Share

10. Pembelaan untuk Mentari

Sementara itu, Mentari menggerakkan lehernya menatap sekeliling dengan pandangan heran.

"Kamu ngerasa mereka dari tadi natap aku nggak sih, Rum?" Mentari membelokkan kepalanya ke samping dan berbisik lirih tepat di daun telinga Arumi.

Arumi mengurungkan niatnya yang semula ingin menyuapkan mie ayam kedalam mulutnya. Arumi ikut mengamati sekitar dan benar saja.

Semua pasang mata penghuni kantin terfokus pada Mentari. Mereka juga bisik-bisik dengan pandangan julid untuk Mentari.

Arumi menatap tak suka semua itu.

Trang..

Arumi menjatuhkan sendok dengan kasar ke dalam mangkok mie ayamnya hingga menimbulkan bunyi yang cukup nyaring.

Matanya menajam menatap semua penghuni kantin yang rata-rata diisi oleh perempuan.

"Kenapa pada natapin kita? Ada yang mau disampaiin silahkan! Jangan cuma berani bisik-bisik di belakang doang! Kalau berani ngomong langsung ke orangnya!" Suara Arumi menggema di dalam kantin yang mendadak sunyi.

Mentari menggenggam tangan Arumi. "Udah, Rum. Jangan gitu! Siapa tau aja mereka nggak lagi ghibahin aku ataupun kamu."

Arumi mendesah kasar, entah terbuat dari apa hati sahabatnya ini hingga bisa sebaik ini.

"Jadi orang nggak boleh terlalu baik, Tar. Kalau kita baik malah terlihat lemah dan diinjak-injak sama orang lain," kesal Arumi.

"Itu temen lo aman nggak, Rum? Siapa tau aja dia udah nggak ting-ting lagi?" ujar seorang mahasiswi yang tak jauh dari tempat duduk Arumi dan Mentari.

"Bener tuh, siapa tau aja kantong Doraemon dia udah berisi?" tambah yang lain.

"Dari interaksi dia sama Gala tadi pagi udah kayak orang suami istri aja. Kalau emang mereka udah nikah pasti ada yang nggak beres, ya nggak temen-temen?"

"IYAAA."

Semua orang di dalam kantin kompak menjawab dengan lantang.

Mentari menunduk dalam dengan mata berkaca-kaca dan dada terasa sesak luar biasa. Kedua tangan Mentari saling meremas menyalurkan rasa sesak yang luar biasa.

Serendah itukah orang-orang memandang dirinya?

Sungguh Mentari tak habis pikir. Setelah kebaikan yang selama ini ia tebar, malah tidak ada harganya di hadapan orang lain.

Haruskah Mentari berubah menjadi orang jahat yang tidak memikirkan orang lain lagi? Haruskah Mentari bangkit dan membalas mereka semua?

Diam-diam Fania tersenyum picik dari tempatnya.

'Nikmati kehancuran lo Mentari. Akhirnya tanpa bersusah payah mengotori tangan gue sendiri nama lo udah jelek di mata semua orang dengan sendirinya,' gumam Fania dalam hati.

Brak

"Asu!" Seisi kantin dibuat mengumpat berjamaah saat Arumi menggebrak meja dengan keras.

Arumi mengabaikan rasa perih di telapak tangannya setelah menggebrak meja tadi. Mata gadis itu memerah dengan nafas memburu.

"ATAS DASAR APA KALIAN SEMUA PUNYA PIKIRAN SEBURUK ITU SAMA MENTARI, HAH? APA PERNAH KALIAN LIAT DIA BERPERILAKU NGGAK BAIK SELAMA DI KAMPUS INI?"

Suara teriakan Arumi menggelegar di setiap sudut kantin. Tatapan nyalang gadis itu sudah cukup menggambarkan betapa marahnya Arumi saat ini.

"Nggak harus keluar urat gitu juga dong! Kita 'kan cuma nebak, kalau lo semarah ini berarti bener dong ada yang nggak beres? Apa jangan-jangan sahabat lo yang sok polos itu hamidun?"

"Trus gue harus diem aja saat sahabat gue kalian fitnah yang enggak-enggak, gitu?" Arumi memelankan nada suaranya penuh penekanan.

"Kalau emang apa yang kita bilang nggak bener, lo bisa kasih tau kita hubungan Galaksi dan Mentari yang sebenarnya?" tantang Nindi salah satu mahasiswi kedokteran sama seperti Mentari dan Arumi.

"Gue rasa kalian nggak ada hak buat ikut campur ataupun tau masalah pribadi orang lain." Arumi memandang ketus Nindi si julid biangnya gosip.

"Kalau lo nggak bisa jelasin berarti tebakan mereka bener, dong? Ataupun mungkin apa yang dia alami lebih parah dari mereka bayangkan, ups."

Fania menutup mulutnya pura-pura keceplosan.

Bisik-bisik mulai terdengar kembali. Pandangan semua orang tentang Mentari semakin buruk karena kali ini Fania yang bicara.

Semua orang di kampus ini juga tau kalau Fania dan Mentari adalah saudara tiri.

"Parah sih, keliatannya doang yang sok baik tapi aslinya liar."

Tes

Air mata Mentari lolos begitu saja saking tak tahannya mendengar hinaan bertubi-tubi yang dilayangkan untuk dirinya.

