LOGIN"Alexander?" desah Briony saat akal sehatnya kembali berfungsi. Tak ingin terlibat dengan laki-laki itu, ia cepat-cepat merapatkan pintu. Sayangnya, Alexander sudah lebih dulu menahan pintu dengan lengannya.
"Alex, mau apa kamu ke sini? Bukankah kamu tidak mau bertemu denganku lagi? Karena itu, cepat pergi! Aku tidak mau berurusan denganmu lagi!" seru Briony sembari mendorong pintu. Akan tetapi, Alexander malah mendesaknya mundur.
"Kau bilang tidak mau berurusan denganku lagi?" Pria itu mendengus. Kemudian, dengan satu sentakan, Briony terhuyung-huyung ke belakang. Pintu terbuka lebar dan Alex pun masuk dengan tampang sangar. Suaranya meledak, "Lalu kenapa kau menulis tentang kita?"
Briony terperanjat. Mulutnya ternganga lebar. Tak ingin menjelaskan perbuatannya, ia memasang raut tanpa dosa. "Menulis apa? Aku tidak mengerti maksudmu. Aku—"
Briony terkesiap. Matanya terpelotot. Tangannya memukul-mukul tangan kekar yang kini mencengkeram lehernya. "Hei .... A-apa yang k-kau lakukan?" tanyanya dengan susah payah.
"Jelaskan kepadaku! Untuk apa kau mengungkit masa lalu? Kau mau menyindirku? Atau mengutukku?" Suara Alex memekakkan telinga.
Briony berkedip-kedip kebingungan. Alisnya tertaut erat. "M-mengungkit apa? Aku tidak melakukan apa-apa."
"Jangan berlagak bodoh! Kau pikir aku tidak tahu? Summer Breeze itu kamu!" Alex menyebut nama pena Briony. Cengkeramannya menguat.
Briony pun kesulitan bernapas. Ia tidak mampu lagi menjawab. Dengan wajah yang semakin merah, ia mulai mendorong lengan Alex. Saat itulah, Alex mendesaknya mundur hingga punggungnya menempel ke dinding. Tangan kasarnya kini mengunci kedua lengan Briony agar tidak berkutik.
"Berhentilah menganggapku bodoh! Aku tahu betul kalau Brisia itu kau dan Xander itu aku. Kau juga menyamarkan nama Caroline menjadi Carrie," hardik Alex.
Briony terengah-engah. Sesekali ia terbatuk. Saat kadar oksigen dalam tubuhnya kembali normal, ia mendengus sinis. "Ternyata kau belum melupakan aku? Kau masih mengamati gerak-gerikku?" gumamnya, membuat darah Alex semakin mendidih.
"Bukumu adalah bestseller dari perusahaan sainganku! Bagaimana mungkin aku tidak tahu? Justru kaulah yang masih mengamati aku dan Caro. Apa tujuanmu, hah? Apakah kau sengaja menjelek-jelekkan hubungan aku dan Caro? Kau mau menjatuhkan kami?" tuduh Alex.
Briony menggeleng. "Apakah aku tidak boleh menulis berdasarkan pengalamanku sendiri? Ide awal bukuku memang tentang hubungan kita, tapi selebihnya adalah imajinasiku. Itu cerita karangan belaka."
"Begitukah? Cerita karangan? Tapi kenapa semua hal yang kau tulis itu nyata? Pernikahanku di pantai, bulan madu kami di Lofoten, apartemen yang kuhadiahkan untuk Caro, dan bahkan nama anak kami. Mungkinkah semua itu kebetulan? Atau kau mau melampiaskan rasa irimu terhadap Caro lewat buku murahanmu itu?"
Briony mengernyit tak senang. "Jaga mulutmu! Bukuku bukan buku murahan. Aku menulisnya dengan penuh perjuangan."
"Perjuangan men-stalking mantan, maksudmu?"
"Aku tidak pernah men-stalking-mu!" sanggah Briony, jengkel. "Apakah kau lupa?Kau sendiri yang berkoar-koar tentang pernikahan kalian yang hangat, bulan madu yang romantis, juga apartemen kalian yang megah. Aku justru baru tahu sekarang kalau kau benar-benar menamai anak kalian Andrew. Yang seharusnya bertanya sekarang itu aku. Kenapa kau memakai nama pilihanku?"
"Dia anakku. Terserah aku mau menamainya apa."
"Begitu juga dengan bukuku. Itu cerita karanganku. Terserah aku mau menulis alur yang seperti apa," balas Briony dengan nada bicara yang sama. "Sekarang lepaskan aku. Aku akh ...."
Briony meringis. Alex baru saja menyentak tubuhnya dan menekannya lebih rapat ke dinding.
