Pov Rahma
Harga sudah disepakati. Tempat sudah diatur. Edo pun telah aku titipkan pada Bu Sinta, penunggu pasien disamping brankar. Semua telah diatur. Namun kini berganti hatiku yang berdetak tak karuan. Ragu, tapi harus. Takut tapi wajib. Malu tapi tetap harus kulakukan. Biaya perawatan Edo masih kurang. Sedangkan, Asep, sama sekali tak bisa dihubungi. Begitupun dengan saudara yang lain. "Kalau ragu, tak perlu dilakukan, Nak! Percayalah, Tuhan pasti memberi jalan yang terbaik," ujar ibu itu saat melihatku masih ragu untuk melangkah. Padahal waktu perjanjian sudah mendekati. " Apakah yang saya lakukan ini salah, Bu? Saya... Saya takut tidak bisa membawa pulang Edo kalau biayanya masih kurang,"lirihku namun masih bisa didengar ibu itu. Ibu Sinta hanya menghembuskan nafas perlahan, " Kalau kasusnya sepertimu, aku pun tak paham. Semoga saja Tuhan mendispensasi kesalahanmu yang ini." Aku menata nafas sebentar. Setelah berpamitan dengan Bu Sinta, aku berlalu ke tempat seharusnya aku bertemu dengan seseorang. Saat tiba di lobi, tanganku masih gemetaran. Aku takut. Jujur, aku takut. Berbagai perandaian memenuhi otakku. Andai aku tak menyusul Asep, andai aku menyambung kontrak kerjaku, andai aku tak mendengarkan ucapan Emak. Andai... Hanya andai... Namun, ternyata kini aku sudah mempunyai Edo. Anak yang sekarang membuatku harus menghilangkan harga diri. Setelah mendapatkan info dari resepsionis, aku segera menuju kamar 203, tempat pelanggan pertamaku berada. Semoga cukup pelanggan ini saja, Tuhan! Aku tak akan sanggup akan murkamu jika dosa ini kulanjutkan. Tok... tok... tok... Seseorang langsung membukakan pintu. Bukannya langsung masuk, kami malah saling terpaku di tempat. "Wow... Kejutan macam apa ini? Setelah lepas dariku, kamu menjadi murahan?" sapa orang di depanku terkejut. "Mas Rahmat?" ucapku lirih. Bagaimana kami tak saling terkejut jika orang yang akan aku ajak dosa pertama kali ini adalah orang yang hampir melamarku? Apalagi kami terpisah hanya karena tradisi. "Suatu kejutan yang menyenangkan! Aku naikkan harga kesepakatan jika kamu bisa membuatku puas." Sebuah senyum terkembang di bibirnya. Sedangkan aku, semakin bingung dengan langkahku. "Mas, aku minta maaf. Sebaiknya, kita batalkan perjanjian kita. Permisi!" Aku segera berbalik. Yakin aku tak akan bisa melakukan pekerjaan ini. Apalagi ini adalah mantan. Astaga... Rahmat segera berlari ke pintu dan menguncinya. Aku menjadi semakin bingung. Dia sudah beristri. Buat apa memesan perempuan lain? Apalagi ini aku, mantannya! "Mas!!!" teriakku. Aku tak menyangka laki-laki yang dulu begitu kukagumi, menjadi seperti ini. "Apa? Kau tak tau betapa terlukanya aku saat kamu memilih berpisah denganku!" bahuku dihempasnya hingga membentur tembok. Sakit! Apa yang merasuki Mas Rahmat saat ini? Kenapa dia begitu kasar? "Perpisahan kita karena orang tuamu yang tak menyetujui hubungan kita. Pakai ada istilah Jilu. Aku tidak mau Mas menjadi durhaka. Lagipula saat itu, Mas juga diam tak membantah ucapan ibu bukan?" paparku tak kalah emosi. Kenapa dia harus menyalahkanku jika dia sendiri pun tak mau berjuang. Kalau sekarang dia baru mau berjuang, terlambat! Bahkan amat