Tak cukup sampai disitu semua orang juga menyoraki dirinya sebagai wanita munafik, liar bahkan jalang.

Sungguh rasanya Mentari sudah sangat tidak tahan dengan semua yang ia alami. Arumi pun tak mampu mengatasi masalah ini, dirinya hanya sendiri melawan puluhan orang yang menghujat Mentari.

"U-udah, Rum! Jangan ladenin mereka lagi! Aku baik-baik aja."

Setelah mengatakan itu Mentari berlari keluar dari kantin. Bahkan bakso yang dipesan belum Mentari sentuh sama sekali.

Mentari terus berlari hingga berpapasan dengan dua orang pria tepat di depan pintu Kantin.

"Sayang, kamu mau keman---"

Gala menghentikan kalimatnya karena Mentari sama sekali tidak melirik dirinya dan juga Alzi.

Istrinya itu terus berlari dengan kepala tertunduk.

"Itu bini lo kenapa, Gal? Kayaknya dia lagi nangis deh," tanya Alzi sekaligus menebak.

"Perasaan gue nggak enak, Zi."

Setelah mengatakan itu tanpa menunggu Alzi, Gala berjalan memasuki kantin dengan langkah lebarnya. Didapatinya Arumi yang tengah marah-marah dan berdebat dengan semua pengunjung Kantin.

"Ada apa ini, Rum? Kenapa Mentari nangis?" tanya Gala tanpa basa basi.

"Mereka." Arumi menunjuk semua orang yang tadinya memojokkan Mentari. "mereka hujat mentari habis-habisan, Gal. Mereka berpikir yang enggak-enggak tentang hubungan kalian," lanjutnya dengan dada naik turun.

"Dan dia." kali ini Arumi menunjuk Fania yang malah terlihat santai di tempatnya. "Dia malah nyebar rumor yang enggak-enggak dan semakin nambah luka Mentari semakin lebar lagi," adu Arumi kepada Gala.

Gala mengepalkan tangannya kuat-kuat. Lagi dan lagi istrinya harus menerima luka dari orang yang sama.

"Woi jebolan pasien rumah sakit jiwa!" Panggilan itu Alzi berikan untuk Fania yang kini sudah melotot ditempatnya.

"Kenapa Kak Alzi manggil aku kayak gitu sih?" protes Fania dengan suara dilembut-lembutkan.

Hal itu berhasil membuat Arumi melongos kesal. Bisa-bisanya si rubah itu malah melembutkan suara kepada pacarnya.

"Kenapa? Emang lo itu sinting 'kan?" sembur Alzi memasang tampang Julid nya.

"Aku nggak gila, Kak Alzi. Harusnya Kak Alzi jadi pacar aku, bukan pacar si buluk itu." Fania menunjuk Arumi.

"Mau matahari terbit di barat sekalipun gue nggak bakal pernah sudi jadiin lo pacar. Kalau jadiin lo babu gue baru mau," balas Alzi santai tanpa beban tapi berhasil membuat semua orang terbahak.

Fania menggerutu kesal. Ia sudah menargetkan Alzi yang keturunan konglomerat dari masuk kuliah, tapi ternyata Alzi sudah punya Arumi sejak SMA.

Dan khayalan Fania untuk menjadi pacar Alzi harus ia telan mentah-mentah.

"Kenapa, Fania? Masih belum cukup lo fitnah Menteri sampai bikin dia diusir dari rumah milik dia sendiri?" tanya Gala didepan semua orang.

Gala harus menggunakan otaknya untuk berhadapan dengan perempuan sejenis Fania ini.

"Dia diusir karena kesalahan dia sendiri. Siapa suruh mesum di rumah?" Fania melipat kedua tangannya di dada melirik angkuh Gala yang masih mencoba santai meskipun rasanya ia ingin menendang Fania saat ini juga.

"Siapa yang lo kira mesum? Gue sama Mentari cuma jatoh karena gue nggak sengaja nginjek botol, tapi lo bikin drama seolah-olah gue sama Mentari ngelakuin hal tak senonoh. Gue liat Lo sama ibu lo itu bahagia banget pas ayah sialan lo itu ngusir Mentari.

Gue nikahin Mentari hari itu juga karena gue nggak mau biarin gadis sebaik Menteri harus tinggal sendirian. Bahkan sampai detik ini pun gue belum sentuh Mentari sama sekali, tapi lo dengan nggak punya hatinya malah nyingkirin Mentari dari rumahnya sendiri."

Bisik-bisik kembali terdengar saat Gala menyelesaikan kalimatnya.

"Ya ampun jadi gitu ceritanya."

"Kasian banget ya Mentari harus punya ibu tiri jahat sama adek tiri yang nggak tau diri."

"Menurut gue sih ayahnya Mentari yang lebih bodoh. Mau-maunya ngusiri anak sendiri dan merawat anak nggak ada akhlak kayak Fania."

"Kak Gala baik banget mau nikahin Mentari meskipun hanya Karena salah paham."

Fania memejamkan matanya saat serangan berbalik kepadanya. Sekarang dirinya yang menjadi hujatan dan Mentari terbebas.

Menghentakkan kakinya dengan marah, Fania keluar dari Kantin.

"Awal lo Mentari! Gue bakal bales ini hari ini juga. Lo nggak bakal pernah tenang selagi ada gue."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status