Share

8. Celoteh Amel

Auteur: Shaveera
last update Dernière mise à jour: 2022-11-07 09:07:30

Gadis kecilku masih terlihat bimbang, netranya menatap lembut pada sang pria kecil. Lalu terlihat anggukan kepala dari si abang, baru gadis kecil itu melangkah mendekat kepadaku. Tangan mungilnya meraih jemariku lalu dibawa dalam pelukannya. Bayang embun sudah mulai menggenang diujung mata bulat si gadis kecil.

Aku berjongkok mensejajarkan dengan tubuh gadis itu, begitu sejajar tangan mungilnya meraih leherku dan mendekap erat seakan tidak ingin terlepas. Terdengar lirih isak tangisnya di telinga kananku tempat sandaran kepalanya.

Aku mencoba bertahan untuk tidak menangis, tetapi apa daya hati seakan teritis sembilu. Ku usap lembut pungung kecil itu, terlihat si abang mengusap lelehan air mata yang mengalir di sudut matanya. Aku sangat terharu.

"Bunda, sampai kapan harus seperti ini? Amel sudah tidak tahan," lirih gadis kecilku.

"Maafkan bunda, Sayang! Tunggu dua atau tiga tahun lagi, bunda sedang mengupayakan untuk kehidupan kalian. Tunggu dan sabar jalani semua dengan iklas!" ucapku sambil menciumi pipi yang sudah mulai tirus.

Kulihat jagoanku masih diam mematung, lelaki kecil itu menatap penuh rindu padaku. Tatapannya yang dulu tajam kini terlihat sendu, perlahan pelukan sikecil mengendur lalu gadis itu menatap pada abangnya.

"Apa abang tidak ingin memeluk bunda? Bukankah semalam Abang mimpi bertemu Bunda, lihatlah bundaku!" kata Amel.

"Abang, bunda boleh peluk?" tanyaku.

Yoga hanya menatapku penuh ragu, terlihat ada pertentangan dalam jiwanya. Perlahan kaki itu mulai berjalan mendekat ke arahku.

"Bunda, maafkan Yoga!" Hanya kata itu yang mampu terucap dari biburnya yang terlihat kelu, lalu tangan yang terlihat sedikit kasar itu pun mulai meraih tanganku dan menciuminya.

"Jangan salahkan diri Abang, bunda tidak mau jika semangatnya patah. Mari berjuang bersama bunda!" ucapku.

"Apa Bunda bisa berkunjung ke rumah papah? Amel terkadang rindu bercanda denganmu, Bunda," cicit Amel.

"Nanti jika bunda sudah mulai bekerja akan bunda usahakan, sekarang bunda harus bekerja untuk masa depan kalian. Bersabar dan iklas ya, Nak!" kataku.

Terdengar langkah kecil mulai mendekat, lalu ada bayangan yang berdiri tinggi dibelakangku. Dari aroma yang aku hirup, ini menandakan bahwa sosok di belakangku adalah Irene.

"Sayang, kok jam segini ada di jalanan. Kalian sedang apa?" tanya Irene lembut dengan posisi sejajar dengan tinggi Amel.

"Bibi Irene?"

"Benar, ini bibi Irene!" Irene langsung mendekap tubuh kecil itu yang terlihat kurus.

"Hai, apakah anak kecil juga membutuhkan diet tubuh, Sayang?" tanya Irene sambil membelai pipi tirus milik Amel.

"Maaf Yoga, Bibi!"

"Mengapa harus kamu yang meminta maaf, Sayang?" tanya Irene mencoba memancing cerita dari bibir pria kecil itu.

"Tidak mengapa, Bibi. Semua memang sudah menjadi kewajiban Yoga sejak bunda keluar dari rumah akibat papah. Jadi tolong mengertilah!" pinta Yoga tulus.

"Kita makan di sana dulu, yuuk!" ajak Irene.

Aku hanya diam, bibirku terasa bisu dengan lidah yang kelu. Kedua anakku terlihat kurus dan dekil seakan mereka tidak terurus. Timbul tanya kemana Bi Ijah perginya, rasa penasaranku membuatku ingin segera bertanya. Namun, bibir keduanya seakan di jahit dengan kata tajam. Hal ini terbukti sejak tadi kami sudah mencoba mencari informasi tentang keseharian mereka tetapi mereka selalu kompak bisa mengalihkan topik.

"Baiklah, makanlah sesuai ingin kalian biar bibi yang traktir!" ucap Irene sambil menyodorkan daftar menu di area makan siap saji.

Amel menatap manik mata Yoga, netranya mengisyaratkan sebuah tanya dengan bibir yang bungkam. Yoga hanya mengangguk memberi isyarat ijinnya. Aku menjadi saling pandang dengan Irene, lalu kami kembali menunduk bersama. Hati ini semakin sakit.