sangat terlambat! " Aku saat itu juga bingung. Namun bukan berarti kita langsung berpisah seolah-olah kamu sama sekali tak menghargai hubungan kita." Mas Rahmat langsung mencium bibirku dengan brutal. Sama sekali tak ada kelembutan. Bahkan dia melakukan itu seakan aku ini hanya barang mati yang seenaknya diperlakukan seperti tak punya hati. Hampir 1 jam kami berperang. Namun sepertinya Mas Rahmat sudah tak ingin melanjutkan lagi. Aku pun segera berdandan untuk kembali ke rumah sakit. "Kenapa Kamu melakukan ini, Ma? Bukankah disini kamu ikut suamimu?" tanya Mas Rahmat saat aku terburu-buru ingin keluar kamar. "Bukan urusanmu. Yang pasti urusan kita sudah selesai." Tak kuhiraukan lagi Mas Rahmat dan segala teriakannya. Ini sudah hampir subuh. Kasihan bu Sinta jika harus menunggu Edo terlalu lama. Apalagi beliau juga sibuk mengurus cucunya. Saat akan tiba di ruangan Edo, suasana ramai seperti terjadi sesuatu. Aku pun mempercepat langkah kakiku. Apa ini? Apa yang terjadi? Edo sudah dibalut perban di kepalanya dan Bu Sinta berderai air mata. Dokter dan perawat pun masih sibuk mengurusi Edo. "Ada apa, Bu? Kenapa Edo bisa seperti ini?" Tangisku sudah tak tertahan lagi. Ingin aku memeluk malaikat kecilku itu. Tetapi dokter melarang karena Edo masih harus observasi lebih lanjut demi mengecek apakah ada lagi hal yang tak diinginkan. "Nenek sama ayahnya tadi kemari. Katanya akan mengambil Edo biar biayanya tak semakin banyak. Tetapi kan katamu Edo baru bisa pulang sore ini. Makanya, aku tak mengizinkan. Mereka mengamuk dan mengambil paksa Edo hingga tanpa sengaja Edo terjatuh." Deg... Perkataan Bu Sinta membuatku gemetar. Pantas saja dokter bilang akan melakukan observasi ulang. Rupanya bayiku terjatuh. Ya, Tuhan!!! " La-lalu kemana suami saya, Bu? "Aku pun menjadi tergagap mendengar apa yang terjadi kepada Edo. Laki kurang ajar itu harus aku balas. " Ke ruang satpam bersama ibunya. Balas, tapi jangan sampai pakai kekerasan. Itu bisa dia jadikan senjata untuk membuatmu susah." Aku pun mengangguki ucapan Bu Sinta. Tetapi nanti kenyataannya, entahlah! Dari kejauhan kulihat pos satpam sangat ramai. Banyak suara-suara sumbang yang membuat subuh di rumah sakit ini semakin bising. " Apa yang kalian lakukan kepada putraku? "teriakku yang membuat semua mata tertuju padaku. Mata Asep menatap tajam padaku, sedangkan aku sudah mati rasa terhadapnya. Laki-laki yang sudah membuat anakku celaka. Kupercepat langkah kakiku mendekat padanya. Bahkan tanpa basa-basi segera kutampar dan kujambak rambutnya. Hilang sudah rasa hormatku padanya. Pada lelaki yang seharusnya paling bertanggung jawab akan kelangsungan hidup anak dan istrinya. Tangan Asep mencoba menarik genggaman tanganku, namun cengkraman tanganku di kepalanya semakin ku pererat. Hatiku sudah menghitam dengan segala dendam sepertinya. "Kau tega menelantarkan aku dan anakku, kau tega tak memberi makan dan uang untukku, bahkan hanya sepasang baju ganti pun, kau tega tak membawakannya untukku. Dan sekarang, kau malah mencelakakan anakku. Bapak macam apa Kau?" teriakku kencang hingga satpam yang tadinya membiarkan perlakuanku, ikut memisahkan kami. Namun, entah mendapat kekuatan