Pov Rahma
"Jika sampai terjadi apa-apa sama Edo, aku akan pastikan, bukan penjara tempat kalian berada. Tetapi neraka paling jahanam!!!" ancamku pada mereka. Dadaku masih kembang kempis karena emosi. Akan tetapi, kedua orang ini sepertinya semakin memancing emosi. Kulihat mereka berdua malah tersenyum sinis. " Bagus kalau terjadi apa-apa. Setidaknya, tak ada lagi bayi menyusahkan di rumah. Kamu pun bisa bekerja kembali dan menghasilkan. Menikah sudah 2 tahun kok tak ada perkembangan apa-apa." cibir Ibu mertuaku. Ya Tuhan... Sekarang justru aku yang tersenyum sinis. Rupanya selama ini mereka tak tahu siapa orang yang telah bersusah payah memeras otak, tenaga serta harta demi memenuhi keinginan mereka. " Memang genteng yang baru dipasang itu pakai uang siapa? Memang waktu Mardi di rumah sakit itu pakai duit siapa? Memang waktu wisuda Astri itu pakai duit siapa? UANG AKU!!!" ucapku lantang. "Jangan bohong kamu!" ucap lirih Bu Yati yang sepertinya sudah ketakutan. "Bahkan untuk genteng saja waktu itu mas Asep pakai uang utang. Dan bodohnya, aku tak tau akan hal itu. Dan siapa yang pontang-panting membayar hutangnya? AKU! AKU, MBOK! AKU!!!" seruku. Mas Asep semakin menunduk. Sedangkan Bu Yati menatap wajah anaknya dan aku secara bergantian. " Dan tarik kembali ucapan Mbok tentang anakku. Aku tak kan membiarkan ada apa pun yang menimpa anakku. " lekas kulangkahkan kaki menjauh dari mereka. Jika kuladeni, waktu seharian pun tak akan cukup untuk meladeni mereka. "Memang kamu punya cukup uang? Untuk makan sehari-hari saja masih mengemis pada kami. Sok-sokan sekarang mau mempertahankan Edo dirawat di sini!" ucap Bu Yati seolah meremehkanku. Kusunggingkan senyum di bibirku dan kembali mendekat pada wanita yang seharusnya dipanggil nenek oleh anakku itu. " Utang anakmu saja aku sanggup membayar, apalagi untuk biaya rumah sakit buah hatiku. Anda belum mengenal saya dengan baik, Bu!" cibirku. Kutatap wajah Bu Yati kembali. Kubuang semua sikap takut dan hormatku padanya. "Dan aku tak pernah mengemis makan padamu atau anakmu. Karena seharusnya jika seorang laki-laki sudah beristri, istri adalah tanggung jawab utamanya. Jika dia belum atau bahkan tidak mampu akan hal itu, jangan coba-coba untuk menikah. Karena hanya akan mempermalukan dirinya sendiri nantinya. " Tak kuhiraukan lagi ucapan mereka. Anggap saja angin lalu. Kupercepat langkah kaki menuju ruangan Edo karena aku sudah terlalu lama meninggalkannya. Kulihat Edo masih tertidur lelap. Bu Sinta pun sudah kembali ke samping brankar cucunya yang terlelap. Kuelus dahi putraku yang berbalut perban. Tanpa kusadari, airmata mulai mengalir ke pipiku. Dadaku menjadi sesak memikirkan keadaannya. "Maafkan, Ibu, Nak! Maaf belum bisa menjadi ibu yang baik untukmu." lirihku. Aku sudah bertekad untuk kembali ke kota. Mencari kerja sembari menjaga Edo itu pilihan utamanya. Tentang pernikahanku, mungkin lebih baik kuakhiri saja. Bukan sekali dua kali Mas Asep berbuat sesuka hatinya. Sering kali setiap selesai jual rosok, Mas Asep tidak mau kerja. Hanya memancing saja seharian. Kalau tidak ada order, dia hanya mencari rosok sesuka hatinya. Ekonomi keluarga kami sebetulnya bisa dikatakan mencukupi seandainya kami bisa mengatur uang dengan baik. Akan tetapi, kalau ibuku dan ibu Mas Asep sudah menodong, lagi-lagi tabungan kami akan terkuras. Jika ibuku memperbaiki dapur, ibu Mas Asep juga