Sudah beberapa hari Arisa uring-uringan tidak jelas. Entah ada apa dengan wanita itu, yang pasti sejak pulang usai meninjau rumah baru, sikapnya sangat aneh.
Meski begitu, Yanu tetap berusaha bersabar. Ia anggap sikap istrinya terpengaruh oleh hormon kehamilan. Yanu pernah mendengar bahwa trimester pertama itu adalah masa-masa paling rentan. Mau benar atau salah, akan lebih baik kalau suami mengalah.“Motor terus yang dielus-elus.” Kalimat bernada sindiran tersebut membuat Yanu mengalihkan perhatian.Sejak pagi Arisa terus menolak keberadaan Yanu di dekatnya. Untuk mengisi waktu luang di akhir pekan, Yanu pun memilih mencuci motor kesayangan. Semua itu ia lakukan untuk mengalihkan pikiran atas sikap Arisa yang belakangan sulit ia pahami.“Mau ngelus istri ditolak terus,” balas Yanu, kembali mengelap motor yang dulu kerap membonceng Arisa saat jalan-jalan.Merasa diabaikan, Arisa pun menghampiri sang suami. Ia lantas menarik lengan Yanu lSemua masih baik-baik saja. Hingga urusan belanja selesai pun Bahtiar masih tertawa-tawa bercanda dengan Aziz. Bahkan saat keluar dari gedung pusat perbelanjaan, Bahtiar dan Isti menggandeng masing-masing tangan anak lelaki tersebut, kiri dan kanan. Mereka berjalan beriringan layaknya keluarga kecil yang bahagia. Sungguh Bahtiar pun telah lama mengharapkan momen semacam itu. Kehadiran Isti dan putranya seolah menjadi jawaban Tuhan atas segala doa-doa dan ketabahannya selama ini.“Nanti di mobil jangan loncat-loncat, ya?” Isti harus selalu mengingatkan putranya tentang aturan tersebut. Sebab Aziz memang seaktif itu bila sedang merasa senang.“Iya, Bu,” jawab Aziz, patuh.“Sayang, jangan terlalu keras. Pelan-pelan saja kalau ngasih nasehat,” tegur Bahtiar, kurang setuju bila nada bicara Isti membuat Aziz takut.Seorang anak memang harus selalu diajarkan mana yang benar dan mana salah. Mana yang baik dan mana yang buruk. Akan tetapi, cara p
Beberapa detik Bahtiar termangu mendengar pertanyaan Isti. Bukan sedang mencari jawaban yang tepat, melainkan memahami makna yang tersirat. Bahtiar menyadari kekhawatiran yang melanda di benak calon istrinya.“Tentu saja aku gak tega. Aku bahkan gak sampai hati memikirkan kalau Yanu sampai meninggal.”Isti merasa tertohok dengan jawaban yang Bahtiar berikan. Sungguh ia seperti telah menjadi manusia yang sangat jahat. Bagaimana bisa ia memikirkan sesuatu yang semengerikan itu.“Ma—maaf, Mas. Aku bukan bermaksud begitu.” Wanita itu langsung tergagap.Namun, Bahtiar yang memahami perasaan Isti tak lantas marah ataupun memaki. Ia justru segera merentangkan lengan dan meraih pundak Isti. Ditariknya tubuh itu agar merapat dan kepalanya mendarat.“Aku tahu. Aku percaya calon istriku tak mungkin sejahat itu. Aku juga tahu kau hanya sedang takut. Kau takut kehilanganku.”Perkataan Bahtiar memang terkesan sangat percaya diri. Tetapi, Isti
"Mas, kamu lagi dimana?""Ini lagi makan siang sama temen-temen."Arisa mengelus dada yang mendadak ngilu, setelah mengetahui kebohongan calon suaminya, Bahtiar.Di ujung sana, di dalam sebuah resto tak jauh dari gedung kantor tempat Bahtiar bekerja, lelaki itu tengah menikmati santap siang dengan seorang gadis cantik yang sebelumnya Arisa sebut teman.Tiga tahun bekerja di tempat yang sama. Melakukan berbagai aktifitas bersama, membuat Arisa berpikir telah mengenal Melia. Nyatanya, setelah Arisa memutuskan resign mengikuti peraturan perusahaan, ia justru mendapati sang calon suami tengah menjalin kedekatan dengan mantan rekan satu timnya."Ya sudah, lanjutkan saja. Aku gak mau ganggu." Arisa mengakhiri panggilan tanpa menunggu Bahtiar memberi jawaban.Arisa membalik badan, pergi meninggalkan bangunan resto sembari menahan nyeri yang serta merta menggerogoti.Andai saja Bahtiar mau berkata jujur bahwa dirinya tengah berdua dengan Melia, tentu Arisa pun tak lantas menaruh curiga. Bukan
Kegagapan Bahtiar kian menguatkan keyakinan Arisa bahwa apa yang ia sangkakan memang benar adanya. Muak melihat reaksi yang ditunjukkan kekasihnya tersebut, Arisa pun memilih berlalu meninggalkan Bahtiar yang masih setia dalam keterpakuan.Ia tak peduli apapun tanggapan lelaki itu atas sikapnya. Yang Arisa pikir, ia hanya ingin pergi saat itu juga. Pergi dari hadapan pria yang ia kira tak pernah sungguh-sungguh mempersembahkan cinta padanya.Detik waktu menyadarkan Bahtiar kalau saat ini Arisa telah enyah dari hadapan. Secuil pun ia tak pernah sangka kalau Arisa akan melayangkan pertanyaan yang menyatakan bahwa wanita itu mengetahui sesuatu yang belakangan ia sembunyikan.Buru-buru Bahtiar mengemudikan kendaraan miliknya, bermaksud mengejar Arisa yang pergi tak tahu arah tujuan.Sepanjang perputaran roda, berulang kali Bahtiar memukul kemudi. Merasa frustasi sebab jejak Arisa yang tak kunjung ia temui. Satu harapan terakhir Bahtiar, yakni menghubungi Linda."Hallo, Tiar," sambut suara
