semua akan hancur seketika.“Lo nggak perlu takut dan sekalut ini hanya karena skandal yang belum tentu bener.” Satu tangan Yuyun terangkat dan menyentuh pundak Rona, berusaha menenangkan. “Gue percaya sepenuhnya sama lo. Lagian yang nyebarin berita itu si pelakor laknat, dia pasti bakal dapat karma.”Rona menoleh, membalas tatapan prihatin Yuyun yang tercurah pada tiap sorotnya. Lagi, napasnya terembus, menunjukkan
Begitu pintu rapat terbuka, Dov mampu menangkap kegusaran di wajah-wajah para anggota direksi. Lalu helaan napas yang terdengar, tak membuat kepercayaan diri Dov runtuh.Imron mempersilakannya duduk. Dov mengangguk dan menyapa sekenanya pada orang-orang yang lebih tua darinya, lalu sorotnya terhenti pada Ravi yang tampak berbeda dari sekeliling.Pria itu mengulum senyum miring dan mengangguk-anggukkan kepala. Seakan berita yang tersebar di media sekarang bukanlah masalah gawat.“Dovindra Putra Wijaya,” panggil Jake yang memiliki andil besar dalam saham Step Up. Suara dan tatapannya tajam, cukup menggambarkan betapa kecewa pria itu sekarang. “Apa kamu sadar berita viral yang menyeret tentangmu berpengaruh pada saham perusahaan? Apa kata publik sekarang begitu tahu presdir agensi besar ternyata punya hubungan gelap dengan artis baru?”“Artis itu bahkan kurang terkenal,” timpal salah satu peserta rapat. Yang lain pun mengangguk setuju. Lalu ruangan yang semula hening perlahan heboh deng
“Saya pikir Bapak udah hapus rekaman itu setelah diskusi dengan manajer saya?” Kening Rona berkerut-kerut begitu menyaksikan video yang ditunjukan Dov. “Tapi ... ini semua apa? Bapak berbohong?”Video itu jelas menunjukkan dirinya sedang beradu mulut dengan Jeff di depan unit beberapa waktu lalu. Ia mendengar dari Yuyun bahwa semua urusan tentang rekaman dirinya sudah selesai, tapi rupanya belum.“Saya nggak pernah bilang mau hapus rekaman ini karena sewaktu-waktu bukti ini bisa jadi senjata,” ungkap Dov santai di tengah kegeraman Rona. “Saya hanya bilang ke manajer kamu untuk tidak mengangkatnya ke publik. Begitu, ‘kan?”“Ck, ini sama saja penipuan!” tandas Rona seraya menjauh dari Dov dan bersiap menyambar tas. “Saya bukan tipikal orang yang rela menjual privasi saya untuk jadi konsumsi publik, apalagi pertengkaran saya dengan Jeff saat itu, Pak!”Rona melangkah melewati Imron yang berdiri menatapnya bingung, tujuannya hanya satu saat itu. Pergi meninggalkan ruangan daripada mendeng
“Astaga.” Dov berdecak sambil menggeleng saat menatap kebingungan serta raut terkejut Rona setelah pengakuannya. “Ini udah beberapa hari dan kamu belum ingat sama sekali?”Saat membalas tatapan Dov mata Rona membeliak lebar. Selain suara jarum jam yang memecah keheningan, Rona merasakan debar jantungnya yang tak karuan.“Itu ... itu nggak mungkin, deh.”“Nggak mungkin gimana?” Dov mengerlingkan mata seraya menyatukan kedua tangan dengan tubuh yang bergerak condong ke depan. “Jadi kamu pikir saya memaksa kamu untuk berhubungan?” Ia berdecih pelan. “Ck, yang benar saja!”Rona menelan ludah. “Waktu Bapak ajak saya pergi ke tempat yang lebih sunyi, saya sadar, tapi waktu berhubungan itu ... saya benar-benar mabuk berat dan nggak ingat sama sekali.”Dov menarik napas panjang, lalu berjalan mendekat, langkah sepatunya menggema di lantai kayu mahal.“Perlu saya ingatkan kamu, Janish Merona?” Dov duduk di sisi Rona yang menegang akibat ulahnya. “Kita bercumbu begitu pintu kamar hotel ditutup
Dov menggeliat beberapa kali dan berusaha menutup kedua telinga dengan bantal. Tak sampai di sana, ia juga menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhnya.Suara alarm ditambah ketukan pintu membuat tidurnya yang baru lelap dua jam ini harus terganggu. Namun bukannya berhenti, ketukan pintu itu berubah menjadi suara Ravi yang berteriak memanggilnya.Di balik selimutnya, Dov mengerang. “Jangan ganggu tidurku, Mas!” “Ini sudah jam 8, kamu nggak ingat kata-katamu sendiri kemarin?”
