Memar biru yang belum sembuh kian ngilu kala tangan lemah Linda mendarat sempurna dengan begitu kerasnya. Selain mengusap pipi yang terasa perih, tak ada yang bisa Bahtiar lakukan. Ia tertunduk tak berdaya ketika Linda menatapnya nyalang. Dengan napas yang naik turun cepat, Linda mengacungkan jari telunjuk di depan wajah Bahtiar.“Kurang ajar kamu! Beraninya melecehkan putriku!” Linda berteriak memaki pria yang seyogyanya menjadi calon menantu.“Tante, saya minta maaf. Saya khilaf.” Bahtiar menjatuhkan tubuh berlutut di hadapan Linda.Semua orang yang hadir di ruangan itu tak ada yang berani bersuara. Ibunda Bahtiar pun terbungkam dengan apa yang sudah dilakukan putranya terhadap Arisa. Ia hanya bisa menangis menyesali diri yang telah gagal mendidik Bahtiar menjadi seorang pria yang baik.“Kamu ingat baik-baik. Kalau sampai terjadi sesuatu pada anak saya, saya pastikan akan memenjarakanmu.” Linda beranjak pergi dari rumah calon besan yang sepertinya memang benar-benar akan jadi manta
“Kamu hamil?” Arisa sampai harus memicingkan mata saat bertanya.Selama berteman dengan Melia, tak sekalipun ia mengetahui gadis itu dekat dengan pria. Dia juga tak pernah bercerita kalau memiliki kekasih.“Apa itu anaknya ….” Lidah Arisa mendadak kelu. Rasa tak sanggup menyebut nama lelaki yang ia curigai sebagai ayah dari bayi yang Melia kandung, jika benar dia hamil.Tak ada satu kata pun keluar dari mulut mantan sahabatnya. Namun, Arisa bisa melihat kristal-kristal bening tengah menggenang di mata Melia.“Kembalikan!” Tangan Arisa mengambang di udara, ketika Melia merampas kembali kantong belanjanya.Perempuan yang menyandang tas di bahunya itu melenggang pergi tanpa permisi. Sedangkan Arisa hanya mematung dalam keadaan setengah tak percaya. Mungkinkah Bahtiar merupakan pelakunya?“Risa, jadi beli obat gak?” Suara Yanu mengagetkan Arisa dari keterpakuan.Ia menoleh sebentar, kemudian beralih mencari-cari keberadaan Melia yang entah ke mana.“Kak Yanu aja yang beli. Aku tunggu di l
“Ini gak bener kan, Mel? Kamu lagi bercanda kan?” Bahtiar melempar alat uji kehamilan yang baru saja diberikan Melia.“Aku juga maunya kayak gitu. Tapi, nyatanya ini benar-benar terjadi. Aku hamil dan ini anakmu.” Berderai air mata, Melia menunduk tak sanggup bersitatap dengan Bahtiar.Setelah mencoba berulang kali, akhirnya Bahtiar mau diajak bicara berdua. Walaupun semua dilakukan secara terpaksa, tapi bagi Melia itu merupakan kesempatan yang sangat berharga.Lelaki berkemeja biru pudar itu meraup wajah dengan gusar. Belum usai satu persoalan, kini masalah baru sudah datang. Kemarahan orang tuanya atas pembatalan pernikahan dengan Arisa belum sempat teredam, sekarang di hadapannya seorang perempuan tengah meminta pertanggung jawaban.“Mel, aku bener-bener gak bisa percaya ini. Aku yakin sekali kita gak lakuin apa-apa malam itu. Bagaimana mungkin kamu bisa hamil?” Diputar berulang kali pun, Bahtiar sama sekali tak bisa mengingat kalau dirinya pernah menggagahi Melia.“Tiar, kamu itu
“Iihh … Kak Yanu apaan sih.” Arisa mendorong dada Yanu begitu cekalan tangan lelaki itu terlepas. Makanan yang terlanjur masuk pun menyembur dan berhamburan di lantai. Dengan kedua telapak tangan yang terkepal, Arisa memukuli Yanu hingga terjungkal. Bukan karena kesakitan, melainkan tertawa terpingkal mendapati reaksi perempuan yang ada di depannya.Keributan yang mereka ciptakan, tentu saja mengusik ketenangan Linda yang belum lama terpejam. Ia bangun dan menghampiri sumber kegaduhan.“Ada apa ini?” Pandangan yang masih remang-remang itu seketika terbuka lebar, begitu menangkap bayangan Arisa yang tengah memukuli Yanu yang terbaring di lantai.“Mama?” Sakit terkejutnya, Arisa bergegas mundur dari tubuh Yanu, dan bergeser lebih jauh.“Kalian sedang apa?” Linda pun tak kalah kaget menyaksikan dua anak anak manusia yang sama-sama sudah dewasa berada dalam posisi seperti itu. Posisi yang jika diperhatikan sekilas, tak ubahnya orang yang tengah saling bertindihan. Arisa bangkit dan meng