dari mana, cengkraman tanganku di kepalanya semakin erat. Hingga sebuah tamparan kuat hinggap di pipiku. Cengkraman tanganku di kepala Asep terlepas. Kupandang wajah mertua yang menatap bengis padaku. Lalu ku alihkan pandangan ke laki-laki brengsek berjuluk suamiku. "Jika sampai terjadi apa-apa sama Edo, aku akan pastikan, bukan penjara tempat kalian berada. Tetapi neraka paling jahanam!""Kenapa kalian dulu berpisah?" Aku dan Mimi menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan di sekitar rumah sore ini karena sedari tadi aku sudah merasa tidak nyaman di punggung belakangku. "Karena ada masalah," jawabku singkat. Ya kali aku mau bilang kalau kami berpisah karena kepercayaan kuno? Kan tidak masuk akal! "Masalah apa? Aku lihat Rahmat sangat mencintaimu. Jadi pasti bukan dia yang buat masalah kan?" cerca Mimi lagi. Aku hanya menghembuskan napas lelah. Aku tak mau membongkar hal tak penting di masa lalu. Tetapi kenapa, Mimi malah mengoreknya sedari tadi. "Itu semua hanya masa lalu, Mi! Yang mungkin juga akan menjadi masalah suatu saat nanti juga karena kini semua orang menjadi tau, bahwa kami kembali bersama," Aku terdiam. Namun tidak dengan kakiku. Rasa panas di punggung sedari tadi membuatku semakin yakin kalau buah hatiku semakin tidak sabar untuk keluar dari dalam perut. " Balik yuk! Ngeri aku mendengarmu merasakan kesakitan. Apa operasi aja yuk! Jangan khawatir. Nant
"Ngapain kamu disini?" Pagi-pagi buta Mimi sudah terlihat di depan rumahku. Kurang kerjaan sekali sebenarnya. Mentang-mentang sekarang sudah tak kerja malam, jam segini sudah berkeliaran di rumah orang. "Mau jaga kamu. Siapa tau mau lahiran kan?" ucapnya santai. Mimi segera masuk ke dalam kamar yang biasa ia gunakan saat menginap disini. "Edo mana?" tanyanya langsung saat boneka hidupnya tak terlihat. Aku hanya menggeleng melihat sahabatku tak tau diri itu. "Ini masih jam lima. Edo juga masih terlelaplah." Tak kuhiraukan lagi keberadaannya. Aku harus segera beberes mumpung Edo belum terbangun. "Ngga usah masak! Aku dah pesan gulai dari waring depan gang. Lebih baik sekarang, kamu prepare apa yang akan kamu bawa kalau sampai melahirkan." Mimi beralih menuju lemari perlengkapan bayiku. Sedangkan aku, aku malah memilih berdiam diri sembari melihat betapa repotnya sahabatku itu. " Perlengkapan mandi dibawa tidak?" tanya Mimi padaku. Aku hanya menggeleng sebagai jawaba
"Do'amu terkabul. Aku akan menikah dengan seorang mafia." ucap Mimi dengan santainya. Aku sontak tertawa mendengar gurauan Mimi yang tidak tau aturan. Mana ada mafia di zaman sekarang. "Kalau bercanda yang masuk akal sedikit. Mana ada mafia di negara kita," balasku seraya terkekeh. Ada-ada saja!!! Namun tatapan mata tajam Mimi membuatku merasa kalau dia sedang tidak bercanda. "Mi,,," ucapku seraya membalas tatapan tajam matanya. Mimi hanya menjawab dengan mengangguk sebagai jawabannya. Namun... "Hwa...bagaimana ini, Ma! Kenapa ada manusia seperti dia yang mau menerima sampah seperti aku." Teriakan Mimi yang melengking membuat Edo yang sedang bermain pun menjadi ikut terkejut dan menangis. Lekas saja kegeplak punggungnya gemas karena teriakan dia, membuat Edo terkejut dan menangis. " Cup cup cup, sayang! Tante ngga marah kok. Cup cup cup ya." Aku mencoba mengangkat Edo dan menimangnya agar bisa diam. " Jangan teriak bisa ngga sih. Kalau anakku sudah menangis kaya