"Kau pikir bisa lolos begitu saja? Jelaskan dulu apa motifmu menulis cerita itu? Kau iri, kan? Kau berharap pernikahanku dengan Caro tidak bahagia? Karena itu kau menceritakan karakternya berselingkuh dan pernikahan kami hancur?" desak Alex.
Briony berusaha melepaskan diri, tetapi gagal. Tenaga Alex terlalu besar. Sebelum ia melontarkan protes, Alex melanjutkan, "Asal kau tahu. Pernikahan aku dan Caro bahagia. Hubungan kami baik-baik saja. Jadi imajinasimu tidak akan pernah terwujud. Sampai kiamat pun, aku tidak akan pernah berlutut di depanmu."
"Aku juga tidak berharap kau berlutut di depanku. Karena aku tidak butuh maafmu! Sekarang lepaskan aku! Ini sakit," pinta Briony, meringis.
Akan tetapi, Alex tetap menyudutkannya. "Tidak, sampai kau mengakui kesalahanmu dan berjanji untuk menghapus buku sialan itu."
Briony terbelalak. Kejengkelannya semakin memuncak. "Kau gila? Mana mungkin aku menghapus hasil kerja kerasku?"
Alex menggertakkan geraham. Nada bicaranya menukik dan menusuk. "Kau menolak? Kau ingin terus mengutuk aku dan Caro lewat buku itu?"
"Mengutuk apanya? Aku hanya ingin berkarya—"
"Omong kosong!" sergah Alex, arogan. "Akui saja kau iri! Aku sekarang bahagia bersama Caro, sedangkan kau menderita sendirian. Kalau kau tidak menghapus buku itu—akh!"
Alex tiba-tiba mundur dan membungkuk. Tangannya melindungi selangkangan. Ia tidak menduga bahwa Briony bisa menyerang titik itu dengan kakinya.
Selang satu helaan napas berat, Briony menundukkan kepala. Tangannya saling meremas di atas pangku."Maaf. Aku tidak bermaksud merendahkan Emily. Levelku jauh berada di bawahnya. Mana mungkin aku berani? Aku hanya ingin menyemangatimu saja. Jadi tolong ..." Briony mengintip sedikit. Mendapati wajah Brandon yang kaku, ia kembali tertunduk."Tolong jangan salah paham," lanjutnya dengan suara yang lebih pelan. "Sebagai orang yang pernah patah hati, aku bersimpati padamu. Kau dulu pernah menghiburku saat aku terpuruk. Sekarang, aku merasa perlu membalas kebaikanmu. Hanya dukungan dan kata-kata yang bisa kuberikan. Tapi sepertinya, aku justru menyinggungmu. Maaf kalau aku lancang."Brandon tetap membisu. Otaknya sibuk mencerna rentetan kalimat Briony yang panjang. Ia belum yakin bagaimana harus merespons. Akan tetapi, Briony salah menafsirkan diamnya itu. Gadis itu bertambah gundah. "Gawat. Apakah dia marah padaku? Atau justru salah paham? Aku terlihat seperti sedang berusaha mendapatkan
Dalam keheningan, Brandon mengulas kenangannya bersama Briony—saat ia menyelamatkan Briony di Adventure Park kemarin, saat ia dan Briony menemani Andrew jalan-jalan seharian, saat ia dan Briony ditugaskan menjaga keponakan-keponakan mereka bersama. Pada akhirnya, Brandon tiba pada momen pertama ia menyadari bahwa ia sudah menyukai gadis yang salah. Waktu itu, ia baru saja melamar Emily. Persiapannya sangat matang dan eksekusinya di depan banyak orang. Namun ternyata, Emily menolaknya. Kegemparan publik pun tak terelakkan. Orang-orang heboh karena seorang Brandon ditolak oleh wanita. Emosinya campur aduk saat itu. Apalagi, Emily kemudian menghilang dan kembali bersama cinta pertamanya. Ia merasa sangat gagal dalam cinta. Penasaran seperti apa pria yang "mengalahkannya", Brandon nekat menemui pacar Emily. Siapa sangka, hal itu memancing kekhawatiran Briony. Saat kabar tersebut sampai ke telinganya, ia bergegas menemui Brandon. "Brandon, bisa kita bicara sebentar?" tanya Briony saat
