“Kacau!”
Itulah komentar Yuyun begitu tiba di kamar hotel berbintang yang dihuni Rona semalaman. Wajahnya memerah saat melihat tanda kemerahan yang terlihat jelas di ceruk leher Rona.
“Lo main gila sama siapa sampai begini, hah?” sambar Yuyun tak habis pikir. “Gue ngerti lo habis diselingkuhi sama Jeff dan putus, tapi nggak main ONS sama orang asing, Na! Astaga ....”
Rona menggigit bibir bawahnya dan mendekati Yuyun cukup canggung. “Sebenarnya ... gue nggak ONS sama cowok asing, dan—“
“APA?!” Yuyun melotot galak. “Jangan bilang lo main sama artis atau orang kenalan kita buat dijadiin pelampiasan?”
“Nggak gitu.” Rona menggeleng. “Cowok ini ternyata pernah tetanggaan sama gue. Kita ketemu semalam dan dia jelasin semuanya. Gue nggak sadar kenapa kami bisa berujung kayak gini, Yun.”
“Siapa orangnya? Biar gue cari dan kasih uang tutup mulut.” Yuyun menatapnya serius dan bersiap menyalakan ponsel untuk bergerak mengurusnya. “Terus dia tahu masalah lo sama Jeff?”
“Yun ....”
Rona membuang napas. Rasanya sulit mengakui bahwa pria yang mengajaknya bersenang-senang semalam adalah presdir dari agensi terkenal. Jika Yuyun tahu, bagaimana reaksi wanita itu?
“Dovindra Putra Wijaya,” ungkap Rona hingga perhatian Yuyun teralihkan dari ponsel. “Dia orang yang main sama gue semalam. Dia juga yang rekam video gue sama Jeff kemarin. Dia ... orangnya, Yun.”
Ponsel yang berada dalam genggaman Yuyun merosot begitu saja. Pemiliknya melongo dengan sepasang membeliak lebar, cukup terkejut mendengar hal itu.
“Lo nggak lagi halu, ‘kan, Na?” Tangan Yuyun menempel di kening Rona, memastikan suhu tubuh artisnya dengan baik. “Nama orang yang lo sebut itu presdir Step Up. Bahkan artis terkenal yang prestasinya di mana-mana belum tentu bisa makan bareng sama tuh orang, kok lo—“
Senyum Rona mengembang pahit. Ia menunduk, cukup sadar diri bahwa statusnya hanya pembuat konten yang dikenal karena berpacaran denga brondong. Ia mana pantas bersanding dengan sosok Dov yang memiliki nama besar, kan?
“Sori, gue nggak bermaksud.” Yuyun lekas mengoreksi sikapnya. “Tapi yang jelas, gue bingung kenapa lo bisa tanda tangan kontrak. Apa yang terjadi semalem? Dia apain lo sampai lo main setuju aja tanpa diskusi dulu sama gue selaku manajer lo, Rona?”
Rona bungkam seketika. Ingatannya tentang semalam belum sepenuhnya baik, masih samar-samar. Ia sendiri belum yakin dengan kejadian yang tak seharusnya terjadi antara dirinya dan Dov.
“Gue perlu waktu buat ingat semuanya, Yun. Beri gue waktu jelasin—”
Yuyun menggeleng seraya mengacungkan telunjuknya. “Dengerin gue dulu!” sambar Yuyun makin emosi. “Selain kelakuan lo sama Pak Dovindra dan tanda tangan berkas kontrak itu, ada jobdesk khusus yang mereka tulis buat lo. Udah baca belum?”
Kening Rona mengernyit bingung. “Kok ada jobdesk khusus segala? Perasaan tugasnya artis ya itu-itu aja, nggak lebih?”
Menyadari kilatan emosi yang terlihat di mata Yuyun, Rona paham situasinya makin buruk sekarang.
Setelah mengambil ponsel yang terjatuh, Yuyun mengotak-atik layar benda itu sebelum menyodorkan padanya.
“Baca! Baca bener-bener!”
[Pihak II wajib ikut serta ke mana pun Dovindra pergi. Jadwal artis yang bersangkutan bisa diatur ulang atas kesepakatan bersama]
Mata Rona membeliak lebar–tak percaya.
