Mag-log inBriony berdiri tegak. Ia bangga dirinya berhasil keluar dari kungkungan sang mantan. Ia juga puas melihat laki-laki itu kesakitan.
"Dengarkan aku baik-baik, Alex. Aku tidak pernah iri kepada istrimu. Aku justru bersyukur dia merebutmu. Aku jadi terbebas dari orang toxic seperti dirimu dan ibumu. Sekarang, aku punya kehidupanku sendiri. Kalau kau baca bukuku, kau seharusnya tahu kalau aku sudah punya kekasih yang jauh lebih baik darimu. Jadi tolong pergi dari rumahku dan jangan pernah ganggu aku lagi!" tegas Briony, lantang.
Sambil menahan sakit, Alex mencibir. "Kau pikir aku percaya? Kau sendiri yang bilang kalau cerita itu hanyalah karangan. Pacar impianmu itu fiktif, kan?"
Napas Briony tersendat. Kepalan tangannya mengerat. "Tentu saja dia nyata. Tunggu sampai kau bertemu dengannya. Kau pasti akan terpukau. Dia jauh lebih hebat darimu," Briony berusaha terdengar meyakinkan.
Sambil tertawa sinis, Alex menegakkan badan. "Kau masih suka membual, rupanya. Mana ada laki-laki hebat yang mau denganmu? Lagi pula, apa susahnya mengaku kalau kau masih mengharapkan aku?"
"Aku tidak mengharapkanmu!" sanggah Briony dengan penekanan penuh.
"Kalau begitu, segera hapus bukumu! Aku tidak sudi jika istriku jadi bahan hujatan pembacamu."
Kepala Briony kembali terdorong mundur. "Kau berlindung di balik nama Caro? Apa susahnya mengaku kalau kau merasa tersindir dengan ceritaku? Kau masih saja pengecut, rupanya."
Merasa tertohok, Alex menarik napas dalam-dalam. Pundaknya mulai bergetar. Begitu juga dengan matanya yang dihiasi guratan merah. "Baiklah. Kalau kau tidak mau melakukannya, biar aku saja," putusnya.
Alex pun berjalan cepat menuju meja. Briony terkesiap melihat laptopnya sedang terbuka di sana. Sebelum Alex berhasil meraihnya, Briony cepat-cepat merebutnya. Sayangnya, Alex tidak membiarkannya lolos begitu saja. Pria itu kembali mencengkeram lengannya.
"Hei, lepaskan aku! Kau mau kutendang lagi! Kau tidak takut jika Andrew tidak bisa punya adik?" ancam Briony sambil memeluk laptopnya yang masih dalam keadaan terbuka.
Alex tidak mau mendengarkan. Ia terus berusaha merebut laptop. Hingga akhirnya, bunyi patahan terdengar. Mata Briony nyaris melompat keluar saat menyadari benda kesayangannya itu telah terbagi menjadi dua.
"Beep Beep?" Briony memanggil laptopnya seolah itu sesuatu yang bernyawa. Wajahnya memucat. Bola matanya bergetar mengamati keyboard di tangannya dan layar di tangan sang mantan.
Alex juga tersentak. Ia tidak menyangka laptop tua itu begitu rapuh. Diam-diam, ia merasa bersalah. Ia masih ingat betapa berharganya Beep Beep bagi Briony.
"Alexander White, kenapa kau merusak Beep Beep? Dia peninggalan nenekku," desah Briony dengan suara serak. Air matanya nyaris tumpah.
Alex berdeham. Ia kembalikan layar laptop ke tangan Briony. Tampangnya kini dibuat tak acuh. "Peninggalan apanya? Mendiang nenekmu hanya menitipkan uang. Kau sendiri yang membeli laptop itu," tuturnya kaku.
"Tapi aku membeli Beep Beep dengan uang itu! Secara tidak langsung, Beep Beep adalah peninggalan nenekku. Kau tega merusaknya?" Suara Briony bertambah lirih dan sendu.
Alex menyumpal tangannya ke dalam saku. Raut wajahnya tampak menyebalkan. "Jangan salahkan aku. Kau sendiri yang menolak untuk menghapus bukumu. Kalau saja kau sepakat sejak awal, hal ini tidak akan terjadi."
Briony menggigit bibir. Ia sebetulnya tidak mau menangis di hadapan Alex. Ia tidak mau dianggap lemah. Akan tetapi, air matanya menitik dengan sendirinya.