Briony kembali berpaling. Ia sadar, pipinya pasti memerah. Ia tidak mau Brandon melihatnya. "Berhentilah menanyakan hal bodoh, Brandon. Kau adalah laki-laki nomor satu di L City. Mustahil ada wanita yang tidak tertarik padamu.""Aku tidak sedang membicarakan wanita lain, Briony. Aku membicarakan dirimu. Apa yang membuatmu tertarik padaku? Tidak mungkin karena titel ataupun hartaku, kan? Aku tahu kau berbeda dari kebanyakan wanita di luar sana," Brandon mengelus lengan Briony dengan punggung tangannya. Briony seketika tersengat. Punggungnya menegak. Napasnya tersekat. Sebelum jantungnya meledak, ia harus kabur. "Brandon, aku mulai mengantuk. Tidak masalah kan kalau aku meminjam kamarmu? Kamu tidurlah yang nyenyak di kamar tamu," Briony bangkit berdiri. Belum sempat ia melangkah, tubuhnya telah terangkat dari lantai. Matanya terbelalak saat ia mendapati dirinya telah berada di gendongan sang pria. "Brandon, apa yang kau lakukan? Aku bisa berjalan sendiri," ucap Briony, agak panik. Ia
"Pelan-pelan, Briony. Tidak ada yang menyuruhmu tergesa-gesa. Kunyah dengan benar," ujar Brandon sembari menepuk-nepuk punggung sang pacar. Selesai batuk, Briony langsung menenggak segelas air yang disodorkan Brandon. Kemudian, ia bertanya, "Kau pasti bercanda, kan? Aku mana cocok menjadi istrimu?""Aku serius, Briony. Aku berniat menikahimu setelah hubungan kita bertambah erat. Karena itu, tolong jangan menganggap hubungan kita palsu lagi. Aku adalah pacar sungguhanmu. Perlakukan aku dengan semestinya," ujar Brandon seraya mengelus rambut Briony dengan penuh kasih sayang. Padahal, Brandon tidak menyentuhnya secara langsung, dan mereka sedang berada di ruang makan, bukan di ranjang. Akan tetapi, bulu kuduknya meremang. "Kau mau aku memperlakukanmu bagaimana?" tanya Briony, takut-takut. Brandon menarik sudut bibirnya ke atas. "Aku mau kita berinteraksi selayaknya pasangan biasa."Tiba-tiba, Brandon bergeser mendekat. Punggung Briony menegak. Tangannya mengepal saat jemari Brandon me
Di tempat lain, Andrew sibuk mengotak-atik ponselnya. Wajahnya manyun. Matanya bengkak akibat terlalu banyak menangis. Ia sudah beberapa kali mencoba untuk menelepon Briony, tetapi gagal terus. Briony hanya mengajarinya sekali, dan ia lupa bagaimana caranya. "Apa yang harus kulakukan untuk memanggil Briony ke sini lagi? Papa pasti tidak mau membantuku," batin bocah itu, penuh sesal dan kesal. Baru dua jam mereka tidak bersama, tetapi ia sudah sangat merindukannya. "Briony, kumohon cepat kembali. Tidak asyik kalau kamu tidak ada di sini. Semuanya jadi membosankan."Sementara Andrew tenggelam dalam kerinduan,Brandon melakukan banyak hal untuk Briony. Ia membuat klarifikasi untuk membersihkan nama Briony. Ia menggendong sang gadis setiap ia hendak turun dari ranjang. Ia memasak makan siang dan makan malam untuknya, bahkan memotong buah. Briony akhirnya tahu seperti apa rasanya diratukan. "Tipe pria seperti inilah yang seharusnya kau sukai, Briony. Kenapa dulu kau malah tertarik pada A
Tak bisa lagi menahan malu, Briony tertunduk. Ia lupa kalau posisi Brandon lebih rendah darinya. Pria itu tetap bisa melihat wajahnya yang memerah. "Ada apa?" tanya Brandon, membuat mata Briony melebar."Hmm? Tidak ada apa-apa," bohongnya. Sambil mengobati kaki Briony, Brandon bergumam, "Kamu yakin?" Briony menggigit bibir. Matanya kini tertuju pada betapa lembut Brandon mengoleskan salep di lututnya. Perlahan-lahan, kecanggungannya berubah menjadi keharuan. Siapa yang tidak terenyuh oleh perlakuan istimewa semacam itu? Bahkan Alex saja tidak pernah memperhatikannya sebaik itu saat mereka masih berpacaran dulu. "Brandon, bolehkah aku menanyakan sesuatu?" bisik Briony. Brandon bergumam tanpa membalas tatapannya. Ia masih fokus mengobati luka. "Tanyakan saja." "Kenapa ... kau memintaku untuk menjadi pacarmu?" Briony menantikan jawaban dengan gugup.Brandon akhirnya menghentikan gerakannya. Sambil menatap Briony lekat-lekat, ia menjawab, "Karena aku peduli padamu. Aku ingin selalu