meminta uang untuk memperbarui dapur. Jika ibuku ingin membuat pagar, ibu mertua pun menjadi ikut-ikutan. "Inget! Saya ibunya Asep. Tanpa izin saya, kamu tak bisa menikah dengannya. Sudah sepantasnya kalau kamu juga ikut memikul tanggung jawabnya untuk menghidupi saya. Juga adik-adiknya. Seharusnya dahulukan dulu saya, bukan ibu kamu. Paham kamu?" ucap Ibu mertua saat aku mulai protes dengan segala permintaan ibunya Mas Asep itu. Tentu saja protesku kuutarakan pada Mas Asep. Tetapi entah apa yang ada dipikiran suamiku itu hingga menceritakan ini semua pada ibunya. Ujung-ujungnya, aku lagi yang terkena ceramah ibunya. Kalau hidup seperti ini, bagaimana uang kami dapat terkumpul??? Ehm... Ehm... Bayiku mulai bergerak lembut. Bibirnya mulai mencebik. Segera kuangkat perlahan untuk kususui. Untung saja gorden dari tadi memang sudah kututup. Bayiku mulai menyesap sumber hidupnya dengan kencang. Sedikit nyeri, tapi ini sebagai bukti kalau putraku sudah semakin membaik. "Edo haus ya? Pelan-pelan saja, sayang!" kuelus lembut pipi anakku yang sudah mulai tirus. Memang sebelum kubawa ke rumah sakit, Edo sudah sering batuk akhir-akhir ini. Mas Asep selalu bilang buat beli obat di warung dulu. Tapi dosisnya dikurangi. Aku tak pernah menuruti kata-katanya itu. Gila saja, bayi 2 bulan mau diberi obat warung? Namun karena kemarin sampai sesak nafas, aku pun segera melarikannya ke puskesmas dulu baru merujuk ke rumah sakit. Untunglah kata dokter masih bisa diatasi. Kalau tidak, bukankah aku akan menyesal seumur hidup? "Ma,,," suara Bu Sinta terdengar dari balik gorden. Kusibak gorden perlahan. Edo yang sudah kembali terlelap, segera kutidurkan diatas brankarnya. Bu Sinta duduk disampingku. Membelai lembut jariku seperti seorang ibu yang memberi kekuatan pada anaknya. " Bagaimana tadi malam? Maaf ya saat kamu datang, Edo sudah bertambah sakit." ucap Bu Sinta penuh penyesalan. Padahal aku tak pernah ada keinginan sedikitpun untuk menyalahkan beliau. Justru aku sangat berterima kasih kepadanya karena saat aku berkubang dosa, bu Sinta sudah mau menjaga anakku. " Mereka saja yang gila, Bu. Saya sudah tak memikirkan hal itu. Yang terpenting bagi saya sekarang, hanya kesehatan Edo. Untuk Bapaknya, mungkin berpisah adalah pilihan terbaik bagi kami." terangku. Aku sudah lelah dengan segala sikap mengalah selama ini hingga anakku pun menjadi korban. Aku hanya ingin waras. Mungkin dengan terlepas dari Mas Asep dan keluarganya sekaligus ibuku, aku dapat bernafas dengan lega. Setidaknya, sampai aku benar-benar mampu memberikan kebahagiaan untuk Edo. "Apakah Edo tidak akan menanyakan kasih sayang bapaknya? Jangan egois, Ma! Pikirkan semuanya dengan tenang. Lepaskan semua amarahmu dahulu, baru kamu membuat keputusan." nasehat bu Sinta merasuk hatiku. Namun, benarkah jika aku mempertahankan pernikahan ini Edo akan bahagia? Apakah Mas Asep benar-benar bisa memberikan kasih sayangnya padahal selama 2 bulan ini pun, Mas Asep tak pernah mau menyentuh Edo? Kuhembuskan nafas perlahan. Kenangan pahit selama 2 bulan kelahiran Edo terbayang kembali di mataku. Selain bekerja, Mas Asep hanya akan bermain dengan teman-temannya. Katanya menjaga anak itu membosankan. "Mas, tolong jaga Edo sebentar ya? Aku mau mencuci baju." ucapku saat kulihat Mas Asep hanya main hp. "Ck... Anakmu itu menyusahkan. Aku itu sudah lelah bekerja. Kalau libur itu pengennya