Share

7. Jumpa Mantan

Author: Shaveera
last update Last Updated: 2022-11-04 14:53:38

Tampak Jasen berjalan tegap melewatiku tanpa menyapa, sedangkan Rowena semakin mengeratkan pegangan tanganya pada lengan mantan suamiku. Sungguh pemandangan yang menyakitkan. Aku tidak peduli lagi, segera aku melangkah mengejar Irene yang sudah masuk ke salah satu toko pakaian kerja.

"Huft, akhirnya aku bisa menyusulmu, Irene!" kataku saat sudah ada di dekat Irene.

"Memangnya kamu dari tadi kemana lho, Annasta?" tanya Irene dengan nada kesal.

"Heheh, maaf tadi aku melihat si Jasen dengan perempuan rubah itu. Jadi sedikit termangu hingga tertinggal olehmu," balasku

"Dasar, sudah lupakan si kodok dan rubah itu. Lihat masa depan saja, Annasta!" kata Irene yang mulai jengah dengan sikapku yang terkadang masih tidak rela.

"Sulit, masih terasa sakit." Aku mulai merasa sesak dan ingin menangis.

"Maafkan aku, Ann. Bukan maksudku marah padamu, aku hanya ingin kamu lupa saja!" pinta Irene.

"Iya aku tahu, beri aku waktu. Nanti pasti bisa melupakan jika sudah sibuk dengan pekerjaan, bersabarlah denganku, Irene!" balasku dengan nada sendu.

"Aku akan selalu ada disampingmu, percayalah!" Irene berkata lembut, gadis itu selalu mendukungku setiap ada masalah.

"Iya, aku percaya padamu," balasku.

"Annasta, lihat baju ini sangat pas bagi kaum muslim sepertimu. Dan juga pantas buat kerja kantoran," kata Irene sambil menunjuk salah satu gamis yang sederhana dan elegan.

"Sini aku coba dulu," balasku dan aku pun melangkah menuju ruang ganti.

Kulihat tampilanku demgan gamis pilihan Irene tampak pas dan aggun, kubuka tirai agar Irene bisa menilai hasil pilihannya.

"Hai, Irene! Bagaimana?" tanyaku sambil menepuk bahunya.

"Cantik, perfect. Pasti semua mata kaum adam berdecak kagum," ucap Irene.

"Aku ambil baju ini, tetapi masih kurang ya?" tanyaku sambil membawa tiga buah baju dengan warna dan model berbeda.

"Tambah satu lagi-lah. Empat baju sementara cukup 'kan?" tanyaku lagi.

"Semua terserah kamu, jika cukup sebaiknya segera kita pulang. Capek!" balas Irene yang sudah terlihat lelah.

Kami pun sepakat untuk pulang ke tempat kost yang sudah aku tinggali beberapa hari. Sebelum pulang aku sengaja mampir di tempat makan siap saji, ku beli beberapa menu makan buat kami.

"Kamu mau menu apa, Ren?" tanyaku.

"Aseng kangkung, lauk dadar jagung jangan lupa sambel terasi!" pesan Irene.

"Hai, ini mall bukan dapur umum Say. Ish ish kamu ya. Ayam geprek saja ya, Irene?" tanyaku.

"He he, iya boleh itu saja. Aku minta dua porsi ayam gepreknya, Ann!" pinta Irene.

"Siap." Aku menunggu pesanan, dalam antrian kulihat dua anak kecil yang sedang menatap lapar gambar ayam geprek.

Aku menghampiri dua anak tersebut sambil menenteng tas khas ayam geprek. Netraku membulat melihat dua anak yang aku kenali sebagai Amel dan Yoga. Bibirku bungkam dengan lidah kelu, melihat penampakan dua anak-anakku. Tanpa terasa mataku mengabur, seakan embun mulai menggantung siap turun hujan. Dua anak sekolah dengan seragam yang kucel dan dekil, sempat muncul sebuah tanya apakah ini anak-anakku?

"Assalamualaikum, adik-adik!" sapaku halus pada kedua bocah tersebut.

Kedua bocah itu tampak terhenyak kaget dengan netra nanar, bahkan si perempuan bersembunyi di balik punggung abangnya. Dua minggu aku tidak melihat perkembangan dua bocah ini hatiku bagai tersayat sembilu.

"Maaf, Tante siapa?" tanya anak lelaki itu.