"Pergi kau!" Briony mendorong pundak Alex dengan sekuat tenaga. "Pergi kau dari sini! Aku tidak mau melihatmu lagi! Kau selalu saja membawa masalah ke dalam hidupku. Pergi!"
Alex bergerak mundur dengan kedua tangan terangkat seperti sedang ditodong pistol. "Tidak perlu mengusirku begitu. Aku juga tidak sudi berlama-lama di sini. Ingat," ia mengacungkan telunjuk, "segera hapus buku terkutuk itu. Kalau aku masih melihatnya beredar, jangan marah kalau aku mematahkan hal lain darimu."
Alex berbalik pergi. Briony hanya bisa menatap punggungnya dengan penuh kekesalan dan kebencian.
"Menyebalkan sekali laki-laki itu. Kenapa dulu aku bisa suka padanya?" gerutu Briony sambil menahan isak tangis. Selang perenungan singkat, ia tertunduk menatap laptopnya.
"Apa yang harus kulakukan dengan Beep Beep?" desahnya pasrah. Teringat akan bagaimana Alex mematahkannya, ia terpejam dan menghela napas cepat. "Kuharap karma segera berbalik kepadanya," batinnya spontan.
Selang satu helaan napas berat, Briony menundukkan kepala. Tangannya saling meremas di atas pangku."Maaf. Aku tidak bermaksud merendahkan Emily. Levelku jauh berada di bawahnya. Mana mungkin aku berani? Aku hanya ingin menyemangatimu saja. Jadi tolong ..." Briony mengintip sedikit. Mendapati wajah Brandon yang kaku, ia kembali tertunduk."Tolong jangan salah paham," lanjutnya dengan suara yang lebih pelan. "Sebagai orang yang pernah patah hati, aku bersimpati padamu. Kau dulu pernah menghiburku saat aku terpuruk. Sekarang, aku merasa perlu membalas kebaikanmu. Hanya dukungan dan kata-kata yang bisa kuberikan. Tapi sepertinya, aku justru menyinggungmu. Maaf kalau aku lancang."Brandon tetap membisu. Otaknya sibuk mencerna rentetan kalimat Briony yang panjang. Ia belum yakin bagaimana harus merespons. Akan tetapi, Briony salah menafsirkan diamnya itu. Gadis itu bertambah gundah. "Gawat. Apakah dia marah padaku? Atau justru salah paham? Aku terlihat seperti sedang berusaha mendapatkan
Dalam keheningan, Brandon mengulas kenangannya bersama Briony—saat ia menyelamatkan Briony di Adventure Park kemarin, saat ia dan Briony menemani Andrew jalan-jalan seharian, saat ia dan Briony ditugaskan menjaga keponakan-keponakan mereka bersama. Pada akhirnya, Brandon tiba pada momen pertama ia menyadari bahwa ia sudah menyukai gadis yang salah. Waktu itu, ia baru saja melamar Emily. Persiapannya sangat matang dan eksekusinya di depan banyak orang. Namun ternyata, Emily menolaknya. Kegemparan publik pun tak terelakkan. Orang-orang heboh karena seorang Brandon ditolak oleh wanita. Emosinya campur aduk saat itu. Apalagi, Emily kemudian menghilang dan kembali bersama cinta pertamanya. Ia merasa sangat gagal dalam cinta. Penasaran seperti apa pria yang "mengalahkannya", Brandon nekat menemui pacar Emily. Siapa sangka, hal itu memancing kekhawatiran Briony. Saat kabar tersebut sampai ke telinganya, ia bergegas menemui Brandon. "Brandon, bisa kita bicara sebentar?" tanya Briony saat
Briony kembali berpaling. Ia sadar, pipinya pasti memerah. Ia tidak mau Brandon melihatnya. "Berhentilah menanyakan hal bodoh, Brandon. Kau adalah laki-laki nomor satu di L City. Mustahil ada wanita yang tidak tertarik padamu.""Aku tidak sedang membicarakan wanita lain, Briony. Aku membicarakan dirimu. Apa yang membuatmu tertarik padaku? Tidak mungkin karena titel ataupun hartaku, kan? Aku tahu kau berbeda dari kebanyakan wanita di luar sana," Brandon mengelus lengan Briony dengan punggung tangannya. Briony seketika tersengat. Punggungnya menegak. Napasnya tersekat. Sebelum jantungnya meledak, ia harus kabur. "Brandon, aku mulai mengantuk. Tidak masalah kan kalau aku meminjam kamarmu? Kamu tidurlah yang nyenyak di kamar tamu," Briony bangkit berdiri. Belum sempat ia melangkah, tubuhnya telah terangkat dari lantai. Matanya terbelalak saat ia mendapati dirinya telah berada di gendongan sang pria. "Brandon, apa yang kau lakukan? Aku bisa berjalan sendiri," ucap Briony, agak panik. Ia
