Sementara itu, Mentari menggerakkan lehernya menatap sekeliling dengan pandangan heran.
"Kamu ngerasa mereka dari tadi natap aku nggak sih, Rum?" Mentari membelokkan kepalanya ke samping dan berbisik lirih tepat di daun telinga Arumi.Arumi mengurungkan niatnya yang semula ingin menyuapkan mie ayam kedalam mulutnya. Arumi ikut mengamati sekitar dan benar saja.Semua pasang mata penghuni kantin terfokus pada Mentari. Mereka juga bisik-bisik dengan pandangan julid untuk Mentari.Arumi menatap tak suka semua itu.Trang..Arumi menjatuhkan sendok dengan kasar ke dalam mangkok mie ayamnya hingga menimbulkan bunyi yang cukup nyaring.Matanya menajam menatap semua penghuni kantin yang rata-rata diisi oleh perempuan."Kenapa pada natapin kita? Ada yang mau disampaiin silahkan! Jangan cuma berani bisik-bisik di belakang doang! Kalau berani ngomong langsung ke orangnya!" Suara Arumi menggema di dalam kantin yang mendadak sunyi.Mentari menggenggam tangan Arumi. "Udah, Rum. Jangan gitu! Siapa tau aja mereka nggak lagi ghibahin aku ataupun kamu."Arumi mendesah kasar, entah terbuat dari apa hati sahabatnya ini hingga bisa sebaik ini."Jadi orang nggak boleh terlalu baik, Tar. Kalau kita baik malah terlihat lemah dan diinjak-injak sama orang lain," kesal Arumi."Itu temen lo aman nggak, Rum? Siapa tau aja dia udah nggak ting-ting lagi?" ujar seorang mahasiswi yang tak jauh dari tempat duduk Arumi dan Mentari."Bener tuh, siapa tau aja kantong Doraemon dia udah berisi?" tambah yang lain."Dari interaksi dia sama Gala tadi pagi udah kayak orang suami istri aja. Kalau emang mereka udah nikah pasti ada yang nggak beres, ya nggak temen-temen?""IYAAA."Semua orang di dalam kantin kompak menjawab dengan lantang.Mentari menunduk dalam dengan mata berkaca-kaca dan dada terasa sesak luar biasa. Kedua tangan Mentari saling meremas menyalurkan rasa sesak yang luar biasa.Serendah itukah orang-orang memandang dirinya?Sungguh Mentari tak habis pikir. Setelah kebaikan yang selama ini ia tebar, malah tidak ada harganya di hadapan orang lain.Haruskah Mentari berubah menjadi orang jahat yang tidak memikirkan orang lain lagi? Haruskah Mentari bangkit dan membalas mereka semua?Diam-diam Fania tersenyum picik dari tempatnya.'Nikmati kehancuran lo Mentari. Akhirnya tanpa bersusah payah mengotori tangan gue sendiri nama lo udah jelek di mata semua orang dengan sendirinya,' gumam Fania dalam hati.Brak"Asu!" Seisi kantin dibuat mengumpat berjamaah saat Arumi menggebrak meja dengan keras.Arumi mengabaikan rasa perih di telapak tangannya setelah menggebrak meja tadi. Mata gadis itu memerah dengan nafas memburu."ATAS DASAR APA KALIAN SEMUA PUNYA PIKIRAN SEBURUK ITU SAMA MENTARI, HAH? APA PERNAH KALIAN LIAT DIA BERPERILAKU NGGAK BAIK SELAMA DI KAMPUS INI?"Suara teriakan Arumi menggelegar di setiap sudut kantin. Tatapan nyalang gadis itu sudah cukup menggambarkan betapa marahnya Arumi saat ini."Nggak harus keluar urat gitu juga dong! Kita 'kan cuma nebak, kalau lo semarah ini berarti bener dong ada yang nggak beres? Apa jangan-jangan sahabat lo yang sok polos itu hamidun?""Trus gue harus diem aja saat sahabat gue kalian fitnah yang enggak-enggak, gitu?" Arumi memelankan nada suaranya penuh penekanan."Kalau emang apa yang kita bilang nggak bener, lo bisa kasih tau kita hubungan Galaksi dan Mentari yang sebenarnya?" tantang Nindi salah satu mahasiswi kedokteran sama seperti Mentari dan Arumi."Gue rasa kalian nggak ada hak buat ikut campur ataupun tau masalah pribadi orang