Beberapa detik Bahtiar termangu mendengar pertanyaan Isti. Bukan sedang mencari jawaban yang tepat, melainkan memahami makna yang tersirat. Bahtiar menyadari kekhawatiran yang melanda di benak calon istrinya.
“Tentu saja aku gak tega. Aku bahkan gak sampai hati memikirkan kalau Yanu sampai meninggal.”Isti merasa tertohok dengan jawaban yang Bahtiar berikan. Sungguh ia seperti telah menjadi manusia yang sangat jahat. Bagaimana bisa ia memikirkan sesuatu yang semengerikan itu.“Ma—maaf, Mas. Aku bukan bermaksud begitu.” Wanita itu langsung tergagap.Namun, Bahtiar yang memahami perasaan Isti tak lantas marah ataupun memaki. Ia justru segera merentangkan lengan dan meraih pundak Isti. Ditariknya tubuh itu agar merapat dan kepalanya mendarat.“Aku tahu. Aku percaya calon istriku tak mungkin sejahat itu. Aku juga tahu kau hanya sedang takut. Kau takut kehilanganku.”Perkataan Bahtiar memang terkesan sangat percaya diri. Tetapi, Isti"Mas, kamu lagi dimana?""Ini lagi makan siang sama temen-temen."Arisa mengelus dada yang mendadak ngilu, setelah mengetahui kebohongan calon suaminya, Bahtiar.Di ujung sana, di dalam sebuah resto tak jauh dari gedung kantor tempat Bahtiar bekerja, lelaki itu tengah menikmati santap siang dengan seorang gadis cantik yang sebelumnya Arisa sebut teman.Tiga tahun bekerja di tempat yang sama. Melakukan berbagai aktifitas bersama, membuat Arisa berpikir telah mengenal Melia. Nyatanya, setelah Arisa memutuskan resign mengikuti peraturan perusahaan, ia justru mendapati sang calon suami tengah menjalin kedekatan dengan mantan rekan satu timnya."Ya sudah, lanjutkan saja. Aku gak mau ganggu." Arisa mengakhiri panggilan tanpa menunggu Bahtiar memberi jawaban.Arisa membalik badan, pergi meninggalkan bangunan resto sembari menahan nyeri yang serta merta menggerogoti.Andai saja Bahtiar mau berkata jujur bahwa dirinya tengah berdua dengan Melia, tentu Arisa pun tak lantas menaruh curiga. Bukan
Kegagapan Bahtiar kian menguatkan keyakinan Arisa bahwa apa yang ia sangkakan memang benar adanya. Muak melihat reaksi yang ditunjukkan kekasihnya tersebut, Arisa pun memilih berlalu meninggalkan Bahtiar yang masih setia dalam keterpakuan.Ia tak peduli apapun tanggapan lelaki itu atas sikapnya. Yang Arisa pikir, ia hanya ingin pergi saat itu juga. Pergi dari hadapan pria yang ia kira tak pernah sungguh-sungguh mempersembahkan cinta padanya.Detik waktu menyadarkan Bahtiar kalau saat ini Arisa telah enyah dari hadapan. Secuil pun ia tak pernah sangka kalau Arisa akan melayangkan pertanyaan yang menyatakan bahwa wanita itu mengetahui sesuatu yang belakangan ia sembunyikan.Buru-buru Bahtiar mengemudikan kendaraan miliknya, bermaksud mengejar Arisa yang pergi tak tahu arah tujuan.Sepanjang perputaran roda, berulang kali Bahtiar memukul kemudi. Merasa frustasi sebab jejak Arisa yang tak kunjung ia temui. Satu harapan terakhir Bahtiar, yakni menghubungi Linda."Hallo, Tiar," sambut suara
Suara keributan dari luar mengusik kenyamanan ibunda Arisa yang baru saja hendak beristirahat. Sebelumnya, setelah dibuat cemas oleh Bahtiar yang mempertanyakan putrinya, Linda kembali bisa bernapas lega. Sebab tak lama sesudah itu Yanu mengabari kalau Arisa berada di kediamannya.Langkah Linda terhenti kala mendapati sang putri bersandar pada daun pintu yang tertutup rapat. Sedangkan bunyi gedoran terdengar gaduh disertai teriakan Bahtiar yang memanggil-manggil nama Arisa.“Ada apa, Nak?” tanya Linda, menjatuhkan lutut di hadapan Arisa yang semula tampak tertunduk.Wajah sendu itu mendongak menatap sang bunda. Genangan di pelupuk mata, pertanda bahwa ada hal yang telah membuat sang belahan jiwa terluka.“Mama.” Seucap itu Arisa mampu bersuara.Batinnya perih teriris mendapati sang kekasih membawa serta penyebab prahara. Sungguh Arisa enggan sekali menyaksikan kehadiran mereka bersama dengan kedua bola mata. Andai Bahtiar tahu, bahwa menghadirkan Melia tak ubahnya menggerus kalbu yang
“Mau bikin kopi?”Bahtiar menoleh dan mendapati Melia sudah berdiri di sebelahnya yang hendak menyeduh kopi di dalam pantry. “Iya, nih, agak ngantuk. Semalam video call- an sama Risa sampe larut.”“Oh ….” Melia mengangguk-angguk paham. “Ya udah, sini aku buatin.” Ia lantas merebut kopi kemasan dari tangan Bahtiar.“Serius?” tanya Bahtiar, sedikit tak enak hati.“Serius lah. Kopi doang, kecil ini sih. Lagian aku kasihan sama kamu. Sejak Risa resign, kamu jadi apa-apa sendiri.”“Yah … gak apa-apa lah. Lagian abis ini dia bakal layanin aku sepenuhnya kalau lagi di rumah.” Melia melirik, melihat ekspresi Bahtiar yang tampak bahagia. “Loh, emang Risa gak nyari kerja lagi?”“Ya, enggak lah. Buat apa? Kan nanti ada aku yang nafkahin dia. Dia cukup di rumah, ngurus aku sama anak-anak kami nanti.” Setiap kata yang keluar dari mulut Bahtiar terdengar sangat menyenangkan. Bahkan ia juga tampak seperti sedang membayangkan kebahagiaan sempurna itu bersama Arisa.“Beruntung sekali ya, Arisa. Punya
