 LOGIN
LOGIN
Semakin lama Briony membayangkan apa yang mungkin terjadi malam ini, semakin kencang getaran dalam dadanya. Pipinya memanas. Sarafnya menegang. "Mungkinkah Brandon mau melakukan itu? Tapi aku bukan perempuan cantik atau seksi. Mana mungkin dia mau melakukan hal itu denganku?" renung Briony seraya melihat pakaiannya sendiri. Setelah yakin bahwa dirinya memang tidak menarik, ia menganggukkan kepala."Ya, aku pasti sudah salah paham. Yang dia maksud tidur bersama itu pasti hanya berbaring di kasur yang sama dan tidur. Tidak ada interaksi. Hanya tidur," Briony berusaha berpikir positif. Namun, selang keheningan sesaat, tubuhnya kembali menegang. Kata-kata Brandon terngiang dalam benaknya. "Bagiku, kamu adalah pacar sungguhanku.""Kita akan tidur bersama, Briony. Aku tidak mau membuatmu tak nyaman.""Kita harus segera meyakinkan Alex kalau kamu adalah milikku."Briony terkesiap. Bulu kuduknya meremang. Ia tanpa sadar menelan ludah. "Apakah Brandon serius mau meniduriku? Itukah yang dia
"Tidak," sangkal Alex dalam hati, saat egonya kembali mencuat. "Keadaan justru bisa lebih buruk kalau dulu aku memilih Briony. Dia hanya jago akting dan bicara. Selain itu, dia tidak punya modal atau keahlian apa-apa. Dia juga pembawa sial dalam hidupku. Buktinya, keluargaku mulai bermasalah sejak dia menulis buku sialan itu."Sambil menatap Briony sinis, Alex mengeluarkan ponselnya. Ia mengirim pesan kepada sekretarisnya. "Apakah sudah ada tanggapan dari pihak Little Sparks? Kapan mereka akan men-take down buku itu?" Sekretarisnya membalas, "Mereka belum bisa memberi tanggapan, Tuan. Mereka perlu mendiskusikan hal tersebut dengan CEO mereka yang kebetulan sedang mengambil cuti panjang.""CEO macam apa yang mengabaikan urusan kantor begitu lama?" gerutu Alex, sebal. Sambil mendumel dalam hati, ia mulai memikirkan cara. "Haruskah aku menghapus buku itu dari ponsel Briony? Atau aku perlu menunggu sampai dia login di laptop barunya? Tapi hal itu tetap membutuhkan acc dari platform, kan?
Kemarahan Alex semakin membara. Ia menarik sang istri agar mendekat ke matanya. "Jangan menguji kesabaranku. Tinggalkan anak itu dan cepat temui Andrew." "Kaulah yang jangan menguji kesabaranku. Sekali lagi kau memaksaku, aku akan berteriak. Kalau kau peduli kepada Andrew, kau tidak akan mencobanya," Caroline mengancam balik. Alex memicingkan mata lagi. "Apa maksudmu?" "Bisa kau bayangkan bagaimana perasaan Andrew jika dia melihat ibunya lebih memilih anak lain?" Napas Alex tersekat. Dadanya sesak oleh kegilaan sang istri. "Kau ....""Lepaskan aku atau aku berteriak sekarang? Biar Andrew melihatku menggandeng tangan anak lain," tantang Caroline seraya meninggikan sebelah alis. Alex tertegun dalam kekalutan. Ia tidak rela melepas sang istri. Namun, ia lebih tidak rela lagi jika Andrew tersakiti. "Tiga .... Dua ...," Caroline menghitung mundur. Dengan mata merah yang terlapisi air mata, Alex akhirnya melepas Caroline. Wanita itu tersenyum sinis. "Keputusan bijak, Alex. Mulai sek
Alex mendengus tak percaya. Ia menurunkan volume suaranya. "Kenapa kau bicara begitu? Apakah kau lupa? Akulah yang membuat aplikasi baca pertama di L City. Perusahaanku mendapat penghargaan start-up terbaik. Aku juga dicap sebagai salah satu pemimpin bisnis paling berpengaruh di negeri ini." "Itu sudah lima tahun yang lalu, Alex. Sekarang? Setelah perusahanmu memiliki banyak pesaing, apa yang terjadi? Pendapatan menurun drastis. Tidak ada lagi prestasi yang kau raih. Perusahaanmu bahkan terancam pailit."Alex menegakkan telunjuk, menahan Caroline untuk melanjutkan bicaranya. "Itu tahun lalu, Caro. Sekarang, Starlight sudah membaik dan kembali stabil.""Kau bahkan tidak bisa mengalahkan Little Sparks, Alex. Padahal, perusahaan itu baru lahir. Apa yang bisa kau banggakan sekarang? Kau mau memberiku uang dari mana kalau perusahaanmu tidak lagi menjadi yang terdepan?" tanya Caroline seraya mengangkat alis dan dagunya sedikit. Alex menggertakkan geraham. Ia tidak terima dipandang rendah
"Kami kasihan kepada Andrew," Brandon mengulang jawaban dengan penekanan lebih. "Apakah kau tidak sadar kalau anakmu itu menyedihkan? Dia kurang perhatian dan kesepian. Karena itu, aku bersedia menjadi temannya. Padahal, kalau mengingat dia putramu, aku bisa saja mengabaikannya." Alex mendengus. Rahangnya berdenyut-denyut. "Jangan sok tahu.""Apakah kau pernah bertanya kepada Andrew tentang perasaannya?" sela Brandon sebelum Alex bisa bicara lebih banyak. "Apakah semua mainan yang dia miliki cukup untuk membuatnya bahagia? Apakah dia tidak pernah merasa sepi selama orang tuanya bekerja? Apa yang sebetulnya dia inginkan dari kalian?"Ego Alex terguncang. Tanpa berpikir panjang, ia menegaskan, "Andrew putraku. Tentu saja aku tahu apa yang dia butuh.""Lalu kenapa kau tidak mengajaknya ke dokter gigi secara rutin? Kenapa bisa aku dan Briony yang pertama kali menemaninya bermain game VR? Dan kenapa dia sangat gembira saat kami menonton di bioskop seolah-olah itu kali pertamanya?" tanya B
"Terima kasih, Brandon. Aku benar-benar tidak menyangka kamu bisa membelikan aku ponsel," ucap Andrew sembari membenamkan wajahnya di dada Brandon. Ia tidak peduli jika lengannya sedikit sakit. Ia ingin menunjukkan rasa syukurnya kepada sang pria baik hati.Sambil menepuk-nepuk punggung si bocah, Brandon berkata, "Zaman sekarang, ponsel adalah alat yang sangat penting. Itu bisa membantumu untuk terhubung dengan siapa pun. Mulai sekarang, kalau kamu mau meneleponku, tekan saja 1. Kalau kamu mau menelepon Briony, tekan 2. Kamu bisa menyimpan kontak orang tuamu atau siapa pun di nomor-nomor selanjutnya.""Kenapa kamu ada di nomor 1, sedangkan Briony ada di nomor 2?" Andrew mendongak. Tatapannya curiga.Brandon tergelitik oleh ekspresinya. Ia mengacak rambut bocah itu. "Karena aku tidak mau kau merepotkan pacarku terus. Jadi, kalau ada apa-apa, hubungi aku dulu. Kalau aku tidak mengangkat teleponmu, baru hubungi Briony. Mengerti?"Tiba-tiba, Alex membanting tinju di sofa. "Kau pikir kau s








