MasukBab 5
Jonathan berdehem, berusaha mencairkan suasana yang kaku. "Maaf Ayah tidak menyiapkan apa-apa saat kedatanganmu-"
Lila pun datang kembali dari dapur, membawa nampan berisi secangkir kopi hitam pekat sesuai permintaan Oliver. Kehadirannya membuat Jonathan menjeda percakapannya dengan putra tirinya.
Tanpa mengatakan apa-apa, Lila meletakkan cangkir tersebut di atas meja, tepat di sisi tangan Oliver. Lila berusaha sebisa mungkin agar tangannya tidak gemetar, meski ia merasa tatapan Oliver yang tajam sedang menelanjangi dirinya sekali lagi. Saat ia menarik kembali nampannya, Lila dapat melihat perubahan ekspresi Oliver yang tiba-tiba mengeras, matanya tertuju pada bibir dan leher Lila yang kini tertutup rapi oleh pakaiannya.
"Bagaimana kalau Ayah menyiapkan pesta penyambutan kamu malam ini di hotel? Teman-teman bisnismu pasti ingin menyambut kepulanganmu ke tanah air," lanjut Jonathan dengan nada yang dipaksakan ramah.
Trak!
Suara benturan garpu dan pisau perak yang dilemparkan Oliver ke atas piring marmer menciptakan bunyi denting yang memekakkan telinga. Suasana seketika mencekam. Oliver berdiri dengan kasar, mendorong kursinya ke belakang hingga menimbulkan suara gesekan keras di lantai.
"Tidak perlu," ucapnya datar, suaranya sedingin es.
Jonathan tersentak. "Tapi, Oliver, ini demi nama baik keluarga-"
"Aku tidak butuh pesta sampah seperti itu," potong Oliver. Ia menoleh ke arah Lila yang masih berdiri mematung di dekat meja. "Dan kau..."
Lila tersentak, dadanya naik turun dengan cepat. "Y-ya, Tuan?"
"Bawa kopi ini ke ruang kerjaku. Sekarang. Rasanya terlalu memuakkan jika diminum di sini," perintahnya ketus.
Oliver memutar tubuhnya, melangkah pergi tanpa pamit pada Jonathan. Jonathan hanya bisa menghela napas panjang, terlihat lelah menghadapi keangkuhan putra tirinya. Ia menatap Lila dengan tatapan meminta maaf.
"Maafkan sikapnya, Lila. Bawakan saja kopinya ke ruang kerja di lantai dua. Itu ruangan yang ada di sebelah kamar tamu," ujar Jonathan lembut, namun kata 'kamar tamu’ membuat perut Lila melilit.
Wanita bersurai hitam itu mengangguk pasrah. Ia mengambil kembali cangkir kopi yang bahkan belum sempat disesap oleh Oliver. Dengan langkah berat, ia berjalan menaiki tangga.
Begitu ia sampai di depan pintu ruang kerja kayu jati yang besar, Lila menarik napas dalam-dalam. Ia mengetuk pintu itu dua kali.
"Masuk," suara bariton Oliver terdengar dari dalam.
Saat Lila masuk, ia menemukan Oliver berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke halaman belakang, membelakanginya. Asap rokok mengepul dari sela jarinya.
"Letakkan di sana," ujar Oliver tanpa berbalik.
Lila meletakkan kopi itu di meja kerja kayu yang penuh dengan berkas. Ia berniat segera pergi, namun suara Oliver menghentikannya.
"Kau ingin mengadu pada Jonathan, bukan?" Oliver berbalik perlahan. Senyum miring tersungging di bibirnya yang terluka. "Apa kau akan memberitahunya bahwa kau sudah mencicipi ranjangku?"
"Anda keterlaluan, Tuan!" Lila mendesis, matanya penuh amarah.
Oliver melangkah maju, memangkas jarak hingga Lila terdesak ke pinggiran meja kerja. "Keterlaluan? Kau belum melihat apa-apa, Lila."
Oliver mencondongkan tubuhnya, mengunci Lila dengan kedua tangannya di atas meja. "Aku punya tawaran yang lebih menarik. Tawaran yang akan memberikanmu 500juta itu tanpa kau harus benar-benar tidur denganku lagi... jika kau bisa bekerja sama."