"Pelan-pelan, Briony. Tidak ada yang menyuruhmu tergesa-gesa. Kunyah dengan benar," ujar Brandon sembari menepuk-nepuk punggung sang pacar. Selesai batuk, Briony langsung menenggak segelas air yang disodorkan Brandon. Kemudian, ia bertanya, "Kau pasti bercanda, kan? Aku mana cocok menjadi istrimu?""Aku serius, Briony. Aku berniat menikahimu setelah hubungan kita bertambah erat. Karena itu, tolong jangan menganggap hubungan kita palsu lagi. Aku adalah pacar sungguhanmu. Perlakukan aku dengan semestinya," ujar Brandon seraya mengelus rambut Briony dengan penuh kasih sayang. Padahal, Brandon tidak menyentuhnya secara langsung, dan mereka sedang berada di ruang makan, bukan di ranjang. Akan tetapi, bulu kuduknya meremang. "Kau mau aku memperlakukanmu bagaimana?" tanya Briony, takut-takut. Brandon menarik sudut bibirnya ke atas. "Aku mau kita berinteraksi selayaknya pasangan biasa."Tiba-tiba, Brandon bergeser mendekat. Punggung Briony menegak. Tangannya mengepal saat jemari Brandon me
Di tempat lain, Andrew sibuk mengotak-atik ponselnya. Wajahnya manyun. Matanya bengkak akibat terlalu banyak menangis. Ia sudah beberapa kali mencoba untuk menelepon Briony, tetapi gagal terus. Briony hanya mengajarinya sekali, dan ia lupa bagaimana caranya. "Apa yang harus kulakukan untuk memanggil Briony ke sini lagi? Papa pasti tidak mau membantuku," batin bocah itu, penuh sesal dan kesal. Baru dua jam mereka tidak bersama, tetapi ia sudah sangat merindukannya. "Briony, kumohon cepat kembali. Tidak asyik kalau kamu tidak ada di sini. Semuanya jadi membosankan."Sementara Andrew tenggelam dalam kerinduan,Brandon melakukan banyak hal untuk Briony. Ia membuat klarifikasi untuk membersihkan nama Briony. Ia menggendong sang gadis setiap ia hendak turun dari ranjang. Ia memasak makan siang dan makan malam untuknya, bahkan memotong buah. Briony akhirnya tahu seperti apa rasanya diratukan. "Tipe pria seperti inilah yang seharusnya kau sukai, Briony. Kenapa dulu kau malah tertarik pada A
Tak bisa lagi menahan malu, Briony tertunduk. Ia lupa kalau posisi Brandon lebih rendah darinya. Pria itu tetap bisa melihat wajahnya yang memerah. "Ada apa?" tanya Brandon, membuat mata Briony melebar."Hmm? Tidak ada apa-apa," bohongnya. Sambil mengobati kaki Briony, Brandon bergumam, "Kamu yakin?" Briony menggigit bibir. Matanya kini tertuju pada betapa lembut Brandon mengoleskan salep di lututnya. Perlahan-lahan, kecanggungannya berubah menjadi keharuan. Siapa yang tidak terenyuh oleh perlakuan istimewa semacam itu? Bahkan Alex saja tidak pernah memperhatikannya sebaik itu saat mereka masih berpacaran dulu. "Brandon, bolehkah aku menanyakan sesuatu?" bisik Briony. Brandon bergumam tanpa membalas tatapannya. Ia masih fokus mengobati luka. "Tanyakan saja." "Kenapa ... kau memintaku untuk menjadi pacarmu?" Briony menantikan jawaban dengan gugup.Brandon akhirnya menghentikan gerakannya. Sambil menatap Briony lekat-lekat, ia menjawab, "Karena aku peduli padamu. Aku ingin selalu







