"Hah?"Aura melongo sesaat. Ekspresinya seperti anak kecil yang tak paham ucapan orang dewasa, sorot matanya terlihat agak polos.Jose mengernyit, lalu mengangkat tangan mencubit dagunya. "Pura-pura?""Aku ... bukan, aku cuma ...." Aura tercekat. Perkataan Jose terlalu di luar dugaan. Kasih dia rumah? Maksudnya apa? Apa Jose mau menikahinya?Membayangkannya saja rasanya tidak masuk akal. Dia terkekeh-kekeh, lalu mengangkat tangan dan mendorong Jose ke samping. "Jangan bercanda, Pak Jose. Candaanmu sama sekali nggak lucu."Siapa sangka, Jose malah tidak bergeser sedikit pun. Sebaliknya, dia malah semakin dekat. "Nggak percaya aku?"Aura kembali menoleh padanya. Dengan bantuan cahaya bulan yang redup, dia menatap wajah Jose. Bahkan dalam pencahayaan seburuk itu pun, garis wajah Jose tetap tampak luar biasa.Aura menghela napas. "Kalau tujuanmu cuma buat menghiburku, ya berhasil. Aku cukup senang kok. Tidurlah."Nada suaranya seperti sedang menenangkan anak kecil. Usai berbicara, dia lang
Meskipun agak enggan, Aura tetap melangkah ke depan pintu kamar mandi dan bertanya, "Ada apa?""Handuk," jawab Jose singkat.Pandangan Aura menyapu sekeliling ruang pakaian, baru sadar tadi Jose memang tidak membawa handuk saat masuk.Setelah berpikir sejenak, dia mengambil satu handuk dan membuka pintu kamar mandi sedikit, lalu dengan hati-hati menyodorkannya. "Nih, ambil."Jose berdiri di bawah pancuran air. Ketika melihat tangan putih bersih Aura yang menyodorkan handuk, dia mendengus pelan, lalu mengulurkan tangan dan langsung menarik pergelangan tangannya. Dia menyeret Aura beserta handuk itu masuk ke kamar mandi.Uap air memenuhi ruangan, membuat suasana terasa lembap dan agak menggoda. Aura terkejut, hampir kehilangan keseimbangan. Ketika mengira dirinya akan jatuh, tubuhnya malah terhuyung tepat ke dalam pelukan Jose.Walaupun mereka sudah berkali-kali melakukan hal intim, berdiri di depan Jose yang benar-benar tanpa sehelai benang pun, melihat tubuhnya yang penuh otot. Wajah A
"Kamu nggak apa-apa?" Jose menatap Aura dengan sorot mata dalam dan tenang.Aura belum sempat menjawab dan Jose sudah lebih dulu mendapatkan tatapan tajam dari dokter.Dokter itu menghela napas sambil menatap Aura, nadanya seperti orang yang sudah berpengalaman dan hendak memberi nasihat."Bu, kamu secantik ini, laki-laki seperti apa sih yang nggak bisa kamu dapatkan? Kalau laki-laki sudah main tangan, kamu harus berani melindungi diri sendiri dengan hukum."Saat mengatakan itu, pandangan sang dokter secara sengaja maupun tidak, terus-menerus mengarah ke Jose. Siapa yang dimaksud, sudah sangat jelas.Jose menaikkan alis, menyandarkan tubuh ke dinding sambil menyeringai kecil, lalu menatap Aura dengan mata.Aura awalnya ingin menjelaskan. Namun, dia tiba-tiba teringat waktu terakhir di rumah sakit, Jose juga pernah sembarangan bicara di depan dokter.Muncul rasa ingin membalas dendam di hatinya. Akhirnya, dia malah tidak menjelaskan bahwa luka-lukanya bukan karena Jose, malah justru men
Di vila lereng gunung, Jose sedang makan malam bersama Sherly.Ponsel yang diletakkan di sebelah tangan tiba-tiba berdering. Dia melirik dan langsung mengangkatnya. "Ada apa?""Hah?" Mendengar kabar bahwa Aura mengalami insiden, Jose sontak mengernyit. "Di rumah sakit mana?"Sambil berbicara, dia mengambil jas dan bersiap pergi. Gerakan Sherly yang sedang mengambil lauk langsung terhenti. Dia mengangkat kepala dan menatap Jose.Setelah Jose menutup telepon, barulah dia menggigit bibir dan bertanya, "Kak Jose, bukannya kamu janji malam ini akan temani aku? Mau pergi sekarang?"Jose mengangguk. "Ya, ada urusan. Kamu istirahat baik-baik di rumah, besok aku ke sini lagi."Sherly memanggilnya sebelum dia benar-benar berbalik pergi, "Kamu mau ketemu cewek yang kita lihat di mal siang tadi ya?"Jose menoleh sebentar padanya, tidak membantah. "Ya."Jari Sherly yang menggenggam sendok sempat menegang, tetapi senyumannya semakin cerah. "Itu cewek yang kamu suka ya?"Langkah kaki Jose sempat terh
"Bu Aura baik-baik saja? Bu Aura!"Siapa yang memanggilnya? Aura mengerutkan alis, berusaha membuka matanya. Namun, sekuat apa pun dia mencoba, tetap tak bisa terbuka.Tiano panik. Dia mengangkat tangannya dan menekan titik di bawah hidung Aura. Setelah beberapa saat, Aura akhirnya membuka matanya dengan linglung.Begitu melihat Tiano, dia secara refleks mengerutkan dahi. "Kenapa kamu bisa ada di sini?""Pak Jose menyuruhku mengikuti Ibu," jawab Tiano pelan.Aura mulai sadar dan langsung memegang tenggorokannya sambil batuk hebat."Siapa kamu? Ngapain masuk ke rumahku?" seru Anrez yang tadi sempat ditendang oleh Tiano hingga terlempar. Dia berusaha bangkit sambil memegangi dadanya, sementara wajahnya sama sekali tidak menunjukkan rasa takut."Kamu ini masuk rumah orang seenaknya. Kalau nggak keluar sekarang juga, aku panggil polisi!"Tiano menatapnya dengan tatapan sedingin es. Anrez yang tadi masih berbicara lantang sontak mundur selangkah. Tatapan Tiano membuatnya gentar.Anrez mungk
"Kamu masih punya muka buat pulang? Aku kira kamu sudah mati di luar sana." Suara Anrez serak saat berbicara.Seperti biasa, tidak ada satu pun kalimat yang menyenangkan keluar dari mulutnya. Aura juga sudah terbiasa dengan sindiran dan cercaan dingin dari Anrez.Dia mengangkat bahu, lalu tersenyum santai. "Orang bilang yang jahat biasanya panjang umur. Karena kamu begitu benci aku, ya tentu aku harus hidup lama-lama biar kamu makin sebal."Anrez menggertakkan gigi. Dia tahu kalau soal berdebat, dirinya tak akan menang dari Aura. Pada akhirnya, dia diam saja, mengambil sebatang rokok dan menyalakannya lagi.Aura tidak terburu-buru. Dia mengeluarkan ponsel dan memutar rekaman yang barusan dia dapat dari Serra.Begitu rekaman diputar, wajah Anrez yang awalnya datar langsung berubah menjadi terkejut. "Di mana dia?"Aura tersenyum tipis. "Kenapa terburu-buru? Dengar dulu pengakuannya sampai habis.""Pengakuan?" Anrez menyipitkan mata, bertanya, "Pengakuan apa?"Aura tidak menjawab.Rekaman