"Kamu yakin kuat buat kuliah? Mending nggak masuk dulu yah, buat hari ini ... aja Kakak nggak mau kamu sakit lagi." Gala yang sudah rapi dengan kemeja putih dan celana jeans hitam yang ia pakai untuk berangkat ke kampus kembali menanyai istrinya yang saat ini tengah bersiap-siap.
Mentari menghentikan kegiatannya yang tengah menyusun peralatannya kedalam tas sejenak dan menatap Gala dengan senyuman di bibirnya."Aku kuat kok, Kak. Aku janji nggak akan kecapekan, boleh ya aku ikut ke kampus?"Gala hanya mampu menghembuskan napas kasar. Kalau sudah begini ia mana bisa menolak permintaan Mentari."Yaudah deh, tapi jangan sampai kamu terlalu cepek!" pasrah Gala disambut senyum lebar oleh Mentari.Mentari kembali menyiapkan keperluannya dan menatap cermin sesaat untuk memastikan penampilannya sudah benar-benar oke.Yang namanya perempuan walaupun tidak hobi berdandan sekalipun, tidak akan bisa lepas dari yang namanya cermin.Setiap kali bertemu cermin pasti bawaannya ingin ngaca terus.Percepat saja, kini sepasang suami istri itu sudah berada di kampus. Kedatangan Mentari langsung disambut gembira oleh Sahabatnya Arumi."Udah kuliah aja lo, udah sembuh emang?" tanya Arumi saat Mentari sudah berdiri di sampingnya."Alhamdulillah, Rum. Aku udah lebih baik dari kemarin. Aku nggak mau libur selagi aku masih kuat," jawab Menteri.'Aku nggak mau libur karena itu bisa aja mempengaruhi beasiswa aku, Rum,' sambung Mentari dalam hati.Mentari tidak ingin kehilangan beasiswa yang sudah susah payah ia dapatkan. Apa lagi sekarang kalau sampai beasiswa Mentari dicabut ia tidak akan bisa kuliah lagi karena tidak ada biaya."Ngapain masih pada berdiri disini? Ayo kita anter kalian dulu!"Mentari dan Arumi terlonjak kaget saat Alzi tiba-tiba datang seperti setan."Nggak usah dianterin juga keles. Kita bukan anak kecil yang harus kalian anterin." Arumi menatap Alzi malas karena menurutnya Alzi terlalu lebay."Kalian kita anter sampai ke kelas dan kita nggak terima penolakan. Istri gue habis sakit jadi gue harus anter dia dan mastiin dia aman sampai ke kelas."Arumi melotot mendengar Gala begitu berani menyebut istri di tempat seramai ini."Heh, biji kedondong! Lo nggak takut kalau ada yang denger ucapan lo? Ini di kampus, goblok."Gala memutar bola matanya ke atas. "Gua sama Mentari udah putusin kalau kita berdua nggak akan rahasiain pernikahan kita dari siapapun," balas Gala memasang tampang yang sungguh menyebalkan di mata Arumi."Yaudah ayok!"Malas meladeni Gala lagi, akhirnya Arumi menggandeng tangan Mentari dan berjalan lebih dulu menuju kelas mereka diikuti Gala dan Alzi dari belakang layaknya bodyguard.Tak butuh waktu lama, kini mereka berempat sudah sampai didepan pintu kelas Arumi dan Mentari."Makasih ya, Kak Gala sama Alzi udah anterin kita!" tutur Mentari dengan senyum ramahnya dan juga suaranya yang lembut membuat hati siapa saja yang mendengarnya langsung adem."Sama-sama, Sayang! Belajarnya jangan terlalu diforsir dulu, okey! Kakak nggak mau kamu sakit lagi." Gala ikut tersenyum, tangan kanannya terangkat untuk mengacak rambut panjang Mentari.Mentari mencium punggung tangan Gala, rutinitas suami istri pada umumnya. "Kakak nggak usah khawatir! Tari bisa kok jaga diri."Alzi menatap iri keuwauan sepasang pengantin baru tersebut. merasa tak mau kalah dari Gala ia ikut mengulurkan tangan kanannya ke hadapan Arumi."Apaan?" tanya Arumi dengan dahi yang berkerut samar."Ck!" Alzi berdecak kesal. "Masak kayak gini aja kamu nggak paham sih?" protes Alzi.Arumi menatap datar Alzi karena dirinya sudah kesal. "Aku bukan dukun yang harus tau kode-kodean dari kamu," sembur Arumi dengan gigi yang ia katup kan seakan begitu emosi dengan