[Pihak I tidak menerima keluhan Pihak II setelah kesepakatan kontrak bergabung ke agensi dibuat]
“Wah, sinting!” makinya refleks. Dugaannya yang tercipta di kepala tentang Dov membuatnya makin yakin. “Ini … maksudnya apa? Jadi gue benar-benar dijebak?”
Belum sempat ia membaca habis tulisan itu, Yuyun menepuk lengannya cukup keras. “Jujur sama gue, lo se-desperate ini setelah ditinggal Jeff sampai mau aja jadi ani-ani presdir?”
Rona mendelik kesekian kali. “Apa lo bilang?” katanya tak terima.
“Dari lo yang diajak mabok sampai kalian berbuat macam-macam di kamar semahal ini, emang apa lagi?”
Rona bangkit dari duduk. Kakinya mulai bergerak, melangkah sana-sini seperti komedi putar untuk meredakan rasa frustasinya.
Ucapan Yuyun tidak bisa disalahkan sepenuhnya setelah kejadian semalam. Namun ia hanyalah wanita biasa yang beruntung mendapat banyak explosure besar, penampilannya juga tidak se-wah pembuat konten atau influencer lain.
“Dari jobdesk khusus yang tertera di kontrak, udah memperjelas semuanya, Na,” imbuh Yuyun seraya mengikuti langkah Rona. “Jadi gimana? Lo bakal terima jadi artis Step Up, sekalipun jadi simpanan presdir?”
***
Seharusnya Rona datang ditemani manajer, tapi ia butuh ruang untuk mengeluhkan segalanya pada Dov tanpa campur tangan Yuyun. Ia berjalan mengendap-endap dan mengenakan masker putih agar tidak ada orang yang mengenalinya.
Rona baru akan bertanya pada customer service yang bertugas, tapi kehadiran seseorang membuat perhatiannya beralih. Dov berdiri menyandar sambil memandangnya lurus.
“Ngapain pakai masker segala?”
Refleks Rona membuang wajah dan bersikap tidak mengenali pria itu lantaran takut orang sekitar menaruh curiga. Apalagi kalau sampai membuat gosip tentangnya.
“Ayo.”
Rona belum sempat menyingkir dari sana, tapi Dov sigap menarik tangan dan menggenggamnya beranjak dari lobi. Seolah tidak memedulikan respon sekitar yang mengarahkan perhatian pada satu titik.
“Ini ... apa-apaan?” katanya mulai panik.
“Kamu mau ketemu saya, ‘kan?” Dov membalas sambil menoleh sekilas ke arahnya. Lalu menekan tombol di depan pintu lift. “Ruangan saya di lantai lima, bukan di lobi.”
Di balik masker, Rona mengunci mulut. Badannya panas dingin ketika tatapan sekitar belum berhenti mengarah padanya.
Istilah ‘simpanan presdir’ mendadak terngiang dan ucapan Yuyun beberapa jam lalu membuatnya gerah. Ditambah sekarang Dov menggenggam tangannya tanpa berpikir dua kali.
“Apa harus kayak gini?” keluh Rona akhirnya begitu masuk ke lift. Ia menarik tangannya pelan dari genggaman Dov. “Kan bisa jalan tanpa pegangan.”
Dov mengedik dan akhirnya menunjuk pada masker yang dikenakan Rona. “Buat apa, sih? Kamu sakit?”
“Gue nggak mau orang-orang tahu gue. Apalagi sampai gue kena masalah lagi.”
“Lepas aja.” Ucapan itu hadir bebarengan dengan satu tangan yang melepaskan masker Rona. “Nggak akan ada yang mengenali kamu juga di sini. Tanpa konten couple kamu sama Jeff, orang-orang nggak tahu siapa kamu,” ujar Dov sarkas, tapi sesuai kenyataan.
“Ya, memang. Terus kenapa lo tawarin dan biarin gue tanda tangan kontrak semalam? Di saat gue nggak sadar sepenuhnya, lo malah—“
“Saya cuma mau untung.” Dov menatap masker rona dan menangkap bekas lipstick tertera di bagian dalam. “Dari kejadian yang kamu alami, kesedihan dan kehancuran atas pengkhianatan itu bisa jadi ladang cuan yang besar. Nama kamu akan meroket.”
