"Bunda?" Aku langsung terhenyak kala mendengar panggilan Amelia, segera kuanggukkan kepala tanda membenarkan pertanyaannya. Sungguh saat melihat anggukan kepalaku, putriku itu seketika menggeser duduknya menjadi lebih dekat dengan abangnya. Sementara Quinsa sedikit merapat pada palukan Yoga. Kepalanya menelusup pada dada abangnya.Pandangan matanya terlihat ketakutan pada Amelia, aku semakin heran dengan perilaku Quinsa. Beberapa kali kudengar Yoga bersenandung islami untuk menenangkan emosi adik tirinya tersebut. Dahiku langsung mengernyit kala mengenal senandung itu. "Yoga, tolong jelaskan pada bunda, apa yang terjadi dengan adik kamu itu!" desakku."Sini, Sayang. Quinsa ikut kak Amel dulu. Biarkan Abang ngobrol sama Bunda, ya. Ayo!" ajak Amelia lembut.Perlahan pelukan Quinsa mengurai dan mulai mengendur, tatapannya menatap sendu pada Yoga. Begitu ada anggukan dari putraku, barulah Quinsa mau turun dari pangkuan sang abang. Amelia segera melebarkan senyumnya agar adik tirinya mau
"Annasta binti Lukman, pada hari ini kuceraikan kamu dan kuharamkan kakimu masuk rumah ini!" tegas Jasen suamiku. Jdeer!Bagai palu godam menghentak dadaku kala terdengar ucapan Jasen tepat di depanku. Lelaki yang baru pulang dari kantor itu langsung berucap lantang di depan pintu kamar pribadi kami. Air mataku langsung mengalir tanpa aku inginkan. Napas terasa sesak seakan asupan udara di sekitarku sisa sedikit. Dengam derai air mata, aku mencoba bertanya pada lelaki itu. "Apa salah aku, Mas?" tanyaku dengan nada lirih dan bergetar."Kamu tidak salah, hanya aku yang inginkan berganti istri. Bagiku barang yang kamu punya sudah usang, tidak layak untuk dipajang saat bertemu dengan relasi." Seperti itu ucapan kasar lelakiku yang dulu sangat lembut dalam memperlakukan diri ini. Entah angin apa hingga lelakiku berubah sedemikian rupa, apa dia melupakan perjuangan masa lalu saat inginkan diriku mendampingi hidupnya yang suram. Rasa bahagia yang sudah aku reguk selama tujuh tahun usia pe
"Mas, apa sebaiknya saya di luar saja?" tanya seorang wanita pada suamiku. "Tidak perlu, tetap duduk di sini. Biar aku yang memanggil wanita jalang itu!" Kudengar jawaban kasar suamiku.Lalu derap langkah tergesa menghampiriku yang sedang membuatkan dua gelas jus mangga pesanan wanita itu tadi saat aku mempersilahkan keduanya masuk. "Mana pesanan jus mangga kami sudah kehausan, dasar wanita lembek!" ucap kasar suamiku. Lelehan air mata keluar tanpa aku pinta, hanya demi wanita itu lelakiku kini bersikap kasar. Aku tidak mengerti dimana letak kesalahanku hingga harus menelan pil pahit kehidupan rumah tanggaku. Aku harus kuat, ini tekatku. "Saayyyaang, jus mangga datang," suara lelakiku memanggil wanita itu. Kini hatiku hancur bak kaca pecah, suara sang ayah membangunkan putra sulungku. Pria kecil berjalan menuruni tangga sambil tersenyum menatapku. "Bunda, apakah masih ada jus mangga itu? Yoga juga inginkan minuman seperti yang ayah teriakan. Apakah ayah yang membuat untuk Bunda?