"Ini bunda, Sayang. Abang bernama Yoga, 'kan?" tanyaku dengan nada rendah dan halus.

Netra kedua anak itu menatapku mulai dari atas sampai bawah, tubuhnya tampak bergetar dan mata keduanya mulai berembun. Namun, lelaki kecil itu mencoba bertahan. Tangan kecilnya mempererat genggaman tangannya pada anak perempuan yang ada di balik punggung.

"Jangan takut, ini bunda kalian. Annasta binti Lukman," tegasku lirih.

"Kemarilah, Nak. Dekap bunda!"

### SA ###

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjandakan Istri Demi Selingkuhan   183. Akhir yang Pilu

    "Bunda?" Aku langsung terhenyak kala mendengar panggilan Amelia, segera kuanggukkan kepala tanda membenarkan pertanyaannya. Sungguh saat melihat anggukan kepalaku, putriku itu seketika menggeser duduknya menjadi lebih dekat dengan abangnya. Sementara Quinsa sedikit merapat pada palukan Yoga. Kepalanya menelusup pada dada abangnya.Pandangan matanya terlihat ketakutan pada Amelia, aku semakin heran dengan perilaku Quinsa. Beberapa kali kudengar Yoga bersenandung islami untuk menenangkan emosi adik tirinya tersebut. Dahiku langsung mengernyit kala mengenal senandung itu. "Yoga, tolong jelaskan pada bunda, apa yang terjadi dengan adik kamu itu!" desakku."Sini, Sayang. Quinsa ikut kak Amel dulu. Biarkan Abang ngobrol sama Bunda, ya. Ayo!" ajak Amelia lembut.Perlahan pelukan Quinsa mengurai dan mulai mengendur, tatapannya menatap sendu pada Yoga. Begitu ada anggukan dari putraku, barulah Quinsa mau turun dari pangkuan sang abang. Amelia segera melebarkan senyumnya agar adik tirinya mau

  • Menjandakan Istri Demi Selingkuhan   182. Quinsa

    Setelah menghabiskan satu roll roti gulung, Quinsa tertidur di sofa. Aku hanya memandang kasian pada anak tersebut. Sedangkan Yoga masih terlelap di pangkuanku. Sangat terlihat jika aura di wajahnya begitu lelah. Kusurai rambutnya yang sedikit panjang, jariku menelusuri setiap lekuk wajah putraku tersebut."Sungguh indah pahatan ini, satu kata untuk mengambarkan seluruhnya. Tampan!" lirihku."Tampan saja tidak akan cukup untuk menatap dunia, Bunda!" kata Yoga dengan mata masih terpejam.Seketika kutarik ujung jariku yang sudah menyusuri hidungnya yang tinggi. Sungguh hampir kesemua permukaan wajahnya menirukan Jasen. Mungkin hanya bentuk hidung dan bibir yang membedakan mereka. "Lalu dengan apa kamu tatap duniamu, Sayang?" tanyaku."Dengan agama dan ilmu, Bunda. Seperti yang selalu Bunda ajarkan pada kami," jawab Yoga sambil mencoba bangkit dan duduk.Mata cokelat terang yang indah itu kini menatapku sendu, aku hanya mampu membalas tatapannya penuh tanya. Kemudian kudengar napas pan

  • Menjandakan Istri Demi Selingkuhan   181. Tamu yang Sudah Aku Tunggu

    Siluet tubuhnya masih aku ingat, tetapi ini mengapa dia membawa seorang anak perempuan? Mungkinkah dia anaknya dengan Rowena, jika kuhitung usia anak itu saat ini berkisar di usia sepuluh tahun. Apakah itu sosok Quinsa, bayi imut yang dulu sempat aku timang.Oh, Tuhan. Kuatkan hatiku, cobaan apa lagi yang Engkau hadirkan dalam hidupku kali ini. Sekuat apapun hati ini, jika bersangkutan dengan Mas Jasen pasti akan membawa luka. Meskipun terkadang rasa sepi melandaku tetapi jika dia datang bersama dengan yang lain, sakit itu kian terasa. Apakah ini maksud mimpiku beberpa hari yang lalu. Untuk apa Mas Jasen datang lagi dalam hidupku setelah sepuluh tahun tidak berhubungan dan apa maksudnya membawa Quinsa. Kemana Rowena? Berbagai pertanyaan muncul di otak kasarku. Sungguh rasanya aku tidak sanggup Tuhan."Bunda!" sapa lembut suara Quinsa.Naluriku sebagai ibu tidak dapat mengindahkan panggilan itu. Bagiku yang salah bukan anaknya melainkan kedua orang tuanya. Para karyawanku akhirnya pam