lain." Arumi memandang ketus Nindi si julid biangnya gosip."Kalau lo nggak bisa jelasin berarti tebakan mereka bener, dong? Ataupun mungkin apa yang dia alami lebih parah dari mereka bayangkan, ups."Fania menutup mulutnya pura-pura keceplosan.Bisik-bisik mulai terdengar kembali. Pandangan semua orang tentang Mentari semakin buruk karena kali ini Fania yang bicara.Semua orang di kampus ini juga tau kalau Fania dan Mentari adalah saudara tiri."Parah sih, keliatannya doang yang sok baik tapi aslinya liar."TesAir mata Mentari lolos begitu saja saking tak tahannya mendengar hinaan bertubi-tubi yang dilayangkan untuk dirinya.Tak cukup sampai disitu semua orang juga menyoraki dirinya sebagai wanita munafik, liar bahkan jalang.Sungguh rasanya Mentari sudah sangat tidak tahan dengan semua yang ia alami. Arumi pun tak mampu mengatasi masalah ini, dirinya hanya sendiri melawan puluhan orang yang menghujat Mentari."U-udah, Rum! Jangan ladenin mereka lagi! Aku baik-baik aja."Setelah mengatakan itu Mentari berlari keluar dari kantin. Bahkan bakso yang dipesan belum Mentari sentuh sama sekali.Mentari terus berlari hingga berpapasan dengan dua orang pria tepat di depan pintu Kantin."Sayang, kamu mau keman---"Gala menghentikan kalimatnya karena Mentari sama sekali tidak melirik dirinya dan juga Alzi.Istrinya itu terus berlari dengan kepala tertunduk."Itu bini lo kenapa, Gal? Kayaknya dia lagi nangis deh," tanya Alzi sekaligus menebak."Perasaan gue nggak enak, Zi."Setelah mengatakan itu tanpa menunggu Alzi, Gala berjalan memasuki kantin dengan langkah lebarnya. Didapatinya Arumi yang tengah marah-marah dan berdebat dengan semua pengunjung Kantin."Ada apa ini, Rum? Kenapa Mentari nangis?" tanya Gala tanpa basa basi."Mereka." Arumi menunjuk semua orang yang tadinya memojokkan Mentari. "mereka hujat mentari habis-habisan, Gal. Mereka berpikir yang enggak-enggak tentang hubungan kalian," lanjutnya dengan dada naik turun."Dan dia." kali ini Arumi menunjuk Fania yang malah terlihat santai di tempatnya. "Dia malah nyebar rumor yang enggak-enggak dan semakin nambah luka Mentari semakin lebar lagi," adu Arumi kepada Gala.Gala mengepalkan tangannya kuat-kuat. Lagi dan lagi istrinya harus menerima luka dari orang yang sama."Woi jebolan pasien rumah sakit jiwa!" Panggilan itu Alzi berikan untuk Fania yang kini sudah melotot ditempatnya."Kenapa Kak Alzi manggil aku kayak gitu sih?" protes Fania dengan suara dilembut-lembutkan.Hal itu berhasil membuat Arumi melongos kesal. Bisa-bisanya si rubah itu malah melembutkan suara kepada pacarnya."Kenapa? Emang lo itu sinting 'kan?" sembur Alzi memasang tampang Julid nya."Aku nggak gila, Kak Alzi. Harusnya Kak Alzi jadi pacar aku, bukan pacar si buluk itu." Fania menunjuk Arumi."Mau matahari terbit di barat sekalipun gue nggak bakal pernah sudi jadiin lo pacar. Kalau jadiin lo babu gue baru mau," balas Alzi santai tanpa beban tapi berhasil membuat semua orang terbahak.Fania menggerutu kesal. Ia sudah menargetkan Alzi yang keturunan konglomerat dari masuk kuliah, tapi ternyata Alzi sudah punya Arumi sejak SMA.Dan khayalan Fania untuk menjadi pacar Alzi harus ia telan mentah-mentah."Kenapa, Fania? Masih belum cukup lo fitnah Menteri sampai bikin dia diusir dari rumah milik dia sendiri?" tanya Gala didepan semua orang.Gala harus menggunakan otaknya untuk berhadapan dengan perempuan sejenis Fania ini."Dia diusir karena kesalahan dia sendiri. Siapa suruh mesum di rumah?" Fania melipat kedua tangannya di dada melirik