Sudut mataku menangkap ada bayangan yang berdiri di balik pintu kamar. Sepertinya sosok jagoanku berdiri di sana menyaksikan semua perbuatan sang ayah. Terlihat beberapa kali tangan kecilnya mengusap kedua mata indah nan jernih. Hatiku kembali bagai tersayat. Kini Jasen keluar bersama Rowena yang terlihat bahagia diatas lukaku. Aku sudah tidak memedulikan kehadiran wanita itu lagi, kini tanganku kembali melanjutkan aktivitas berbenah barang bawaanku. Namun seketika gerakanku berhenti kala mendengar sebuah sapaan lembut dari bidadari kecilku."Bunda... Bunda hendak kemana, kok ada koper besar? Tunggu Amel berbenah ya Bund, jika Bunda ke rumah kakek Amel ikut!" pinta gadis kecil itu. Belum sempat bibirku berucap, Amel berlari menjauh keluar dari kamar pribadiku. Aku masih meneruskan berbenah yang kurang sedikit. Setetlah semua selesai kini aku harus membersihkan tubuh dari keringat yang sedari tadi mengalir deras.Sepuluh menit sudah cukup bagiku untuk membersihkan tubuhku, lalu kebua
Segala daya aku upayakan agar aku mampu meninggalkan rumah yang sudah aku tinggali selama ini. Kuedarkan kedua mata menatap untuk terakhir kali semua isi rumah yang tentunya pasti akan kurindu. Netraku berhenti pada sebuah foto keluarga di mana masih lengkap ada mama dan papa Jasen. Kini foto itu tinggal kenangan. "Mengapa wanita kumal itu masih di rumah, Mas?" tanya Rowena yang kudengar merengek manja. "Tenang saja, Sayang. Mungkin wanita itu masih ingin memuaskan matanya dengan kenangan selama dioa disini, biarkan untuk sebentar dia mengingat kenangan itu. Setelahnya akan Mas hapus semuanya," balas Jasen. "Benar ya, Mas. Aku ingin hanya ada aku di hari-harimu, bukan wanita kumal itu," kata Rowena sambil menunjuk ke arahku. Kini kakiku melangkah dengan mantap menuju pintu keluar, masih kudengar isak tangis Yoga. Hanya Amel yang masih tersenyum kala aku melangkah sambil menarik koper. Di pintu keluar sudah ada Bi Minah yabg setia menantiku."Mbok, aku titip anak-anak ya. Jaga dan
Di sinilah aku sekarang, sebuah hunian baru yang sangat jauh dari kata mewah. Sebuah bangunan yang disebut kontrakan rumah minimalis dengan ukuran 5x6 membuat dadaku sedikit sesak. Namun aku harus bersyukur masih bisa mendapatkan flat ini, semua informasi aku dapatkan dari Irene--teman kerjaku dulu. "Bagaimana Annasta, sudah sampaikah kamu pada flat itu?" tanya Irene dalam panggilan telepon."Sudah, Irene. Ini aku sedang berbenah, kapan kamu akan berkunjung ke tempatku?" tanyaku. "Sepulang kerja sore ini, Say. Kamu mau dibawakan apa?" tanya Irene dari seberang. "Bagaimana jika bakso Pak Yudi? Sekali jalan 'kan?" pintaku. "Siap, Ndan, laksanakan! Sudah dulu ya, Annasta. Nanti aku kabari jika sudah berangkat ketempatmu!" ujar Irene. Sambungan terputus secara sepihak dari Irene, Annasta hanya mampu tersenyum masam menanggapi sikap sahabatnya itu yang belum berubah. Datang tanpa diundang pulang pun seperti menghilang tanpa jejak. Isshh jaelangkung donk. Baru beberapa menit Annasta d
Setelah aku menunggu selama dua hari dari hasil interview, akhirnya muncul notif di emailku yang isinya bahwa aku diterima kerja. Rasa syukur aku panjatkan atas ridho-Nya hingga aku cepat mendapatkan sebuah pekerjaan yang sesuai minat dan bakat. "Terima kasih, Ya Robb," ucapku kala membaca email masuk dari PT. Somplak tbk. Aku sangat bahagia, akhirnya bisa menabung untung memulai hidup baru bersama kedua anakku kelak. 'Tunggu bunda, Sayang. Suatu saat nanti kita pasti akan berkumpul,' batinku berbicara sambil tangan ini memegang foto kedua bocah kecil itu. Sebuah foto yang sempat aku ambil dari album tanpa sepengetahuan Mas Jasen. Hanya foto itu harta yang paling berharga bagiku saat ini. Karena foto itulah semangatku masih berkobar mempertahankan rasa ini. "Aku harus mempersiapkan diri untuk memulai eaok hari," lirihku sambil membuka almari baju. Kulihat tumpukan baku usang yang sudah tidak layak pakai, hatiku merasa tercubit pedih. Selama ini aku tidak memperhatikan penampilan
Tampak Jasen berjalan tegap melewatiku tanpa menyapa, sedangkan Rowena semakin mengeratkan pegangan tanganya pada lengan mantan suamiku. Sungguh pemandangan yang menyakitkan. Aku tidak peduli lagi, segera aku melangkah mengejar Irene yang sudah masuk ke salah satu toko pakaian kerja. "Huft, akhirnya aku bisa menyusulmu, Irene!" kataku saat sudah ada di dekat Irene. "Memangnya kamu dari tadi kemana lho, Annasta?" tanya Irene dengan nada kesal."Heheh, maaf tadi aku melihat si Jasen dengan perempuan rubah itu. Jadi sedikit termangu hingga tertinggal olehmu," balasku "Dasar, sudah lupakan si kodok dan rubah itu. Lihat masa depan saja, Annasta!" kata Irene yang mulai jengah dengan sikapku yang terkadang masih tidak rela. "Sulit, masih terasa sakit." Aku mulai merasa sesak dan ingin menangis."Maafkan aku, Ann. Bukan maksudku marah padamu, aku hanya ingin kamu lupa saja!" pinta Irene. "Iya aku tahu, beri aku waktu. Nanti pasti bisa melupakan jika sudah sibuk dengan pekerjaan, bersabar