Ayuni merapatkan bibirnya, seketika itu ia merasakan dadanya terasa sakit melihat Jodi bersama seorang perempuan cantik.
"Sayang, ayo Ibu antar saja ke sekolah! Om Jodi sepertinya sedang sibuk," ajak Ayuni kepada Yasmin.
Yasmin yang melihat Jodi pun tahu jika ibunya merasa tidak nyaman, "Kenapa Bu? Apa karena orang yang bersama Om Jodi itu," tanya Yasmin.
Ayuni tidak menjawab, ia berjalan dan menarik lengan putrinya itu agar segera mengikutinya. Dia tidak ingin Jodi melihat keberadaan mereka dan tahu jika mereka tengah menunggunya tadi. Yasmin pun mengikuti langkah ibunya.
Saat mereka baru saja berjalan beberpa menit, mobil Jodi melintas melewati mereka begitu saja. Ayuni merasa ingin menangis, ia berpikir tidak mungkin Jodi tidak melihat mereka yang sedang berjalan.
"Siapa tante yang cantik tadi? Tumben Om Jodi tidak berhenti dan mengajak ke dalam mobilnya," celoteh Yasmin.
"Mungkin tadi itu pacarnya," sahut Ayuni, tanpa sadar. Yasmin menat
Ayuni menatap kosong ke arah jalan yang baru di lalaui ayah kandungnya. Entah mengapa dia merasakan ada sesuatu yang masih mengganjal, ia merasa Bram masih seperti ingin mengatakan sesuatu padanya, begitu juga dengan Ayuni. Seperti biasa Ayuni selalu tidak bisa mengungkap apa yang ada dalam hatinya dan memendamnya.Ayuni ingin mengatakan kepada Bram, bahwa ia tidak perlu merasa bersalah atas apa yang sudah terjadi. Ia bisa menerima semua yang terjadi dalam hidupnya dengan lapang dada."Ayuni, sedang apa di sana?" tanya ibunya, yang membuyarkan lamunannya."Tidak apa-apa Bu," jawab Ayuni, ia lalu menghampiri ibunya. Ayuni kembali melanjutkan memberesekan pekerjaan rumah, ia memgambil sapu dan mulai menyapu lantai rumahnya. Saat itu ia teringat kembali dengan Jodi, bayangan wanita cantik yang menggelayut manja di lengan lelaki yang dicintainya itu kembali mengusik hatinya.Siapa wanita itu? Ada hubungan apa di antara mereka? Mengapa
Dua jam berselang Jodi masih menunggu balasan Ayuni, tetapi Ayuni belum juga membalasnya. Padahal pesan itu sudah terkirim dan terbaca Ayuni. "Kenapa sih dari tadi kamu terus melihat ponselmu?" tanya Gisel, di samping Jodi yang sedang mengemudi. "Tidak apa-apa," jawab Jodi. Gisel tahu Jodi tengah berbohong padanya. Ia tahu betul jika Jodi sedang menunggu pesan dari Ayuni. Melihat reaksi Jodi, Gisel menyunggingkan senyum, itu berarti ucapannya tadi siang kepada Ayuni berhasil sesuai harapannya. Setelah beberapa jam, mereka tiba di apartemen Gisel. Setelah sebelumnya mereka menemui seseorang selama setengah jam di sebuah restoran. "Sudah sampai," ucap Jodi. "Kau tidak akan tidur denganku malam ini?" Gisel masih berusaha menggoda Jodi. "Jangan mulai, cepatlah turun! Aku lelah ingin cepat sampai rumah dan tidur," balas Jodi dengan malas. "Hmm ... baiklah." Gisel menajawab dengan kecewa dan memasang wajah merajuk.
Satu jam sebelumnya. Gisel melihat sekelompok orang mendobrak pintu kamar, ada sekitar empat orang laki-laki di depan pintu itu. Gisel menampakan wajah ketakutannya, ia mengira itu adalah anak buah Jefri yang hendak berbuat sesuatu padanya. "Mau apa kalian? Jangan mendekat!" Gisel mengedarkan pandangan mencari-cari sesuatu di dekatnya sebagai pertahanan diri. "Tenanglah, kau aman sekarang!" ucap salah satu di antara laki-laki berbadan tegap itu. "A-apa maksudnya?" tanya Gisel, masih tampak bingung. "Kami anak buah Tuan Jodi," jawab orang itu. "Bagaimana dia bisa tahu, aku dibawa Jefri?" Gisel bertanya untuk lebih meyakinkannya. "Itu biar Tuan Jodi sendiri yang menjelaskan. Sekarang mari ikut kami!" Rupanya tadi pagi Jodi mendapat telepon dari orang yang ditemuinya di restoran tadi malam bersama Gisel yang bernama Rio, kepercayaan Jefri. Setelah bertemu Jodi dan Gisel, sekelompok orang menghadang dan
Suasana rapat menjadi mencekam, dunia seolah terhenti untuk beberapa detik. Semua orang tergemap, mereka bingung harus berbuat apa. Tidak ada seorang pun yang berani bersuara apalagi menolong kedua orang yang terkapar di lantai itu. Antara ambisi dan murka sudah menguasai Jefri. "LETAKKAN SENJATAMU DAN ANGKAT TANGAN!" Sebuah suara menyentak mereka, beberapa polisi datang dengan todongan pistol ke arah Jefri. Bukannya menuruti perintah polisi, justru Jefri menantang mereka. Dia kini mengarahkan pistol itu ke hadapan para polisi itu, tanpa terlihat gentar sedikit pun. "Sukanya keroyokkan," ejek Jefri, dengan senyum simpul tetapi matanya tetap waspada. DORRR ... Satu tembakan, melumpuhkan Jefri tanpa aba-aba. Jefri ambruk tetapi masih sadarkan diri, dengan sigap polisi menyergap Jefri setelah berhasil dilumpuhkan pada bagian kakinya. Polisi terpaksa melakukan itu, karena dia menantang polisi dan bisa membahayakan lebih banyak orang lagi.
