Share

9. Semangat

"Apakah kalian tidak ingin berkata jujur pada bunda, Sayang?" tanyaku.

"Maafkan Yoga. Janji adalah hutang, pantang bagi Yoga untuk ingkar!" ucap Yoga dengan tegas.

"Baiklah, sekarang habiskan makan kalian segera agar tidak ada yang terluka. Biar nanti kami antar kalian pulang!" kata Irene.

"Kami bisa pulang sendiri Bunda dan Bibi. Bukankah Yoga sudah berucap?" tegas lelaki kecil itu.

Aku dan Irene hanya mengangguk, lalu mereka berdua pamit dengan mencium punggung tanganku. Kuselipkan ponsel jadul miliku pada saku Amel dan juga selembar uang kertas berwarna merah, tidak lupa aku bisikan sesutu di telinga kecilnya.

"Simpan ini baik-baik, Sayang. Jika suatu saat Adik perlu, gunakan dengan bijak!" bisikku lirih di telinganya.

Amel hanya mengangguk perlahan lalu bibir mungilnya tersenyum menatap kami berdua. Aku meraih tubuh kecil itu dan kubawa dalam dekapan, "Jangan lupakan bunda, Sayang!"

"Amel akan selalu ingat peristiwa ini. Janji Bunda akan selalu Amel ingat dan tunggu," kata Amel.

"Kami, pamit. Assalamualaikum!" keduanya pun melangkah menjauh meninggalkan posisi kami.

Irene menatap manik mataku, gadis itu terlihat sangat terluka. Sorot mata yang sendu terpancar pada netra cokelat terang milik Irene.

"Bagaimana anak sekecil itu harus mengadu nasib di jalanan sedangkan orang tuannya memiliki sebuah perusahaan ternama? Di mana empati sang ayah?" tanya Irene.

"Entah, akupun juga tidak mengerti. Mungkin suatu saat nanti akan terbuka," balasku.

"Kulihat tadi sepertinya kamu menyelipkan sesuatu pada saku anak perempuanmu, Ann? Apa itu?" tanya Irene penasaran dengan apa yang aku selipkan.

"Hanya sebuah handpone jadul dan selembar uang berwarna merah. Semoga membawa berkah dan tidak diketahui oleh wanita rubah itu!" ucapku.

"Mengapa kamu beri yang jadul, Ann? Harusnya yang terbaru agar kita bisa melihat kelakuan perempuan rubah itu!" geram Irene.

Aku tersenyum pada Irene, tetapi aku juga bingung mau menjawab apa. Karena sejujurnya handpone aku iya cuma itu. Aku harus bagaimana, batinku menjerit meminta sebuah keajaiban yang nyata.

"Aku belum bekerja, Irene. Nanti jika hal itu mulai berjalan pasti akan aku ganti ponselnya."

"Ayo kita pulang, perutku sudah lapar!" ajakku pada Irene yang masih termangu seakan tidak percaya dengan pertemuan kami.

Terdengar napas kasar yang keluar dari bibir Irene. Gadis itu sangat kecewa dengan keadaan yang ada, tetapi semua harus terjadi. Kita tidak bisa melawan kehendak takdir. Akhirnya kami pun berjalan meninggalkan tempat tersebut setelah memastikan bayangan dua anak kecil menghilang di telan padatnya pejalan kaki.

Mobil yang dikendarai oleh Irene melaju dengan kecepatan sedang. Kami sama-sama tenggelam dalam lamunan, apalagi sejak bertemu denga kedua anakku. Irene terlihat sering membuang napas kasarnya, wajahnya sangat sedih lalu terdengar suara teriakan lirih penuh tekanan.

"Aaarrrrgghh!!"

"Jangan ikut sesak, Irene. Ini masalah keluarga intiku. Terima kasih atas perhatianmu selama ini pada mereka meski Mas Jasen sempat tidak senang jika akj bergaul denganmu," jelasku

"Aku sangat, sangat kecewa dengan Jasen. Bukankah dulu sudah kita tekankan padanya bahwa kalian banyak sekali perbedaan? Tetapi bibirnya berjanji tidak akan berpaling. Apa buktinya sekarang?" geram Irene.

"Sudahlah, sekarang ajari aku cara menatap masa depan, Irene! Akan aku buktikan pada Mas Jasen bahwa aku masih mempunyai taring untuk berkarya!" ucapku sudah bulat yaitu melawan takdir janda ini.

"Bagus, aku dukung selalu kamu, Ann!" ujar Irene semakin membuat aku semangat dalam meniti karier.

"Semangat uy!" kami pun berteriak bareng masih dalam mobil.

### SA ###

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status