angkuh Gala yang masih mencoba santai meskipun rasanya ia ingin menendang Fania saat ini juga."Siapa yang lo kira mesum? Gue sama Mentari cuma jatoh karena gue nggak sengaja nginjek botol, tapi lo bikin drama seolah-olah gue sama Mentari ngelakuin hal tak senonoh. Gue liat Lo sama ibu lo itu bahagia banget pas ayah sialan lo itu ngusir Mentari.Gue nikahin Mentari hari itu juga karena gue nggak mau biarin gadis sebaik Menteri harus tinggal sendirian. Bahkan sampai detik ini pun gue belum sentuh Mentari sama sekali, tapi lo dengan nggak punya hatinya malah nyingkirin Mentari dari rumahnya sendiri."Bisik-bisik kembali terdengar saat Gala menyelesaikan kalimatnya."Ya ampun jadi gitu ceritanya.""Kasian banget ya Mentari harus punya ibu tiri jahat sama adek tiri yang nggak tau diri.""Menurut gue sih ayahnya Mentari yang lebih bodoh. Mau-maunya ngusiri anak sendiri dan merawat anak nggak ada akhlak kayak Fania.""Kak Gala baik banget mau nikahin Mentari meskipun hanya Karena salah paham."Fania memejamkan matanya saat serangan berbalik kepadanya. Sekarang dirinya yang menjadi hujatan dan Mentari terbebas.Menghentakkan kakinya dengan marah, Fania keluar dari Kantin."Awal lo Mentari! Gue bakal bales ini hari ini juga. Lo nggak bakal pernah tenang selagi ada gue."Tahun demi tahun telah berganti, kini kehidupan Galaksi dan Mentari telah banyak berubah.Kontrakan kecil mereka dulu kini sudah berubah menjadi rumah mewah yang di bangun dari hasil kerja keras Gala dan Mentari, Alzi juga sudah mekahi Arumi dan berhasil merebut kembali haknya dari Om Nino setelah ia lulus kuliah.Gala dan Alzi juga telah membangun sebuah rumah sakit mewah untuk istri mereka sesuai dengan cita-cita kedua perempuan itu yang ingin memiliki rumah sakit sendiri.Fakta mengejutkan juga terjadi, Bu Santi ternyata adalah ibu kandung Gala dan Tuan Surya si lintah darat ternyata ayah kandungnya. Saudara kembar Gala ternyata telah meninggal dunia setelah kejadian naas yang menimpa keluarganya kala itu, dan Tuan Surya kini sudah tobat dan berhenti menjadi rentenir.Gala sudah menerima orang tuanya, mereka terpisah bukan karena keinginan orang tuanya. Gala tidak membenci mereka karena ia tau mereka juga tersiksa karena mencari dirinya selama
Gala memandang nanar kaki kirinya yang terpasang gips, mendengar dari istrinya bahwa kaki kirinya retak membuat Gala syok berat. Mentari masih setia memeluk sang suami sambil menangis, Mentari tak kuasa melihat wajah sedih Gala saat pertama kali ia katakan bahwa kaki Gala retak dan butuh waktu selama empat bulan untuk menyembuhkannya. “Kak Gala nggak perlu mikirin apapun, cuma empat bulan, Kak. Abis itu kaki Kakak bakalan sembuh lagi.” Gala menatap istrinya begitu sendu. “Iya cuma empat bulan, tapi menjalang itu kita gimana? Gimana caranya Kakak bisa kerja dalam keadaan kaki di gips kayak gini?” Gala pusing membayangkan mereka akan makan apa kedepannya, dengan apa ia harus membayar uang kontrakan kalau dirinya tidak bekerja. Untungnya skripsi Gala telah selesai dan tinggal menunggu hari wisuda, harusnya Gala sudah langsung bekerja di salah satu perusahaan besar setelah mendapatkan ijazah. Tapi