Kalau orang lain mungkin bisa tidur nyenyak setelah diberikan rumah tinggal semewah dan sebagus penthouse milik Dov. Sementara Rona justru kesulitan merasa lelap sepanjang malam.Di sela kejengkelannya terhadap Dov, ia sibuk memantau media sosial. Membaca komentar netizen yang menyeret namanya, tapi nihil. Rumor tentang dirinya yang menjalin hubungan diam-diam dengan Dov tidak sebanyak tadi.Rona terus memantaunya hingga fajar tiba. Tubuhnya lemas karena kurang tidur, tapi ada kewajiban yang harus ia penuhi.“Jangan lupa jam 7 udah harus di ruangan Pak Dov.” Yuyun mengingatkan sambil menunjukkan pesan dari Imron. “Gue akan antar lo ke sana, setelah itu gue mau urus barang-barang lo di unit sebelah.”Mata lesu Rona membelalak lebar. “Nanti mereka tahu dong kalau gue tinggal di sini?”Menerima pemberian Dov bukan berarti bisa belajar terbiasa dengan keadaan sekitar. Kekhawatiran Rona masih banyak, terutama saat membayangkan reaksi Jeff dan Wena begitu tahu mereka tinggal bertetangga.“E
“Nggak ... nggak boleh.” Sesekali Rona menepuk wajahnya kanan-kiri bergantian saat mulai terlena dengan pemandangan di hadapannya. “Jangan tergiur, please.”Rona menatap langit-langit putih bersih nan megah. Anak tangga dengan desain penuh kemewahan itu meluruhkan logika dan kesadarannya perlahan.Belum lagi fasilitas seperti kitchen island, ruang tamu yang menyatu dengan living room. Tempat seperti itu baru terlihat tak asing baginya si pecinta drama. Tontonannya biasa menyajikan cerita romansa tentang konglomerat yang jatuh cinta pada babu.Namun ia tidak mengerti mengapa ia harus terjebak pada situasi ini sekarang. Apartemen yang ternyata penthouse, dengan dua lantai berarsitektur modern minumalis, lift khusus yang menghubungkan penghuni langsung ke lobi dan tempat parkir kendaraan, ditambah balkon yang menjadi impiannya sejak dulu.“Ini ... ini nggak mungkin,” bisiknya pada diri sendiri, suara masih bergetar. “Ini nggak bisa dibiarin gitu aja, Yun!”Suara yang berubah lantang seke
“Gimana? Kunci apartemen udah kamu kasih?” Dov menguap pelan ketika Imron memasuki ruang kerjanya. “Apa dia menolak atau kasih kamu banyak pertanyaan?”Imron menggelengkan kepala. “Janish Merona sempat kaget, tapi nggak banyak tanya, Pak.”Satu alis Dov terangkat. “Kok bisa?” tanyanya heran. “Saya nggak menduga dia akan menurut langsung begitu.”“Sepanjang saya menjelaskan jobdesk khusus yang tertera di surat perjanjian kerja, Rona kebanyakan melamun dan menangis,” terang Imron.Dov menghela napas berat, teringat pada ucapan hingga bentakannya yang terasa kelewatan. Tak heran Rona masih menangis dan tidak fokus saat penjelasan tadi. “Mungkin kalau dia sampai di apartemen dan tahu lokasinya bersebelahan dengan unit Jeff, ada banyak keluhan dan amarah yang dia berikan pada kita.”Menempatkan Rona di salah satu penthouse-nya adalah upaya pertama untuk memperlihatkan pada Jeff, bahwa kini Rona bukan wanita yang layak diremehkan lagi. Dov ingin membuat Rona dipandang baik oleh orang-orang