  • Menjandakan Istri Demi Selingkuhan   180. Kubebaskan Hatiku

    Sore semilir angin menerpa wajahku. Bayangan Jupri bersama Halimah masih nyata di pelupuk mata. Entah mengapa hati ini terasa sakit dan kecewa. Apakah aku sempat jatuh hati pada Jupri? Sejak mula semua rasa ini aku tolak. Namun, saat kulihat lelaki itu datang ke toko dengan membawa wanita hamil, hatiku sakit. Aku sendiri juga bingung dengan rasaku ini. Bagaimana bisa aku memupuk rasa yang belum tentu ada pada diri Jupri. Saat itu memang dia tidak ada cerita sedang dekat dengan seorang wanita manapun. Namun, pernah satu kali lelaki itu kelepasan bertanya mode baju syari terbaik dan berapa harganya. Hal ini sempat membuatku penasaran. Mungkin aku harus berusaha menepis segala rasa pada lelaki itu. Sejak kunjungan pertama Jupri dam istri menjadi sering datang dengan alasan Halimah susah makan nasi jadi dia lebih memilih kue basah ataupun roti bolu. "Aku harus segera pupus rasa ini dan lupakan semua. Kamu sudah mendapatkan bidadari yang terbaik, Jupri. Selamat!" batinku saat kulihat se

  • Menjandakan Istri Demi Selingkuhan   179. Gibran 2

    "Tadi Gibran sudah bilang lho, Nenek. Hanya itu Onty Dahlia," jawab Gibran."Iya, Sayang. Onty kan lama tidak jumpa Adik. Mungkin dia lebih senang menggoda, jadi maafkan Onty nya dong?" kataku pada Gibran sambil kuangkat dia ke pangkuanku.Namun, lelaki kecil menggeleng tanda dia tidak mau memaafkan Dahlia. Aku tersenyum melihat tingkah cucuku itu, dia sangat menggemaskan apalagi jika pipinya menggembung dengan bola mata yang berputar. Pasti bikin semua yang ada di sana ingin mencubit pipinya."Nenek, besok jika onty Dahlia pulang tidak usah dimasakin opor ayam, Ya. Biar tahu rasa!" dengusnya geram.Kulihat sejak tadi Dahlia hanya diam menatap Gibran, wanita muda itu menahan tawanya agar tidak terdengar oleh ponakannya yang lucu itu. Sementara Andin sejak tadi hanya berdiri, kini dia berjalan menuju dapur. Beberapa saat kemudian Andin sudah kembali dengan membawa piring berisi nasi opor ayam. "Ayo turun dari pangkuan nenek, Adik makan dulu!" ajak Andin."Lho Adik belum makan, sini bi

  • Menjandakan Istri Demi Selingkuhan   178. Gibran

    Dahlia dan Amelia terlihat semakin kompak dan solid. Aku sangat bahagia melihat perkembangan mereka berdua. Setelah makan siang aku pun ngobrol dengan keduanya untuk sesaat sebelum aku kembali lagi ke toko. O ya, toko kue ku sekarang sudah maju pesat dan dikenal oleh berbagai kalangan. Bahkan setiap Dahlia pulang, ada saja temannya yang nitip buat oleh-oleh.Sedangkan Amelia, dia terkadang ikut membantu di toko bila sedang senggang. Aku juga sangat bahagia karena sudah di panggil nenek oleh anaknya si Andin. Gadis itu sekarang sudah bukan gadis lagi melainkan sudah menjadi seorang ibu muda dengan anak satu."Bund, si ucrit bagaimana kabarnya?" tanya Dahlia."Jangan bilang ucrit, anak itu punya nama, Lho! Nanti jika Mbak kamu tiba-tiba dengar kamu yang akan kena omelannya," kataku."Hehe, iya ini Mbak Lia parah!" kelakar Amelia.Aku geleng kepala melihat keakraban mereka berdua. Aku dan kedua putriku selalu berbincang akrab seperti ini dalam menunggu waktu untuk memulai aktifitas kemba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status