Lila menelan ludah, tatapannya beralih antara mata gelap Oliver dan bibirnya. "A-apa maksud Anda?"
Oliver menyesap rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskan asapnya tepat ke arah wajah Lila, membuat wanita itu terbatuk kecil dan memalingkan muka. Cengkeraman tangan Oliver di pinggiran meja semakin erat, mengunci tubuh mungil Lila agar tidak punya celah untuk kabur.
"Jonathan Miller... pria tua yang kau anggap majikan baik hati itu," Oliver memulai dengan nada sinis, "dia adalah parasit. Dia sudah mengerogoti kekayaan mendiang ayahku selama bertahun-tahun. Dan sekarang, dia berpura-pura menjadi duda malang yang berwibawa."
Lila mengerutkan kening, mencoba mencerna informasi itu. "Lalu apa hubungannya dengan saya?"
Oliver menyeringai, sebuah ekspresi yang terlihat sangat berbahaya. "Aku butuh bukti bahwa dia adalah pria brengsek yang tidak layak memegang satu sen pun dari warisan ibuku. Aku butuh alasan untuk menyingkirkannya tanpa membuat keributan di publik."
Ia mencondongkan wajahnya lebih dekat, hingga hidung mereka hampir bersentuhan. "Godalah dia…”
Bab 8Lila terus meronta, namun setiap gerakan tubuhnya justru menciptakan gesekan yang semakin membakar gairah Oliver. Di bawah cahaya lampu tidur yang remang dan cahaya matahari pagi, Oliver menanggalkan kemejanya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya tetap mengunci kedua pergelangan tangan Lila di atas kepala."Lepas... Tuan... ini salah..." rintih Lila dengan suara yang mulai habis. Tenaganya terkuras, napasnya tersengal-sengal di bawah beban tubuh kekar Oliver yang menekannya tanpa ampun ke dalam ranjang."Diamlah, kucing liar!” desis Oliver di depan bibir Lila.Dengan satu sentakan kasar, Oliver merobek sisa kain seragam pelayan yang sudah tak berbentuk itu. Suara kain yang koyak bergema di ruangan yang sunyi, menyisakan Lila dalam keadaan benar-benar telanjang dan terpapar di bawah tatapan lapar sang majikan. Oliver menjilati bibirnya, matanya menyisir setiap inci kulit putih bersih Lila yang kini kemerahan karena gesekan.Tangan kasar Oliver mulai menjamah. Ia meremas pa
Bab 7"Jangan seenaknya, Tuan!" Lila menyahut dengan wajah tertekuk. Amarahnya memuncak setiap kali pria ini merendahkannya. "Aku bukan tawanan Anda dan aku bukan kucing liar!""Kau..." Oliver menggeram rendah. Kalimat perlawanan Lila seolah menjadi bahan bakar bagi gairahnya yang liar.Di dalam kamar yang luas dengan pencahayaan minim itu, aroma maskulin Oliver yang bercampur dengan wangi musk terasa menyesakkan bagi Lila. Cahaya lampu tidur dan sinar matahari pagi yang temaram memberikan bayangan panjang yang mencekam di dinding, mempertegas posisi Oliver yang mengunci tubuh Lila di atas ranjang empuk.Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut, Oliver kembali memaksa melumat bibir Lila. Kali ini lebih dalam dan menuntut. Tangan besarnya merayap naik, mencengkeram leher Lila, tidak sampai menyakiti, namun cukup kuat untuk memberikan tekanan yang membuat napas Lila tersendat sekaligus membakar gairah yang tidak diinginkan."T-tuan O-oliver... Hen... tikan..." rintih Lila di sela-sela pag
