 Masuk
Masuk
Kemarahan Alex semakin membara. Ia menarik sang istri agar mendekat ke matanya. "Jangan menguji kesabaranku. Tinggalkan anak itu dan cepat temui Andrew." "Kaulah yang jangan menguji kesabaranku. Sekali lagi kau memaksaku, aku akan berteriak. Kalau kau peduli kepada Andrew, kau tidak akan mencobanya," Caroline mengancam balik. Alex memicingkan mata lagi. "Apa maksudmu?" "Bisa kau bayangkan bagaimana perasaan Andrew jika dia melihat ibunya lebih memilih anak lain?" Napas Alex tersekat. Dadanya sesak oleh kegilaan sang istri. "Kau ....""Lepaskan aku atau aku berteriak sekarang? Biar Andrew melihatku menggandeng tangan anak lain," tantang Caroline seraya meninggikan sebelah alis. Alex tertegun dalam kekalutan. Ia tidak rela melepas sang istri. Namun, ia lebih tidak rela lagi jika Andrew tersakiti. "Tiga .... Dua ...," Caroline menghitung mundur. Dengan mata merah yang terlapisi air mata, Alex akhirnya melepas Caroline. Wanita itu tersenyum sinis. "Keputusan bijak, Alex. Mulai sek
Alex mendengus tak percaya. Ia menurunkan volume suaranya. "Kenapa kau bicara begitu? Apakah kau lupa? Akulah yang membuat aplikasi baca pertama di L City. Perusahaanku mendapat penghargaan start-up terbaik. Aku juga dicap sebagai salah satu pemimpin bisnis paling berpengaruh di negeri ini." "Itu sudah lima tahun yang lalu, Alex. Sekarang? Setelah perusahanmu memiliki banyak pesaing, apa yang terjadi? Pendapatan menurun drastis. Tidak ada lagi prestasi yang kau raih. Perusahaanmu bahkan terancam pailit."Alex menegakkan telunjuk, menahan Caroline untuk melanjutkan bicaranya. "Itu tahun lalu, Caro. Sekarang, Starlight sudah membaik dan kembali stabil.""Kau bahkan tidak bisa mengalahkan Little Sparks, Alex. Padahal, perusahaan itu baru lahir. Apa yang bisa kau banggakan sekarang? Kau mau memberiku uang dari mana kalau perusahaanmu tidak lagi menjadi yang terdepan?" tanya Caroline seraya mengangkat alis dan dagunya sedikit. Alex menggertakkan geraham. Ia tidak terima dipandang rendah
"Kami kasihan kepada Andrew," Brandon mengulang jawaban dengan penekanan lebih. "Apakah kau tidak sadar kalau anakmu itu menyedihkan? Dia kurang perhatian dan kesepian. Karena itu, aku bersedia menjadi temannya. Padahal, kalau mengingat dia putramu, aku bisa saja mengabaikannya." Alex mendengus. Rahangnya berdenyut-denyut. "Jangan sok tahu.""Apakah kau pernah bertanya kepada Andrew tentang perasaannya?" sela Brandon sebelum Alex bisa bicara lebih banyak. "Apakah semua mainan yang dia miliki cukup untuk membuatnya bahagia? Apakah dia tidak pernah merasa sepi selama orang tuanya bekerja? Apa yang sebetulnya dia inginkan dari kalian?"Ego Alex terguncang. Tanpa berpikir panjang, ia menegaskan, "Andrew putraku. Tentu saja aku tahu apa yang dia butuh.""Lalu kenapa kau tidak mengajaknya ke dokter gigi secara rutin? Kenapa bisa aku dan Briony yang pertama kali menemaninya bermain game VR? Dan kenapa dia sangat gembira saat kami menonton di bioskop seolah-olah itu kali pertamanya?" tanya B
"Terima kasih, Brandon. Aku benar-benar tidak menyangka kamu bisa membelikan aku ponsel," ucap Andrew sembari membenamkan wajahnya di dada Brandon. Ia tidak peduli jika lengannya sedikit sakit. Ia ingin menunjukkan rasa syukurnya kepada sang pria baik hati.Sambil menepuk-nepuk punggung si bocah, Brandon berkata, "Zaman sekarang, ponsel adalah alat yang sangat penting. Itu bisa membantumu untuk terhubung dengan siapa pun. Mulai sekarang, kalau kamu mau meneleponku, tekan saja 1. Kalau kamu mau menelepon Briony, tekan 2. Kamu bisa menyimpan kontak orang tuamu atau siapa pun di nomor-nomor selanjutnya.""Kenapa kamu ada di nomor 1, sedangkan Briony ada di nomor 2?" Andrew mendongak. Tatapannya curiga.Brandon tergelitik oleh ekspresinya. Ia mengacak rambut bocah itu. "Karena aku tidak mau kau merepotkan pacarku terus. Jadi, kalau ada apa-apa, hubungi aku dulu. Kalau aku tidak mengangkat teleponmu, baru hubungi Briony. Mengerti?"Tiba-tiba, Alex membanting tinju di sofa. "Kau pikir kau s
"Akan kuberikan kalau kau mengizinkan Briony duduk di sampingku," pancing Brandon. Bibir Andrew mengerucut. "Mana bisa begitu? Kata Nyonya Powell, itu namanya menyogok. Tidak baik. Ayo ... berikan saja hadiahnya kepadaku," Andrew mengulurkan tangannya. Ia tidak sadar bahwa sang ayah menyoroti tingkahnya dengan wajah tak senang."Andrew, untuk apa meminta hadiah darinya? Apakah mainan yang Papa berikan kepadamu masih kurang?" tegur Alex, pelan. Andrew memasang raut tanpa dosa. "Tidak, Papa. Tapi semakin banyak mainan yang kupunya, semakin asyik," ia mengedikkan bahu, lalu kembali menatap Brandon. "Jadi, apa yang kau belikan untukku? Apakah kacamata VR? Pedang laser? Drone yang keren?" "Nanti kau akan tahu. Makan saja dulu," tutur Brandon seraya melirik Alex. Ia puas melihat laki-laki itu berang. "Ya, makanlah dulu. Setelah itu, kau bisa bermain bersama Brandon sepuasnya," Briony menyodorkan sepotong lasagna ke mulut Andrew. Tak sabar ingin melihat hadiahnya, Andrew pun makan denga
Beberapa tahun yang lalu .... "Apa yang kamu buat hari ini?" bisik Alex seraya merengkuh Briony dari belakang. Briony tersentak. Kehadiran Alex telah membuyarkan fokusnya. Namun, saat ia menoleh, senyum manisnya terlukis indah. "Aku mencoba membuat omelet, tapi gagal lagi. Rasanya aneh," Briony mengernyitkan hidung. "Benarkah? Tapi kelihataannya bagus. Coba suapi aku," Alex menganga. Briony mengambil potongan kecil dan memasukkannya ke mulut Alex. "Bagaimana?" Alex menarik napas dalam-dalam. Ekspresinya menggambarkan bagaimana rasa makanan yang sedang berusaha ia telan. "Kau benar. Rasanya sedikit aneh. Tapi kalau kau rajin berlatih, aku yakin rasa masakanmu akan membaik," angguknya seraya mengulum makanan. Briony pun mengambil tisu dan menadahkannya di bawah mulut Alex. Sambil menunggu Alex melepeh, ia bergumam, "Kalau begini terus, bagaimana aku bisa menjadi istri yang baik nanti? Aku kan mau membuat masakan yang enak untuk suamiku setiap hari. Haruskah aku ikut kursus memas