“Keadaan pasien sudah baik-baik saja, operasinya berjalan lancar.” “Hufff ….” Mentari menghela nafas lega, pasokan udara yang mulanya seolah menghilang dari paru-parunya kini kembali terisi penuh dan Mentari sudah bisa bernafas dengan leluasa. Begitu pula dengan Alzi dan Arumi, keduanya juga nampak lega mendengar kabar baik dari Dokter yang baru saja selesai menangani operasi Gala. “Tapi saya juga membawa kabar buruk, kaki kiri pasien mengalami retak sehingga harus dipasangkan gips.” Deg Ucapan Dokter itu membuat Mentari kembali menegang, sebenarnya tak apa apapun yang terjadi pada Gala Mentari akan tetap menerima asalkan nyawa suaminya itu terselamatkan. Tapi Mentari memikirkan bagaimana nanti reaksi Gala saat mengetahui bahwa kakinya retak, Mentari sangat paham kalau tulang retak tidak akan bisa sembuh dalam waktu singkat. Paling cepat mungkin bisa mencapai waktu empat bulan, b
Duduk sendirian di atas lantai dingin rumah sakit dengan perasaan kalut luar biasa, itu yang Mentari rasakan saat ini. Di depan ruangan operasi yang lampunya sedang menyala pertanda bahwa operasi sedang berlangsung Mentari duduk seorang diri.Tangis perempuan berusia dua puluh satu tahun itu tidak reda sejak melihat langsung betapa menyedihkannya keadaan sang suami yang kini tengah berjuang antara hidup dan mati.Orang-orang yang berlalu lalang di koridor rumah sakit hanya bisa menatap iba Mentari, mata gadis itu sudah bengkak dan memerah tapi tangisnya belum berhenti.“Apa engkau juga akan mengambil suamiku setelah engkau renggut ibu ku, Tuhan? Aku harus dengan siapa kalau Kak Gala benar-benar pergi?”Mentari menjerit pilu, ia tak peduli akan semua orang yang tengah menatapnya. Yang Mentari inginkan sekarang hanyalah keselamatan Galaksi, suaminya.Dunia Mentari sekarang berpusat pada Gala, hanya demi Gala ia memilih tetap hidup di dunia
Dunia seakan runtuh tepat menimpa kepala Mentari saat ini, tubuhnya bergetar hebat dengan nafas terasa berat melihat pemandangan menyakitkan mata di depan sana.“K-kak Gala.” Bahkan untuk bicara sepatah kata saja suara Mentari langsung bergetar, bahkan hampir tak terdengar.“Maaf, Nak. Kamu kenal korban itu?”Kesadaran kembali mengambil alih tubuh Mentari.“Di ma-na korban motor Scoopy merah itu, Pak?” tanya Mentari terbata, jari telunjuknya terulur menunjuk motor Scoopy yang mentari yakini seratus persen adalah motor suaminya.“Ada seberang sana, Neng.” Bapak-bapak itu menunjuk halte bus di seberang jalan. “Keadaannya cukup parah, tapi masih beruntung dari pada korban lain yang langsung meninggal di tempat.”Mata Mentari tertuju ke halte bis yang ditunjukkan oleh warga itu, di sana Mentari dapat melihat ada beberapa orang yang tengah menjaga korban kecelakaan.“Bilang sama Tari, kalau itu bukan Kak Gala.” Mentari terus berceloteh di sepanjang larinya menuju seberang jalan.Karena kec
“Kak Gala kok nggak bisa dihubungi ya, Alzi juga nggak angkat telpon dari aku. Harusnya Kak Gala udah sampai di cafe.”Mentari meremas erat ponsel yang baru saja ia gunakan untuk menghubungi Gala dan Alzi, tapi ponsel keduanya yang sama-sama tidak bisa dihubungi membuat perasaan Mentari semakin cemas.Jika ponsel Gala tidak aktif, Alzi malah tidak menjawab panggilan darinya.“Kemana aja sih mereka?”Dalam rasa gelisah yang melanda, Mentari juga merasa kesal dalam waktu bersamaan.Sudah tiga puluh menit sejak Gala pergi, harusnya suaminya itu sudah sampai di cafe.“Kalau Kak Gala udah sampe kenapa dia nggak ngabarin aku?” Pertanyaan itu lolos dari bibir Mentari.Hati Mentari semakin tak tenang memikirkan keberadaan suaminya, kenapa disaat ia benar-benar butuh kabar seperti ini Gala malah tidak memberinya kabar.“Aku makin nggak tenang kalau gini caranya, aku harus susul Kak Gala sekarang juga.”Tanpa pikir panjang, Mentari langsung menyambar tas selempang kecil yang hanya muat satu han