istirahat. Bukan momong anak. Jaga sendiri!" ucap Mas Asep setiap aku minta tolong menjaga Edo. Selalu alasan, alasan dan alasan. Tetapi kalau teman-temannya datang, dia mampu bergadang sampai dini hari. Inginku marah, tapi sama sekali tak akan menyelesaikan masalah. Akhirnya aku hanya bisa bersabar dengan menaruh Edo di kasur kecil yang kubawa disamping kamar mandi. Sedangkan aku, melanjutkan pekerjaan yang ada. Dan kini, apakah aku masih harus berpikir ulang mengenai kelanjutan pernikahanku sedangkan orang yang dipertahankan saja lalai akan tanggung jawabnya? "Kelihatannya, saya sudah yakin berpisah, Bu! Mungkin ini juga yang terbaik bagi saya dan juga Edo. Siapa tahu nanti saya dan Edo akan mendapatkan pengganti yang lebih baik." pungkasku. "Tak akan pernah kita bercerai, perempuan murahan!!!""Kenapa kalian dulu berpisah?" Aku dan Mimi menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan di sekitar rumah sore ini karena sedari tadi aku sudah merasa tidak nyaman di punggung belakangku. "Karena ada masalah," jawabku singkat. Ya kali aku mau bilang kalau kami berpisah karena kepercayaan kuno? Kan tidak masuk akal! "Masalah apa? Aku lihat Rahmat sangat mencintaimu. Jadi pasti bukan dia yang buat masalah kan?" cerca Mimi lagi. Aku hanya menghembuskan napas lelah. Aku tak mau membongkar hal tak penting di masa lalu. Tetapi kenapa, Mimi malah mengoreknya sedari tadi. "Itu semua hanya masa lalu, Mi! Yang mungkin juga akan menjadi masalah suatu saat nanti juga karena kini semua orang menjadi tau, bahwa kami kembali bersama," Aku terdiam. Namun tidak dengan kakiku. Rasa panas di punggung sedari tadi membuatku semakin yakin kalau buah hatiku semakin tidak sabar untuk keluar dari dalam perut. " Balik yuk! Ngeri aku mendengarmu merasakan kesakitan. Apa operasi aja yuk! Jangan khawatir. Nant
"Ngapain kamu disini?" Pagi-pagi buta Mimi sudah terlihat di depan rumahku. Kurang kerjaan sekali sebenarnya. Mentang-mentang sekarang sudah tak kerja malam, jam segini sudah berkeliaran di rumah orang. "Mau jaga kamu. Siapa tau mau lahiran kan?" ucapnya santai. Mimi segera masuk ke dalam kamar yang biasa ia gunakan saat menginap disini. "Edo mana?" tanyanya langsung saat boneka hidupnya tak terlihat. Aku hanya menggeleng melihat sahabatku tak tau diri itu. "Ini masih jam lima. Edo juga masih terlelaplah." Tak kuhiraukan lagi keberadaannya. Aku harus segera beberes mumpung Edo belum terbangun. "Ngga usah masak! Aku dah pesan gulai dari waring depan gang. Lebih baik sekarang, kamu prepare apa yang akan kamu bawa kalau sampai melahirkan." Mimi beralih menuju lemari perlengkapan bayiku. Sedangkan aku, aku malah memilih berdiam diri sembari melihat betapa repotnya sahabatku itu. " Perlengkapan mandi dibawa tidak?" tanya Mimi padaku. Aku hanya menggeleng sebagai jawaba
"Do'amu terkabul. Aku akan menikah dengan seorang mafia." ucap Mimi dengan santainya. Aku sontak tertawa mendengar gurauan Mimi yang tidak tau aturan. Mana ada mafia di zaman sekarang. "Kalau bercanda yang masuk akal sedikit. Mana ada mafia di negara kita," balasku seraya terkekeh. Ada-ada saja!!! Namun tatapan mata tajam Mimi membuatku merasa kalau dia sedang tidak bercanda. "Mi,,," ucapku seraya membalas tatapan tajam matanya. Mimi hanya menjawab dengan mengangguk sebagai jawabannya. Namun... "Hwa...bagaimana ini, Ma! Kenapa ada manusia seperti dia yang mau menerima sampah seperti aku." Teriakan Mimi yang melengking membuat Edo yang sedang bermain pun menjadi ikut terkejut dan menangis. Lekas saja kegeplak punggungnya gemas karena teriakan dia, membuat Edo terkejut dan menangis. " Cup cup cup, sayang! Tante ngga marah kok. Cup cup cup ya." Aku mencoba mengangkat Edo dan menimangnya agar bisa diam. " Jangan teriak bisa ngga sih. Kalau anakku sudah menangis kaya