Bab 6Ia mencondongkan wajahnya lebih dekat, hingga hidung mereka hampir bersentuhan. "Godalah dia… Buat dia bertekuk lutut padamu. Buat dia berselingkuh denganmu di rumah ini."Lila terbelalak. "Apa?! Anda gila! Saya tidak akan melakukan hal menjijikkan seperti itu!""Jangan munafik," desis Oliver. "Semalam kau hampir menyerahkan dirimu demi uang. Sekarang aku menawarkan jalan yang lebih 'bersih'. Kau tidak perlu benar-benar tidur dengannya jika kau pintar. Aku hanya butuh bukti foto atau video saat dia mencoba menyentuhmu."Oliver menarik diri sedikit, merogoh saku jasnya dan mengeluarkan ponsel. Ia menunjukkan sebuah foto surat kontrak operasi rumah sakit ibunya yang entah bagaimana sudah ada di tangannya."Ibumu akan dioperasi minggu depan. Biayanya 1,5 Milyar secara total, bukan? 500 juta hanya untuk uang muka. Jika kau berhasil membantuku menjatuhkan Jonathan, aku tidak hanya akan membayar 500 juta. Aku akan menanggung seluruh biaya operasi dan pemulihan ibumu sampai sembuh tota
Bab 5Jonathan berdehem, berusaha mencairkan suasana yang kaku. "Maaf Ayah tidak menyiapkan apa-apa saat kedatanganmu-"Lila pun datang kembali dari dapur, membawa nampan berisi secangkir kopi hitam pekat sesuai permintaan Oliver. Kehadirannya membuat Jonathan menjeda percakapannya dengan putra tirinya.Tanpa mengatakan apa-apa, Lila meletakkan cangkir tersebut di atas meja, tepat di sisi tangan Oliver. Lila berusaha sebisa mungkin agar tangannya tidak gemetar, meski ia merasa tatapan Oliver yang tajam sedang menelanjangi dirinya sekali lagi. Saat ia menarik kembali nampannya, Lila dapat melihat perubahan ekspresi Oliver yang tiba-tiba mengeras, matanya tertuju pada bibir dan leher Lila yang kini tertutup rapi oleh pakaiannya."Bagaimana kalau Ayah menyiapkan pesta penyambutan kamu malam ini di hotel? Teman-teman bisnismu pasti ingin menyambut kepulanganmu ke tanah air," lanjut Jonathan dengan nada yang dipaksakan ramah.Trak!Suara benturan garpu dan pisau perak yang dilemparkan Oliv
Bab 4Lila membuka mata tepat jam 5 pagi. Kepalanya terasa berat dan berdenyut, efek dari hanya tidur selama 1 jam setelah pulang dari The Shadow Bar. Namun, rasa lelah itu kalah oleh kegelisahan yang merayap di dadanya. Ia harus kembali memulai pekerjaannya sebagai pelayan di Kediaman Miller.Pagi ini, ia harus menghadap Tuan Jonathan. Ia harus melaporkan pria asing yang sudah melecehkannya semalam. Ia tidak bisa bekerja di bawah satu atap dengan monster seperti itu, kalau pun mengundurkan diri, dia harus berkata apa pada sang Ibu?Dengan cepat ia bersiap-siap dan mengenakan seragam pelayannya yang masih bersih, untungnya ia memiliki cadangan karena seragam yang semalam telah terkoyak tragis, tak bisa di perbaiki sama sekali."Aku harus cepat sebelum Tuan Jonathan pergi ke kantor!" gumamnya sembari mengambil langkah cepat. Jari-jarinya sedikit bergetar saat merapikan kerah bajunya.Lila segera menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi ruangan, namun
Bab 3Lila terdiam, isak tangisnya seketika menghilang. Ia berpikir keras. 300 juta. Jumlah itu berkelip di benaknya, mengalahkan rasa sakit dan kehinaannya."300 juta..." lirihnya.Ia memikirkan kembali uang yang harus ia kumpulkan demi pengobatan sang Ibu. Bahkan jika ia bekerja keras selama setahun, uang sebanyak itu akan sulit ia kumpulkan. Ia mengusap pipinya yang basah dan berkata, "Apa aku terima saja?"Namun, dengan cepat ia menampar pipinya sendiri. Plak! Sebuah tamparan keras untuk mengembalikan akal sehatnya."Sadar, Lila! Kamu bahkan tidak tahu siapa pria brengsek tadi! Besok aku akan melaporkannya ke Tuan Jonathan," putusnya tegas. Harga dirinya masih lebih tinggi daripada keputusasaan.Lila bangkit dari duduknya. Ia masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuh dari sisa-sisa air mata dan keringat. Tidak ada waktu baginya untuk berlama-lama kalut dalam kesedihan. Ia harus bekerja. Malam masih panjang, dan ia punya pekerjaan lain yang harus diselesaikan.Dengan terg







