Share

7. Jumpa Mantan

Tampak Jasen berjalan tegap melewatiku tanpa menyapa, sedangkan Rowena semakin mengeratkan pegangan tanganya pada lengan mantan suamiku. Sungguh pemandangan yang menyakitkan. Aku tidak peduli lagi, segera aku melangkah mengejar Irene yang sudah masuk ke salah satu toko pakaian kerja.

"Huft, akhirnya aku bisa menyusulmu, Irene!" kataku saat sudah ada di dekat Irene.

"Memangnya kamu dari tadi kemana lho, Annasta?" tanya Irene dengan nada kesal.

"Heheh, maaf tadi aku melihat si Jasen dengan perempuan rubah itu. Jadi sedikit termangu hingga tertinggal olehmu," balasku

"Dasar, sudah lupakan si kodok dan rubah itu. Lihat masa depan saja, Annasta!" kata Irene yang mulai jengah dengan sikapku yang terkadang masih tidak rela.

"Sulit, masih terasa sakit." Aku mulai merasa sesak dan ingin menangis.

"Maafkan aku, Ann. Bukan maksudku marah padamu, aku hanya ingin kamu lupa saja!" pinta Irene.

"Iya aku tahu, beri aku waktu. Nanti pasti bisa melupakan jika sudah sibuk dengan pekerjaan, bersabarlah denganku, Irene!" balasku dengan nada sendu.

"Aku akan selalu ada disampingmu, percayalah!" Irene berkata lembut, gadis itu selalu mendukungku setiap ada masalah.

"Iya, aku percaya padamu," balasku.

"Annasta, lihat baju ini sangat pas bagi kaum muslim sepertimu. Dan juga pantas buat kerja kantoran," kata Irene sambil menunjuk salah satu gamis yang sederhana dan elegan.

"Sini aku coba dulu," balasku dan aku pun melangkah menuju ruang ganti.

Kulihat tampilanku demgan gamis pilihan Irene tampak pas dan aggun, kubuka tirai agar Irene bisa menilai hasil pilihannya.

"Hai, Irene! Bagaimana?" tanyaku sambil menepuk bahunya.

"Cantik, perfect. Pasti semua mata kaum adam berdecak kagum," ucap Irene.

"Aku ambil baju ini, tetapi masih kurang ya?" tanyaku sambil membawa tiga buah baju dengan warna dan model berbeda.

"Tambah satu lagi-lah. Empat baju sementara cukup 'kan?" tanyaku lagi.

"Semua terserah kamu, jika cukup sebaiknya segera kita pulang. Capek!" balas Irene yang sudah terlihat lelah.

Kami pun sepakat untuk pulang ke tempat kost yang sudah aku tinggali beberapa hari. Sebelum pulang aku sengaja mampir di tempat makan siap saji, ku beli beberapa menu makan buat kami.

"Kamu mau menu apa, Ren?" tanyaku.

"Aseng kangkung, lauk dadar jagung jangan lupa sambel terasi!" pesan Irene.

"Hai, ini mall bukan dapur umum Say. Ish ish kamu ya. Ayam geprek saja ya, Irene?" tanyaku.

"He he, iya boleh itu saja. Aku minta dua porsi ayam gepreknya, Ann!" pinta Irene.

"Siap." Aku menunggu pesanan, dalam antrian kulihat dua anak kecil yang sedang menatap lapar gambar ayam geprek.

Aku menghampiri dua anak tersebut sambil menenteng tas khas ayam geprek. Netraku membulat melihat dua anak yang aku kenali sebagai Amel dan Yoga. Bibirku bungkam dengan lidah kelu, melihat penampakan dua anak-anakku. Tanpa terasa mataku mengabur, seakan embun mulai menggantung siap turun hujan. Dua anak sekolah dengan seragam yang kucel dan dekil, sempat muncul sebuah tanya apakah ini anak-anakku?

"Assalamualaikum, adik-adik!" sapaku halus pada kedua bocah tersebut.

Kedua bocah itu tampak terhenyak kaget dengan netra nanar, bahkan si perempuan bersembunyi di balik punggung abangnya. Dua minggu aku tidak melihat perkembangan dua bocah ini hatiku bagai tersayat sembilu.

"Maaf, Tante siapa?" tanya anak lelaki itu.

"Ini bunda, Sayang. Abang bernama Yoga, 'kan?" tanyaku dengan nada rendah dan halus.

Netra kedua anak itu menatapku mulai dari atas sampai bawah, tubuhnya tampak bergetar dan mata keduanya mulai berembun. Namun, lelaki kecil itu mencoba bertahan. Tangan kecilnya mempererat genggaman tangannya pada anak perempuan yang ada di balik punggung.

"Jangan takut, ini bunda kalian. Annasta binti Lukman," tegasku lirih.

"Kemarilah, Nak. Dekap bunda!"

### SA ###

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status