Pandangan Rona terhadap Dov yang baik hati seperti ibu peri pun pupus. Sikap Dov yang bijak dan selalu menemaninya bermain ketika masa kecil dulu benar-benar berubah.
“Dasar kapitalis,” cibir Rona jengkel. “Lo udah jebak gue di saat lagi down. Lo bahkan pakai—“
Dov menggelengkan kepala dan menghentikan ucapan Rona. “Lebih baik jangan bahas kejadian bersenang-senang itu sekarang.”
Napas Rona terhela berat. Ia menengadah agar air mata yang sudah menggenang di permukaan kembali meresap.
Tak lama kemudian Dov mengajaknya keluar dari lift begitu tiba di lantai tujuan. Pria itu menghentikan langkah saat berpapasan dengan salah seorang staf, lalu membisikkan sesuatu sebelum kembali berjalan.
“Kita mampir dulu ke ruangan lain. Ada yang mau saya tunjukkan ke kamu.”
Rona menatap ragu.
“Ayo masuk,” ajak Dov setelah membuka pintu ruangan.
Rona mengikuti tanpa banyak mengeluh. Baru saja pintu ditutup, hawa tak enak merebak. Semua pasang mata mengarah padanya hingga ia menangkap sorot mata familier yang bertahun-tahun didamba.
Jeff tengah berdiri di belakang kursi. Wajahnya memerah, entah karena terkejut atau adegan yang dilakukannya sekarang. Selain itu, ada garis jengkel yang diperlihatkan laki-laki itu padanya.
“Dov, ini kan ... sori, gue harus pergi—“ Napasnya tertahan. Tangannya menggapai kemeja Dov bagian punggung, ia merengek menolak melanjutkan semua ini.
“Kamu harus tunjukkan ke dia.” Tangan Dov yang memperlihatkan gurat otot itu terulur padanya. “Kali ini kamu nggak sendiri, ada saya juga.”
Salah seorang staf datang menghampiri. Rautnya terlihat terkejut dan tak enak atas kedatangan pihak atas. “Pak Dovindra, apa ada keperluan di sini?”
“Lanjutkan saja, saya hanya mau memantau sebentar, kok.” Dov menyapu pandangan pada seluruh orang di ruangan, termasuk Jeff yang duduk mematung.
“Baik, Pak. Silakan dipantau dan apabila ada kekurangan, bisa ditambahkan.”
Dov mengangguk-angguk santai. Berbeda dengan wanita yang digenggamnya erat-erat sudah mulai berkeringat dingin berada di ruangan itu.
“Selain memantau, saya juga ingin mengenalkan wajah baru di agensi kebanggaan kita.”
Hal seperti inilah yang paling Rona hindari dan benci. Namun Dov sepertinya senang menciptakan drama hiburan begini.
Rona merasakan sentuhan tangan Dov menimpa punggung hingga perlahan tubuhnya terhuyung melangkah ke depan. Dengan santai Dov merangkul pinggulnya, memamerkan dirinya di depan banyak orang sebagai pencapaian terbesar.
“Ini dia, Janish Merona. Namanya nggak asing, bukan? Kebetulan ada Jeffrian Malik di sini, senang bertemu kawan lama?”
Baru Rona merasakan kesenangan dan kepuasan sekaligus setelah melihat nasib Jeff yang berubah total, ia tersenyum dan terkekeh bahagia sambil berbaring di sofa.“Senjata makan tuan,” ujar Yuyun. “Siapa suruh selingkuh dan hamilin cewek lain. Emang enak jadi miskin dalam sekejap?”Rona melotot kaget. “Husss, jangan keras-keras. Takutnya kesialan balik ke lo, Yun.”“Ih, amit-amit deh!”
Pertanyaan Dov masih terngiang di kepala, membuat satu porsi es krim vanillanya mencair sebelum dihabiskan. “Muka lo kayak orang banyak utang, Na.”Suara Yuyun yang asal ceplos hanya bisa mengalihkan fokus Rona sebentar. Itupun hanya menggerakkan sendok di mangkuk es krim tanpa memasukannya ke mulut. “Janish Merona?”“Hmm.”