"Boleh bibi bertanya, Sayang?" tanya Irene dengan nada halus.

"Boleh," jawab Yoga datar.

"Kemana Bi Ijah berada?" tanya Irene.

"Bibi ada di rumah, beliau sedang membantu Amel membersihkan kolam renang," jawab Amel.

"Memangnya kenapa dengan kolam renangnya, Sayang?" tanya Irene.

"Semalam saat Amel berrenang, Amel sempat pipis dan mama Audre mencium bau itu. Jadi Amel harus mengurasnya, terus tadi Bi Ijah yang kuras agar Amel dan Abang masih sempat jalan-jalan," papar Amel sambil mengunyah makanan dengan lahab.

Aku dan Irene kini menatap pada Amel, Irene mengeluarkan sesuatu dalam tas miliknya. Sebuah handpone keluaran lama disodorkan pada Yoga. Lalu Irene menaruh handpone itu pada tapak tangan Yoga yang terpaksa dibukanya.

"Ini ada handpone lama bibi, Yoga bisa pakai buat hubungj bunda dan bibi bila kalian rindu. In syaa allah kami akan datang," papar Irene.

"Kami belum cukup umur untuk memegang benda semewah ini!" tolak Yoga halus.

"Bawalah, Sayang. Berikan pada Bi Ijah!" ucapku.

Tangan mungil Amel sangat ingin memegang ponsel tersebut, tetapi tatapan tajam dari sang kakak membuatnya kembali menarik tangannya.

'Ada apa dengan kalian?' batinku

### SA ###

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Menjandakan Istri Demi Selingkuhan   183. Akhir yang Pilu

    "Bunda?" Aku langsung terhenyak kala mendengar panggilan Amelia, segera kuanggukkan kepala tanda membenarkan pertanyaannya. Sungguh saat melihat anggukan kepalaku, putriku itu seketika menggeser duduknya menjadi lebih dekat dengan abangnya. Sementara Quinsa sedikit merapat pada palukan Yoga. Kepalanya menelusup pada dada abangnya.Pandangan matanya terlihat ketakutan pada Amelia, aku semakin heran dengan perilaku Quinsa. Beberapa kali kudengar Yoga bersenandung islami untuk menenangkan emosi adik tirinya tersebut. Dahiku langsung mengernyit kala mengenal senandung itu. "Yoga, tolong jelaskan pada bunda, apa yang terjadi dengan adik kamu itu!" desakku."Sini, Sayang. Quinsa ikut kak Amel dulu. Biarkan Abang ngobrol sama Bunda, ya. Ayo!" ajak Amelia lembut.Perlahan pelukan Quinsa mengurai dan mulai mengendur, tatapannya menatap sendu pada Yoga. Begitu ada anggukan dari putraku, barulah Quinsa mau turun dari pangkuan sang abang. Amelia segera melebarkan senyumnya agar adik tirinya mau

  • Menjandakan Istri Demi Selingkuhan   182. Quinsa

    Setelah menghabiskan satu roll roti gulung, Quinsa tertidur di sofa. Aku hanya memandang kasian pada anak tersebut. Sedangkan Yoga masih terlelap di pangkuanku. Sangat terlihat jika aura di wajahnya begitu lelah. Kusurai rambutnya yang sedikit panjang, jariku menelusuri setiap lekuk wajah putraku tersebut."Sungguh indah pahatan ini, satu kata untuk mengambarkan seluruhnya. Tampan!" lirihku."Tampan saja tidak akan cukup untuk menatap dunia, Bunda!" kata Yoga dengan mata masih terpejam.Seketika kutarik ujung jariku yang sudah menyusuri hidungnya yang tinggi. Sungguh hampir kesemua permukaan wajahnya menirukan Jasen. Mungkin hanya bentuk hidung dan bibir yang membedakan mereka. "Lalu dengan apa kamu tatap duniamu, Sayang?" tanyaku."Dengan agama dan ilmu, Bunda. Seperti yang selalu Bunda ajarkan pada kami," jawab Yoga sambil mencoba bangkit dan duduk.Mata cokelat terang yang indah itu kini menatapku sendu, aku hanya mampu membalas tatapannya penuh tanya. Kemudian kudengar napas pan