"Mau kemana kamu?" Aku sebenarnya sudah sangat kesal dengan kehadiran mas Rahmat disini. Tak tau kah dia kenapa aku lebih memilih rumah yang tiada tetangga seperti ini untuk dikontrak? Tentu saja untuk menghindari ucapan pedas dari orang-orang yang mengenalku sebagai orang ketiga diantara pernikahan Rahmat dan Agnes. Namun sepertinya, mas Rahmat tidak pernah peduli tentang hal itu. "Mau apalagi sih kamu kemari, Mas? Aku sudah lelah menjadi pergunjingan warga karena kehadiran kamu yang terus-menerus membuat aku selalu saja disindir yang ngga-ngga," seruku yang mulai lelah dengan sikap mas Rahmat yang bebal. Apalagi Agnes pun pernah datang ke rumah ini hanya untuk mencaci makiku. Sungguh! Kesalahan pertama yang berdampak selamanya kalau sudah seperti ini. " Apanya lagi yang mesti dipermasalahkan sih? Aku duda, kamu janda. Lalu apa salahnya?" ucap mas Rahmat tanpa merasa bersalah. Ingin rasanya kuremas mulut mas Rahmat yang terlalu santai dengan keadaan. Sama sekali dia tak per
Pov Rahma "Kita buat acara tujuh bulanan yang bagaimana ya sebaiknya?" ucap Rahmat dengan senyum melebar mengungkapkan betapa bahagianya dia dengan kehamilanku ini."Huft... Apa kamu ngga malu dengan kehamilanku ini? Setidaknya, jika kamu ngga malu, pikirkan bagaimana perasaanku," ucapku sembari menimang Edo yang terlihat sudah sangat ngantuk sekali. "Kenapa harus malu? Tak ada yang memalukan dengan anak kita," kekeh Rahmat yang membuatku menggeram kesal. "Anak ini ada di luar pernikahan. Nasabnya jatuh padaku, ibunya. Semua orang bahkan tau bahwa aku adalah orang ketiga diantara hubunganmu dengan Agnes dulunya. Apa kamu sadar beban apa yang akan ditanggung anakmu?" tanyaku berapi-api. Bukan aku tak menerimanya. Aku hanya menyesalkan kehadirannya yang diluar pernikahan. Itu akan menjadi ujian yang berat kala ia dewasa nanti. "Aku hanya akan berdoa kepada Tuhan saja semoga aku dan dia baik-baik saja, diberi kelancaran sampai melahirkannya nanti, dia lahir dengan sempurna tanpa
" Dia akan menjadi princess yang cantik dan penuh percaya diri karena ayahnya akan selalu menjadi garda terdepan untuk selalu melindunginya," ucap Rahmat sembari bernapas lega, perempuan yang selama ini dicarinya kini telah ketemu. Apalagi saat melihat perut Rahma yang membuncit, semakin yakin pula bahwa mimpinya bukan sekedar bunga tidur. Rahma dan Mimi tak bisa menyembunyikan raut wajah terkejut. Darimana laki-laki ini bisa menemukan lokasi tempat tinggal Rahma? "Aku sudah membuntuti Mimi berulang kali. Namun baru kali ini tujuan kepergiannya sama seperti tujuanku." Rahmat mendekati Rahma dan mencoba mengelus perutnya. Sebuah sambutan luar biasa karena anak di dalam perutnya juga bergerak seakan mengetahui jika yang menyentuhnya adalah ayahnya. " Selamat sore, anak ayah! Sehat kamu, Nak,"ucap Rahmat yang dibalas sundulan dari janin yang ada didalam perut Rahma. Rahmat tentu saja sangat bahagia pertanyaannya mendapatkan sambutan. Rahma yang tersadar akan kelakuan Rahmat seg