tingkah Alzi yang selalu ada-ada saja.Arumi memang bukan cewek menye-menye yang selalu ingin dimanja oleh kekasihnya. Justru dalam hubungan mereka, Alzi lah yang sering ingin dimanja Arumi seperti balita."Cium juga tangan aku! Masak kayak gitu aja kamu nggak peka?"Plak"Awwws! Sayang sakit," pekik Alzi saat tangannya ditampar tanpa rasa kasihan oleh Arumi."Enak aja minta cium tangan segala. Ingat Tuan Muda Abraham ! Kita ini masih belum muhrim kalau kamu lupa?"Alzi langsung melempem melihat tatapan Arumi yang menatap dirinya dengan tajam."Jangan marah-marah juga kali, Ayang! Kalau kamu mau aku halalin sekarang yah tinggal bilang aja. Nanti sore aku bakal dateng kerumah kamu buat lamar kamu."Arumi menatap gemas Alzi serasa ingin mencakar Alzi saat ini juga. "Enak aja itu mulut mau halalin aku. Rebut dulu perusahaan dari Om kamu kalau kamu mau nikahin aku. Kalau enggak sorry banget, Sayang! Aku belum siap kamu ajak hidup melarat."Alzi ternganga mendengar celotehan panjang kali lebar yang keluar dari bibir kekasihnya."Kamu nggak mau kalau seandainya kita hidup sederhana aja? Terus kalau sampai aku nggak berhasil ambil alih perusahaan atau tiba-tiba perusahaan bangkrut, gimana?" Alzi mencecar Arumi denger berbagai pertanyaan.Sungguh Alzi jadi ketar ketir kalau dirinya hidup susah Arumi tidak jadi mau ia nikahi."Ya enggak lah, perempuan mana coba yang mau diajak hidup melarat?" balas Arumi tanpa beban membuat Alzi semakin melebarkan matanya."Ada tuh, si Mentari." Alzi menunjuk Menteri yang menonton perdebatan keduanya bersama Gala. "Dia mau nikah sama Gala padahal Gala masih miskin," lanjutnya membuat Arumi tertawa kencang.Ternyata mengerjai kekasihnya ini menyenangkan juga. Mana mungkin Arumi memandang Alzi dari hartanya saja."Baperan banget sih jadi cowok? Haha udahlah, pergi sana! Dosen kita udah muncul tuh." Arumi tertawa sepuas hati dan menunjuk seorang pria buncit berkepala plontos berjalan kearah kelas mereka.Alzi justru menatap datar Arumi yang saat ini masih tertawa keras hingga mata gadis itu berair."Tunggu pembalasan dari saya, nona Arumi."Setelah mengatakan itu Alzi langsung pergi dari sana denger membawa hatinya yang begitu dongkol karena perbuatan Arumi di pagi hari seperti ini.Gala hanya menggelengkan kepalanya melihat ketidak jelasan sepasang kekasih itu. Bukan hal baru lagi bagi dirinya dan Mentari melihat segala kelakuan Alzi dan Arumi."Sayang, Kakak pergi dulu ya." Setelah mengecup kening Mentari Gala pergi dari sana menyusul Alzi yang belum terlalu jauh.Arumi juga mengajak Mentari untuk memasuki kelas karena Dosen mereka juga hampir sampai.Sepeninggal Mentari dan Arumi, para siswi yang tadinya tak sengaja melihat Gala mencium kening Mentari jadi bergosip seketika."Kenapa interaksi mereka udah kayak suami istri aja ya? Kak Gala cium kening Mentari dan tadi juga Mentari cium tangan Kak Gala.""Aneh banget. Kalau iya mereka udah nikah, tapi kapan?""Apa jangan-jangan---"Para perempuan yang menghibahkan Galaksi dan Mentari saling pandang dengan mata melotot."Apa kita sepemikiran?" tanya salah satu dari mereka."Njir, nggak yakin gue orang baik-baik kayak merek malah kayak gitu.""Yee.. mana tau aja 'kan? Jaman sekarang yang diam-diam kayak gitu tuh yang lebih mematikan."Mungkin mereka mengira Mentari hamil diluar nikah.Begitu orang-orang saat ini. Menebak sesuai isi pikiran mereka tanpa tahu masalah sebenarnya seperti apa.Seorang gadis yang kebetulan lewat tersenyum puas mendengar ghibahan mereka."Mampus lo Mentari! Kalau bisa makin buruk reputasi lo di kampus ini dan berakhir beasiswa lo dicabut dan nggak bisa kuliah lagi."Dia adalah Fania, adik tiri Mentari yang berbahagia diatas luka