Lebih dari satu minggu suasana saat berkumpul di meja makan begitu senyap. Selain dentingan sendok yang beradu dengan piring, makan tak ada lagi suara yang lain.Namun, malam ini sepertinya akan berbeda dari sebelumnya. Sebab ada hal besar yang hendak Bahtiar sampaikan.Sepasang suami istri yang tak lagi muda itu saling melempar pandang, ketika Bahtiar mencegah mereka meninggalkan ruang makan. “Ada sesuatu yang ingin kusampaikan.” Rendah nada suara Bahtiar adalah wujud rasa takut yang sungguh menekan dalam pikiran.Tak ada jawaban maupun sekadar mempersilahkan. Kedua orang tuanya hanya diam dan bersiap menyimak apa yang akan mulut Bahtiar tuturkan.“Aku mau menikahi seseorang.” Ragu-ragu, tetapi semua harus diungkapkan.“Menikah? Apa maksudnya?” Sang ibu terdengar tak menyukai pembicaraan yang belum jelas itu.“Iya, Ma. Aku harus menikahi seseorang. Dengan ataupun tanpa restu kalian, aku akan menikahi perempuan itu.”Tak habis pikir ayah Bahtiar. Setelah apa yang menimpa terhadap ren
Hujan pagi ini menyeruakkan aroma tanah yang kemarin masih mengering. Pucuk-pucuk dedaunan bergoyang tertimpa jatuhan air langit. Denting atap baja ringan riuh berisik, memecah keheningan hari.Jalan-jalan yang biasanya ramai, kini tampak lengang. Hanya ada beberapa kendaraan yang rela menerobos derasnya air hujan. Warna coklat yang berasal dari campuran tanah dan air mengaliri selokan. Dalam ruangan berukuran 3x4 meter, Arisa tengah sibuk memisah-misahkan beragam berkas yang ia anggap penting. Beberapa salinan juga ia kumpulkan untuk kemudian disatukan dalam sebuah map yang disertai selembar surat lamaran.“Duh, kok hujannya gak berhenti-berhenti sih?” Keluh kesah itu meluncur dari bibir Arisa.Dengan pandangan menatap hampa melalui kaca jendela, Arisa melemaskan pundak yang kehilangan semangat.“Sabar. Nanti juga reda. Lagian besok-besok juga kan bisa kirim lamarannya.” sang ibu hanya bisa menenangkan tanpa memberi solusi. Sebab cuaca hari ini, sepenuhnya kuasa Sang Illahi.“Iya, si
Satu tamparan yang mendarat tepat di pipi, menyadarkan Yanu yang baru saja melepas tautan bibir. Tampak di matanya wajah merah Arisa yang tengah dipenuhi amarah. Tarikan napasnya begitu cepat, dengan dada naik turun tanpa jeda.Tak sanggup berkata-kata, Arisa keluar dari mobil dengan segera. Ia terjang rintik hujan yang belum sepenuhnya reda. Rambut tergerai Arisa perlahan basah hingga meneteskan air hujan yang telah menimpa.Arisa berjalan setengah berlari bersamaan dengan tangis dan hujan yang melebur jadi satu. Sekalipun ia tak pernah memprediksi bahwa Kakak sepupu yang paling baik yang dimiliki, nyatanya berani melakukan perbuatan yang tidak seharusnya.“Risa.” Sebuah tangan menyentak arisa dan berusaha menghentikan langkahnya. “Risa, dengarkan dulu. Aku mohon.”Tak peduli apapun lagi yang ingin dikatakan Yanu, Arisa tetap melangkah maju. Bahkan sekilas menatap pun Arisa tak mau.“Risa, aku minta maaf. Kumohon dengarkan aku bicara dulu. Aku punya alasan, kenapa aku lakukan itu.” Y
Seperti cuplikan film, kilasan kenangan manis sekaligus pedih yang pernah ada dalam kehidupan tiga orang itu berkelebatan dalam kepala Arisa. Keseruan mereka menghabiskan waktu bersama, juga tentang kemesraan yang terjadi antara Bahtiar dan Melia di belakang Arisa.Tak sampai di situ, bayangan Melia membeli alat uji kehamilan pun serupa kobaran api yang menyala membakar amarah dalam diri Arisa. Siapa yang sangka jika dua orang yang ia percaya begitu tega melakukan hal menjijikan itu di saat ia justru tengah sibuk menyiapkan hari bahagia.“Kak.” Arisa melambaikan tangan agar Yanu segera menarik mundur kursi roda.Suara yang tertangkap telinga Bahtiar seketika mengalihkan perhatian. Ia lekas melerai pelukan, lalu menoleh ke sisi sebelahnya, di mana sebelumnya ia tak menyadari keberadaan gadis yang ia cinta, sebab terlalu mengkhawatirkan sang ayah.“Tante.” Layaknya calon menantu yang baik, Melia pun mengganti posisi Bahtiar memeluk ibunya.Sementara itu, Bahtiar terpaku menyaksikan Aris