"Mau kemana kamu?" Aku sebenarnya sudah sangat kesal dengan kehadiran mas Rahmat disini. Tak tau kah dia kenapa aku lebih memilih rumah yang tiada tetangga seperti ini untuk dikontrak? Tentu saja untuk menghindari ucapan pedas dari orang-orang yang mengenalku sebagai orang ketiga diantara pernikahan Rahmat dan Agnes. Namun sepertinya, mas Rahmat tidak pernah peduli tentang hal itu. "Mau apalagi sih kamu kemari, Mas? Aku sudah lelah menjadi pergunjingan warga karena kehadiran kamu yang terus-menerus membuat aku selalu saja disindir yang ngga-ngga," seruku yang mulai lelah dengan sikap mas Rahmat yang bebal. Apalagi Agnes pun pernah datang ke rumah ini hanya untuk mencaci makiku. Sungguh! Kesalahan pertama yang berdampak selamanya kalau sudah seperti ini. " Apanya lagi yang mesti dipermasalahkan sih? Aku duda, kamu janda. Lalu apa salahnya?" ucap mas Rahmat tanpa merasa bersalah. Ingin rasanya kuremas mulut mas Rahmat yang terlalu santai dengan keadaan. Sama sekali dia tak per
Pov Rahma "Kita buat acara tujuh bulanan yang bagaimana ya sebaiknya?" ucap Rahmat dengan senyum melebar mengungkapkan betapa bahagianya dia dengan kehamilanku ini."Huft... Apa kamu ngga malu dengan kehamilanku ini? Setidaknya, jika kamu ngga malu, pikirkan bagaimana perasaanku," ucapku sembari menimang Edo yang terlihat sudah sangat ngantuk sekali. "Kenapa harus malu? Tak ada yang memalukan dengan anak kita," kekeh Rahmat yang membuatku menggeram kesal. "Anak ini ada di luar pernikahan. Nasabnya jatuh padaku, ibunya. Semua orang bahkan tau bahwa aku adalah orang ketiga diantara hubunganmu dengan Agnes dulunya. Apa kamu sadar beban apa yang akan ditanggung anakmu?" tanyaku berapi-api. Bukan aku tak menerimanya. Aku hanya menyesalkan kehadirannya yang diluar pernikahan. Itu akan menjadi ujian yang berat kala ia dewasa nanti. "Aku hanya akan berdoa kepada Tuhan saja semoga aku dan dia baik-baik saja, diberi kelancaran sampai melahirkannya nanti, dia lahir dengan sempurna tanpa
" Dia akan menjadi princess yang cantik dan penuh percaya diri karena ayahnya akan selalu menjadi garda terdepan untuk selalu melindunginya," ucap Rahmat sembari bernapas lega, perempuan yang selama ini dicarinya kini telah ketemu. Apalagi saat melihat perut Rahma yang membuncit, semakin yakin pula bahwa mimpinya bukan sekedar bunga tidur. Rahma dan Mimi tak bisa menyembunyikan raut wajah terkejut. Darimana laki-laki ini bisa menemukan lokasi tempat tinggal Rahma? "Aku sudah membuntuti Mimi berulang kali. Namun baru kali ini tujuan kepergiannya sama seperti tujuanku." Rahmat mendekati Rahma dan mencoba mengelus perutnya. Sebuah sambutan luar biasa karena anak di dalam perutnya juga bergerak seakan mengetahui jika yang menyentuhnya adalah ayahnya. " Selamat sore, anak ayah! Sehat kamu, Nak,"ucap Rahmat yang dibalas sundulan dari janin yang ada didalam perut Rahma. Rahmat tentu saja sangat bahagia pertanyaannya mendapatkan sambutan. Rahma yang tersadar akan kelakuan Rahmat seg