Share

8. Celoteh Amel

Gadis kecilku masih terlihat bimbang, netranya menatap lembut pada sang pria kecil. Lalu terlihat anggukan kepala dari si abang, baru gadis kecil itu melangkah mendekat kepadaku. Tangan mungilnya meraih jemariku lalu dibawa dalam pelukannya. Bayang embun sudah mulai menggenang diujung mata bulat si gadis kecil.

Aku berjongkok mensejajarkan dengan tubuh gadis itu, begitu sejajar tangan mungilnya meraih leherku dan mendekap erat seakan tidak ingin terlepas. Terdengar lirih isak tangisnya di telinga kananku tempat sandaran kepalanya.

Aku mencoba bertahan untuk tidak menangis, tetapi apa daya hati seakan teritis sembilu. Ku usap lembut pungung kecil itu, terlihat si abang mengusap lelehan air mata yang mengalir di sudut matanya. Aku sangat terharu.

"Bunda, sampai kapan harus seperti ini? Amel sudah tidak tahan," lirih gadis kecilku.

"Maafkan bunda, Sayang! Tunggu dua atau tiga tahun lagi, bunda sedang mengupayakan untuk kehidupan kalian. Tunggu dan sabar jalani semua dengan iklas!" ucapku sambil menciumi pipi yang sudah mulai tirus.

Kulihat jagoanku masih diam mematung, lelaki kecil itu menatap penuh rindu padaku. Tatapannya yang dulu tajam kini terlihat sendu, perlahan pelukan sikecil mengendur lalu gadis itu menatap pada abangnya.

"Apa abang tidak ingin memeluk bunda? Bukankah semalam Abang mimpi bertemu Bunda, lihatlah bundaku!" kata Amel.

"Abang, bunda boleh peluk?" tanyaku.

Yoga hanya menatapku penuh ragu, terlihat ada pertentangan dalam jiwanya. Perlahan kaki itu mulai berjalan mendekat ke arahku.

"Bunda, maafkan Yoga!" Hanya kata itu yang mampu terucap dari biburnya yang terlihat kelu, lalu tangan yang terlihat sedikit kasar itu pun mulai meraih tanganku dan menciuminya.

"Jangan salahkan diri Abang, bunda tidak mau jika semangatnya patah. Mari berjuang bersama bunda!" ucapku.

"Apa Bunda bisa berkunjung ke rumah papah? Amel terkadang rindu bercanda denganmu, Bunda," cicit Amel.

"Nanti jika bunda sudah mulai bekerja akan bunda usahakan, sekarang bunda harus bekerja untuk masa depan kalian. Bersabar dan iklas ya, Nak!" kataku.

Terdengar langkah kecil mulai mendekat, lalu ada bayangan yang berdiri tinggi dibelakangku. Dari aroma yang aku hirup, ini menandakan bahwa sosok di belakangku adalah Irene.

"Sayang, kok jam segini ada di jalanan. Kalian sedang apa?" tanya Irene lembut dengan posisi sejajar dengan tinggi Amel.

"Bibi Irene?"

"Benar, ini bibi Irene!" Irene langsung mendekap tubuh kecil itu yang terlihat kurus.

"Hai, apakah anak kecil juga membutuhkan diet tubuh, Sayang?" tanya Irene sambil membelai pipi tirus milik Amel.

"Maaf Yoga, Bibi!"

"Mengapa harus kamu yang meminta maaf, Sayang?" tanya Irene mencoba memancing cerita dari bibir pria kecil itu.

"Tidak mengapa, Bibi. Semua memang sudah menjadi kewajiban Yoga sejak bunda keluar dari rumah akibat papah. Jadi tolong mengertilah!" pinta Yoga tulus.

"Kita makan di sana dulu, yuuk!" ajak Irene.

Aku hanya diam, bibirku terasa bisu dengan lidah yang kelu. Kedua anakku terlihat kurus dan dekil seakan mereka tidak terurus. Timbul tanya kemana Bi Ijah perginya, rasa penasaranku membuatku ingin segera bertanya. Namun, bibir keduanya seakan di jahit dengan kata tajam. Hal ini terbukti sejak tadi kami sudah mencoba mencari informasi tentang keseharian mereka tetapi mereka selalu kompak bisa mengalihkan topik.

"Baiklah, makanlah sesuai ingin kalian biar bibi yang traktir!" ucap Irene sambil menyodorkan daftar menu di area makan siap saji.

Amel menatap manik mata Yoga, netranya mengisyaratkan sebuah tanya dengan bibir yang bungkam. Yoga hanya mengangguk memberi isyarat ijinnya. Aku menjadi saling pandang dengan Irene, lalu kami kembali menunduk bersama. Hati ini semakin sakit.

"Boleh bibi bertanya, Sayang?" tanya Irene dengan nada halus.

"Boleh," jawab Yoga datar.

"Kemana Bi Ijah berada?" tanya Irene.

"Bibi ada di rumah, beliau sedang membantu Amel membersihkan kolam renang," jawab Amel.

"Memangnya kenapa dengan kolam renangnya, Sayang?" tanya Irene.

"Semalam saat Amel berrenang, Amel sempat pipis dan mama Audre mencium bau itu. Jadi Amel harus mengurasnya, terus tadi Bi Ijah yang kuras agar Amel dan Abang masih sempat jalan-jalan," papar Amel sambil mengunyah makanan dengan lahab.

Aku dan Irene kini menatap pada Amel, Irene mengeluarkan sesuatu dalam tas miliknya. Sebuah handpone keluaran lama disodorkan pada Yoga. Lalu Irene menaruh handpone itu pada tapak tangan Yoga yang terpaksa dibukanya.

"Ini ada handpone lama bibi, Yoga bisa pakai buat hubungj bunda dan bibi bila kalian rindu. In syaa allah kami akan datang," papar Irene.

"Kami belum cukup umur untuk memegang benda semewah ini!" tolak Yoga halus.

"Bawalah, Sayang. Berikan pada Bi Ijah!" ucapku.

Tangan mungil Amel sangat ingin memegang ponsel tersebut, tetapi tatapan tajam dari sang kakak membuatnya kembali menarik tangannya.

'Ada apa dengan kalian?' batinku

### SA ###

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status