Rona pergi ke toilet setelah rapat menegangkan itu selesai. Aliran air dari kran wastafel menghujani telapak tangannya yang masih kaku akibat sikap ibunda Dov sepanjang kegiatan tadi.Baru saja ia menghela napas dan mengatur rambut, Jessi muncul dari pintu dengan wajah penuh seringai.“Ternyata Tante Widya nggak suka sama calon menantunya, ya.” Jessi berkata dan berdiri di samping Rona. “Anehnya beliau malah masih lengket sama aku, padahal aku udah jadi mantan Dov.”Sesaat Rona terdiam, lalu kembali memperbaiki penampilan. Mengoles kembali lipstick warna coral yang membuat wajahnya tampak natural dan segar.Dari omongan Jessi, Rona langsung paham maksudnya. Terutama begitu nama ibunda Dov disebutkan secara gamblang.“Perlu tips nggak?”Rona akhirnya menoleh. “Tips?”“Bukannya kamu perlu mengambil hati Tante Widya?”“Buat apa?”Sejujurnya Ron
“Rona, kenapa kamu diam?”Ruangan itu hening. Hanya suara pendingin ruangan yang berdengung pelan, bersahutan dengan detak jantung Rona yang mendadak terasa nyaring di telinganya.Dov duduk di hadapannya, masih dengan raut serius. Berbeda dengan matanya yang memancarkan ketenangan, juga ketertarikan yang mampu Rona tebak.Semua ini kelewat membingungkan, walaupun segala sikap Dov sudah terlihat jelas arahnya. Namun Rona masih saja terbawa takut setelah dikhianati Jeff yang berani memilih wanita lain, bahkan menghamilinya.“Rona,” panggil Dov lagi. “Apa kamu masih khawatir soal orang tuaku?”Rona menelan ludah. Kata "tunangan" menggema di benaknya, tapi bukannya membuatnya tersenyum, ia malah merasa seperti terjebak di dalam ruang tanpa jendela.“Dov, kayaknya kita—” Ia membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Lidahnya kelu.Hatinya tidak terasa diremat-remat seperti saat menjumpai Jeff memilih Wena. Perutnya justru merasakan ratusan kepak kupu-kupu yang bersemayam lama.Apakah ini cinta?
“Berani-beraninya kamu mempermalukan Mama di depan staf kamu, Dov! Dan kamu melakukannya demi wanita pansos itu?!” Wanita paruh baya itu menggersah kasar sambil memijit pelan keningnya yang berdenyut-denyut. “Mau ditaruh mana muka Mama ini sekarang? Kamu jelas-jelas membela orang asing daripada ibumu sendiri.”Baru saja Dov masuk ke ruang kerjanya setelah mengantar Rona ke ruangan privasi yang sengaja dibuat untuk istirahat di sela-sela kesibukan. Lalu sekarang ia harus dihadapkan ibunya sendiri yang masih mencerocos penuh keluhan.“Lihat sendiri, kan, Jessi? Dov itu benar-benar kelewatan!” Mama kini mulai menarik mantan Dov seakan-akan sangat membutuhkan pertolongan. “Kayaknya benar apa kata kamu, Dov kena pelet wanita itu. Buktinya sekarang, dia berani sama ibunya sendiri. Sama Tante lho, orang yang melahirkan dia.”Dov meraup wajah kasar sambil menatap betapa berlebihannya omongan sang ibu. Pun tatapan Jessi yang menunjukkan keprihatinan padanya. “Tenang aja, Tante. Mungkin Dov la
“Tumben banget muka lo berseri-seri gini?”Yuyun menatap Rona dengan raut keheranan. Kedua alis yang belum dilukis itu bertaut dan disertai kening yang berkerut-kerut.Rona mengangkat wajah dari tablet yang berada di pangkuan. Ia membalas tatapan Yuyun sambil mengerjap pelan. “Ada yang salah?”“Tuh.” Yuyun mengedik pada tampilan tablet yang menunjukkan betapa pad