Suara keributan dari luar mengusik kenyamanan ibunda Arisa yang baru saja hendak beristirahat. Sebelumnya, setelah dibuat cemas oleh Bahtiar yang mempertanyakan putrinya, Linda kembali bisa bernapas lega. Sebab tak lama sesudah itu Yanu mengabari kalau Arisa berada di kediamannya.Langkah Linda terhenti kala mendapati sang putri bersandar pada daun pintu yang tertutup rapat. Sedangkan bunyi gedoran terdengar gaduh disertai teriakan Bahtiar yang memanggil-manggil nama Arisa.“Ada apa, Nak?” tanya Linda, menjatuhkan lutut di hadapan Arisa yang semula tampak tertunduk.Wajah sendu itu mendongak menatap sang bunda. Genangan di pelupuk mata, pertanda bahwa ada hal yang telah membuat sang belahan jiwa terluka.“Mama.” Seucap itu Arisa mampu bersuara.Batinnya perih teriris mendapati sang kekasih membawa serta penyebab prahara. Sungguh Arisa enggan sekali menyaksikan kehadiran mereka bersama dengan kedua bola mata. Andai Bahtiar tahu, bahwa menghadirkan Melia tak ubahnya menggerus kalbu yang
“Mau bikin kopi?”Bahtiar menoleh dan mendapati Melia sudah berdiri di sebelahnya yang hendak menyeduh kopi di dalam pantry. “Iya, nih, agak ngantuk. Semalam video call- an sama Risa sampe larut.”“Oh ….” Melia mengangguk-angguk paham. “Ya udah, sini aku buatin.” Ia lantas merebut kopi kemasan dari tangan Bahtiar.“Serius?” tanya Bahtiar, sedikit tak enak hati.“Serius lah. Kopi doang, kecil ini sih. Lagian aku kasihan sama kamu. Sejak Risa resign, kamu jadi apa-apa sendiri.”“Yah … gak apa-apa lah. Lagian abis ini dia bakal layanin aku sepenuhnya kalau lagi di rumah.” Melia melirik, melihat ekspresi Bahtiar yang tampak bahagia. “Loh, emang Risa gak nyari kerja lagi?”“Ya, enggak lah. Buat apa? Kan nanti ada aku yang nafkahin dia. Dia cukup di rumah, ngurus aku sama anak-anak kami nanti.” Setiap kata yang keluar dari mulut Bahtiar terdengar sangat menyenangkan. Bahkan ia juga tampak seperti sedang membayangkan kebahagiaan sempurna itu bersama Arisa.“Beruntung sekali ya, Arisa. Punya
“Terus gimana?” Yanu menelengkan kepala, bersiap mendengar jawaban Arisa yang sejak tadi tampak lahap menikmati setiap potong pizza yang yang dipenuhi lelehan mozarella.“Ya gitu deh. Aku kira si Papa kena serangan jantung, ternyata kancing kemejanya lepas. Huh ….” Arisa mengusap dahi seraya membuang napas. “Langsung aja deh aku bilang, Mas Tiar kayaknya lagi ngigau. Biasanya kalau orang sakit emang kadang ngigau gitu kan?”Setelah beberapa hari lalu memilih bungkam, hari ini Arisa sudah tak keberatan bercerita panjang lebar. Dia memberitahu Yanu hal apa yang menyebabkan keretakan hubungannya dengan Bahtiar. Tak sampai di situ, Arisa juga memaparkan kejadian beberapa jam lalu di rumah Bahtiar.“Sayang aku gak lihat langsung. Kalau lihat, pasti aku ketawa ngakak,” balas Yanu, terkekeh geli.“Boro-boro pengen ketawa, Kak. Yang ada aku deg-degan setengah mati. Untungnya si Papa percaya.”“Oh ya, Bahtiar sendiri gimana? Dia sakit beneran atau cuma cari perhatian?”Arisa menaikan kedua bah
Lembaran kertas bermotif dengan dominasi warna marun, diusap dengan lembut penuh penghayatan. Goresan tinta perak bertuliskan nama dua insan yang memiliki niat suci itu pun menjadi fokus utama dalam sudut pandang Arisa. Ada getar harus menelusup hingga ke dasar kalbu. Di mana bayangan indah kala merangkai rencana bahagia itu terukir di pelupuk mata. Suka duka yang dilalui tak mungkin mudah terhapus begitu saja. Meski luka itu nyatanya telah sukses mencabik rasa percaya yang tercurah terhadap pria yang ia kira akan setia melambungkan segala asa bersama.Kilat bening yang berasal dari genangan cairan asin itu terpancar kala ingatannya terhempas pada kenyataan yang terpaksa harus ia telan. Sebesar apapun rasa cinta yang pernah keduanya agung-agungkan, tetap tak mampu menutupi cela yang terlanjur menganga.“Mama tahu Risa masih cinta sama Bahtiar. Tapi, Mama juga tahu kalau Risa juga membenci Bahtiar dalam waktu bersamaan. Mama mungkin gak tahu bagaimana rasanya dikhianati, tapi Mama san