"Dua bulan yang lalu, dia meninggal."Dua kata terakhir yang mampu mengguncang Ayuni. Wanita itu membelalakkan mata, lambat laun matanya menghangat dengan genangan yang mulai membasahi bola matanya.Dadanya berdegup tak beraturan, dan kakinya lemas seketika, dia terduduk di lantai. Benarkah yang dikatakan perawat itu?"Ayuni, kau tidak apa-apa?" tanya perawat itu sambil memegang bahu Ayuni."Itu pasti hanya kabar bohong," ucap Ayuni dengan lirih. Masih tidak mempercayai ucapan perawat."Aku hanya mendengar sekilas dan tidak ada pernyataan resmi juga. Tapi dengan datangnya dokter baru yang menggantikannya, aku rasa kabar itu benar. Duduklah di kursi! Aku akan membawa minum untukmu," ujar perawat."Tidak ... Aku harus mencari tahu sendiri, bisakah kau tolong aku!" pinta Ayuni."Apa itu?""Aku minta alamat rumah Dokter Jodi di kota!" ucap Ayuni. Iya, dia harus memastikannya langsung."Tapi, ayo kau
Ayuni masih terisak ketika berada di dalam bus yang akan mengantarnya kembali ke desa. Saat itu sudah menjelang petang, suasana gemericik hujan di luar semakin menambah sendu perasaannya. Kembali terbayang wajah Jodi, ketika pertama kali mereka bertemu dengan wajah arogannya, wajah usil yang tengah menggodanya dan wajah dengan ukir senyum yang mampu mengahangatkan hatinya. Mengapa secepat itu dia pergi menghadap penciptanya? Ayuni berusaha memejamkan matanya untuk mengusir bayangan Jodi, akan tetapi semakin ia terpejam kenangan-kenangan saat bersama Jodi semakin terbayang memenuhi kepalanya. Keesokan paginya. Yasmin membangunkan Ayuni dengan mengguncang-guncang tubuhnya, "Ibu, sampai kapan mau tidur, apa kau tidak akan pergi bekerja hari ini? aku lapar belum ada sarapan di meja," bisiknya di telinga sang ibu. Ayuni sudah terbangun sebelum Yasmin membangunkannya, dia hanya memejamkan mata. Kepalanya terasa sakit, semalaman dia tidak bisa
Bramantyo meninggal! Inikah maksud dari ucapannya yang mengatakan tidak akan menggangu Ayuni lagi? Ayuni benar-benar lemas, harus seperti ini jalan takdir yang dilaluinya. Baru saja dia menerima kenyataan pahit, kabar buruk lain sudah datang menghampiri. "Pak Bram," lirih Ayuni. Dia bahkan belum sempat memanggilnya ayah atau papa, tapi laki-laki itu sudah pergi meninggalkannya. Bu Ratih yang mendengar itu tampak heran, Penyakit alzheimer yang dideritanya membuat dia sedang tidak mengingat Bram. Tania lalu membuka tasnya dan menyerahkan surat yang ditulis oleh Bram, sebelum dia meninggal. "Ini surat yang dia tulis untukmu," ucap Tania. Ayuni menerima surat itu dan memandang dengan sendu surat yang beramplop putih itu. "Aku baru tiga kali saja bertemu dengannya, saat terakhir kali bertemu sebenarnya begitu banyak yang ingin aku ceritakan padanya. Mengapa dia datang jika akhirnya harus pergi lagi?" li
"Ibuu ... aku pulaang!" seru Yasmin saat tiba di rumahnya sepulang skolah. Dia melihat ke sekelilingnya yang nampak sepi, ketika masuk pun tidak tampak ibu dan neneknya di ruang tengah. "Bu, Nenek," panggilnya. Dia menengok ke kamar ibunya, ia merasa lega ketika ibunya itu sedang terbaring di tempat tidur dengan terlelep. Karena terlihat begitu pulas, gadis kecil itu mengurungkan niatnya untuk membangunkan Ayuni. Yasmin pun mencari Bu Ratih setelah mengetahui neneknya itu tidak ada di kamarnya. Dia mencoba mencari ke belakang rumah, siapa tahu neneknya itu sedang menyiram tanaman-tanaman di sana. Namun, dia tidak menemukan neneknya itu. "Haah ... pasti nenek kabur dan kelayapan lagi," ucap Yasmin, dengan menghela napas. Itu memang sering terjadi, akan tetapi dia selalu pulang dengan diantarkan oleh para tetangga yang mengetahui jika Bu Ratih mempunyai alzheimer dan memang sudah tua. Yasmin memutuskan membangunkan Ayuni untuk mencar