“Terus gimana?” Yanu menelengkan kepala, bersiap mendengar jawaban Arisa yang sejak tadi tampak lahap menikmati setiap potong pizza yang yang dipenuhi lelehan mozarella.“Ya gitu deh. Aku kira si Papa kena serangan jantung, ternyata kancing kemejanya lepas. Huh ….” Arisa mengusap dahi seraya membuang napas. “Langsung aja deh aku bilang, Mas Tiar kayaknya lagi ngigau. Biasanya kalau orang sakit emang kadang ngigau gitu kan?”Setelah beberapa hari lalu memilih bungkam, hari ini Arisa sudah tak keberatan bercerita panjang lebar. Dia memberitahu Yanu hal apa yang menyebabkan keretakan hubungannya dengan Bahtiar. Tak sampai di situ, Arisa juga memaparkan kejadian beberapa jam lalu di rumah Bahtiar.“Sayang aku gak lihat langsung. Kalau lihat, pasti aku ketawa ngakak,” balas Yanu, terkekeh geli.“Boro-boro pengen ketawa, Kak. Yang ada aku deg-degan setengah mati. Untungnya si Papa percaya.”“Oh ya, Bahtiar sendiri gimana? Dia sakit beneran atau cuma cari perhatian?”Arisa menaikan kedua bah
Lembaran kertas bermotif dengan dominasi warna marun, diusap dengan lembut penuh penghayatan. Goresan tinta perak bertuliskan nama dua insan yang memiliki niat suci itu pun menjadi fokus utama dalam sudut pandang Arisa. Ada getar harus menelusup hingga ke dasar kalbu. Di mana bayangan indah kala merangkai rencana bahagia itu terukir di pelupuk mata. Suka duka yang dilalui tak mungkin mudah terhapus begitu saja. Meski luka itu nyatanya telah sukses mencabik rasa percaya yang tercurah terhadap pria yang ia kira akan setia melambungkan segala asa bersama.Kilat bening yang berasal dari genangan cairan asin itu terpancar kala ingatannya terhempas pada kenyataan yang terpaksa harus ia telan. Sebesar apapun rasa cinta yang pernah keduanya agung-agungkan, tetap tak mampu menutupi cela yang terlanjur menganga.“Mama tahu Risa masih cinta sama Bahtiar. Tapi, Mama juga tahu kalau Risa juga membenci Bahtiar dalam waktu bersamaan. Mama mungkin gak tahu bagaimana rasanya dikhianati, tapi Mama san
“Ayahku pergi dengan wanita lain. Aku gak tahu mereka menikah atau enggak. Yang jelas sejak saat itu, dia sudah tidak lagi menafkahi kami. Ibuku harus banting tulang, kerja jadi buruh cuci sambil gendong adik yang paling kecil.” Melia mendongak ke atas, menahan laju air mata yang mendesak ingin segera tumpah.Di sampingnya, Bahtiar menyimak segala penuturan Melia dengan perasaan iba yang seketika menelusup ke dalam dada.“Hari itu, aku bilang ingin berhenti sekolah saja. Aku mau bantu Ibu cari uang. Tapi, Ibuku sangat marah. Katanya, kalau aku gak sekolah, aku gak akan jadi apa-apa. Tapi, diam-diam aku kerja setelah pulang sekolah. Aku bantu-bantu di cafe punya orang tua temanku. Sesekali aku juga nyanyi di sana. Nyerep kalau penyanyinya berhalangan datang. Hasilnya lumayan, selain honor dari yang punya cafe, kadang pengunjung juga kasih saweran.” Seulas senyum menjeda kisah panjang yang tengah diurai saat ia duduk berdua dengan Bahtiar.“Aku gak tahu kalau hidupmu serumit itu,” ujar
Desas-desus keretakan hubungan Bahtiar dengan Arisa merebak di dalam lingkungan kantor. Entah siapa yang menjadi bibit isu tersebut, yang pasti dalam beberapa kesempatan Bahtiar kerap mendapati para staf tengah menggunjing dirinya. Tak cukup sampai di situ, Bahtiar pun memerhatikan ada beberapa orang yang tanpa ragu menyindir Melia dengan suara lantang. Namun begitu, ia enggan memberi teguran. Ia tak mau segala tudingan itu dianggap benar, ketika dirinya pasang badan membela Melia.Ada perasaan tak tega kala menangkap mata Melia tengah menyantap bekal makan siangnya sendiri. Semenjak gosip miring itu tersebar, perempuan yang gemar mengenakan celana panjang itu seperti tak bernyali untuk berkumpul di dalam kantin. Dia memilih bertahan di kubikel miliknya hingga jam istirahat berakhir.“Tiar, kita harus bicara.” Bahtiar tersentak kala suara Melia menghentikan langkahnya yang hendak beranjak pulang.Manik tajam lelaki bersetelan jas itu awas mengamati sekitar. Ia khawatir ada orang yang