  • Menjandakan Istri Demi Selingkuhan   181. Tamu yang Sudah Aku Tunggu

    Siluet tubuhnya masih aku ingat, tetapi ini mengapa dia membawa seorang anak perempuan? Mungkinkah dia anaknya dengan Rowena, jika kuhitung usia anak itu saat ini berkisar di usia sepuluh tahun. Apakah itu sosok Quinsa, bayi imut yang dulu sempat aku timang.Oh, Tuhan. Kuatkan hatiku, cobaan apa lagi yang Engkau hadirkan dalam hidupku kali ini. Sekuat apapun hati ini, jika bersangkutan dengan Mas Jasen pasti akan membawa luka. Meskipun terkadang rasa sepi melandaku tetapi jika dia datang bersama dengan yang lain, sakit itu kian terasa. Apakah ini maksud mimpiku beberpa hari yang lalu. Untuk apa Mas Jasen datang lagi dalam hidupku setelah sepuluh tahun tidak berhubungan dan apa maksudnya membawa Quinsa. Kemana Rowena? Berbagai pertanyaan muncul di otak kasarku. Sungguh rasanya aku tidak sanggup Tuhan."Bunda!" sapa lembut suara Quinsa.Naluriku sebagai ibu tidak dapat mengindahkan panggilan itu. Bagiku yang salah bukan anaknya melainkan kedua orang tuanya. Para karyawanku akhirnya pam

  • Menjandakan Istri Demi Selingkuhan   180. Kubebaskan Hatiku

    Sore semilir angin menerpa wajahku. Bayangan Jupri bersama Halimah masih nyata di pelupuk mata. Entah mengapa hati ini terasa sakit dan kecewa. Apakah aku sempat jatuh hati pada Jupri? Sejak mula semua rasa ini aku tolak. Namun, saat kulihat lelaki itu datang ke toko dengan membawa wanita hamil, hatiku sakit. Aku sendiri juga bingung dengan rasaku ini. Bagaimana bisa aku memupuk rasa yang belum tentu ada pada diri Jupri. Saat itu memang dia tidak ada cerita sedang dekat dengan seorang wanita manapun. Namun, pernah satu kali lelaki itu kelepasan bertanya mode baju syari terbaik dan berapa harganya. Hal ini sempat membuatku penasaran. Mungkin aku harus berusaha menepis segala rasa pada lelaki itu. Sejak kunjungan pertama Jupri dam istri menjadi sering datang dengan alasan Halimah susah makan nasi jadi dia lebih memilih kue basah ataupun roti bolu. "Aku harus segera pupus rasa ini dan lupakan semua. Kamu sudah mendapatkan bidadari yang terbaik, Jupri. Selamat!" batinku saat kulihat se

  • Menjandakan Istri Demi Selingkuhan   179. Gibran 2

    "Tadi Gibran sudah bilang lho, Nenek. Hanya itu Onty Dahlia," jawab Gibran."Iya, Sayang. Onty kan lama tidak jumpa Adik. Mungkin dia lebih senang menggoda, jadi maafkan Onty nya dong?" kataku pada Gibran sambil kuangkat dia ke pangkuanku.Namun, lelaki kecil menggeleng tanda dia tidak mau memaafkan Dahlia. Aku tersenyum melihat tingkah cucuku itu, dia sangat menggemaskan apalagi jika pipinya menggembung dengan bola mata yang berputar. Pasti bikin semua yang ada di sana ingin mencubit pipinya."Nenek, besok jika onty Dahlia pulang tidak usah dimasakin opor ayam, Ya. Biar tahu rasa!" dengusnya geram.Kulihat sejak tadi Dahlia hanya diam menatap Gibran, wanita muda itu menahan tawanya agar tidak terdengar oleh ponakannya yang lucu itu. Sementara Andin sejak tadi hanya berdiri, kini dia berjalan menuju dapur. Beberapa saat kemudian Andin sudah kembali dengan membawa piring berisi nasi opor ayam. "Ayo turun dari pangkuan nenek, Adik makan dulu!" ajak Andin."Lho Adik belum makan, sini bi

  • Menjandakan Istri Demi Selingkuhan   178. Gibran

    Dahlia dan Amelia terlihat semakin kompak dan solid. Aku sangat bahagia melihat perkembangan mereka berdua. Setelah makan siang aku pun ngobrol dengan keduanya untuk sesaat sebelum aku kembali lagi ke toko. O ya, toko kue ku sekarang sudah maju pesat dan dikenal oleh berbagai kalangan. Bahkan setiap Dahlia pulang, ada saja temannya yang nitip buat oleh-oleh.Sedangkan Amelia, dia terkadang ikut membantu di toko bila sedang senggang. Aku juga sangat bahagia karena sudah di panggil nenek oleh anaknya si Andin. Gadis itu sekarang sudah bukan gadis lagi melainkan sudah menjadi seorang ibu muda dengan anak satu."Bund, si ucrit bagaimana kabarnya?" tanya Dahlia."Jangan bilang ucrit, anak itu punya nama, Lho! Nanti jika Mbak kamu tiba-tiba dengar kamu yang akan kena omelannya," kataku."Hehe, iya ini Mbak Lia parah!" kelakar Amelia.Aku geleng kepala melihat keakraban mereka berdua. Aku dan kedua putriku selalu berbincang akrab seperti ini dalam menunggu waktu untuk memulai aktifitas kemba

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status