Mentari dan kini masih punya niat buruk untuk menghancurkan Mentari.Tahun demi tahun telah berganti, kini kehidupan Galaksi dan Mentari telah banyak berubah.Kontrakan kecil mereka dulu kini sudah berubah menjadi rumah mewah yang di bangun dari hasil kerja keras Gala dan Mentari, Alzi juga sudah mekahi Arumi dan berhasil merebut kembali haknya dari Om Nino setelah ia lulus kuliah.Gala dan Alzi juga telah membangun sebuah rumah sakit mewah untuk istri mereka sesuai dengan cita-cita kedua perempuan itu yang ingin memiliki rumah sakit sendiri.Fakta mengejutkan juga terjadi, Bu Santi ternyata adalah ibu kandung Gala dan Tuan Surya si lintah darat ternyata ayah kandungnya. Saudara kembar Gala ternyata telah meninggal dunia setelah kejadian naas yang menimpa keluarganya kala itu, dan Tuan Surya kini sudah tobat dan berhenti menjadi rentenir.Gala sudah menerima orang tuanya, mereka terpisah bukan karena keinginan orang tuanya. Gala tidak membenci mereka karena ia tau mereka juga tersiksa karena mencari dirinya selama
Gala memandang nanar kaki kirinya yang terpasang gips, mendengar dari istrinya bahwa kaki kirinya retak membuat Gala syok berat. Mentari masih setia memeluk sang suami sambil menangis, Mentari tak kuasa melihat wajah sedih Gala saat pertama kali ia katakan bahwa kaki Gala retak dan butuh waktu selama empat bulan untuk menyembuhkannya. “Kak Gala nggak perlu mikirin apapun, cuma empat bulan, Kak. Abis itu kaki Kakak bakalan sembuh lagi.” Gala menatap istrinya begitu sendu. “Iya cuma empat bulan, tapi menjalang itu kita gimana? Gimana caranya Kakak bisa kerja dalam keadaan kaki di gips kayak gini?” Gala pusing membayangkan mereka akan makan apa kedepannya, dengan apa ia harus membayar uang kontrakan kalau dirinya tidak bekerja. Untungnya skripsi Gala telah selesai dan tinggal menunggu hari wisuda, harusnya Gala sudah langsung bekerja di salah satu perusahaan besar setelah mendapatkan ijazah. Tapi
“Keadaan pasien sudah baik-baik saja, operasinya berjalan lancar.” “Hufff ….” Mentari menghela nafas lega, pasokan udara yang mulanya seolah menghilang dari paru-parunya kini kembali terisi penuh dan Mentari sudah bisa bernafas dengan leluasa. Begitu pula dengan Alzi dan Arumi, keduanya juga nampak lega mendengar kabar baik dari Dokter yang baru saja selesai menangani operasi Gala. “Tapi saya juga membawa kabar buruk, kaki kiri pasien mengalami retak sehingga harus dipasangkan gips.” Deg Ucapan Dokter itu membuat Mentari kembali menegang, sebenarnya tak apa apapun yang terjadi pada Gala Mentari akan tetap menerima asalkan nyawa suaminya itu terselamatkan. Tapi Mentari memikirkan bagaimana nanti reaksi Gala saat mengetahui bahwa kakinya retak, Mentari sangat paham kalau tulang retak tidak akan bisa sembuh dalam waktu singkat. Paling cepat mungkin bisa mencapai waktu empat bulan, b
Duduk sendirian di atas lantai dingin rumah sakit dengan perasaan kalut luar biasa, itu yang Mentari rasakan saat ini. Di depan ruangan operasi yang lampunya sedang menyala pertanda bahwa operasi sedang berlangsung Mentari duduk seorang diri.Tangis perempuan berusia dua puluh satu tahun itu tidak reda sejak melihat langsung betapa menyedihkannya keadaan sang suami yang kini tengah berjuang antara hidup dan mati.Orang-orang yang berlalu lalang di koridor rumah sakit hanya bisa menatap iba Mentari, mata gadis itu sudah bengkak dan memerah tapi tangisnya belum berhenti.“Apa engkau juga akan mengambil suamiku setelah engkau renggut ibu ku, Tuhan? Aku harus dengan siapa kalau Kak Gala benar-benar pergi?”Mentari menjerit pilu, ia tak peduli akan semua orang yang tengah menatapnya. Yang Mentari inginkan sekarang hanyalah keselamatan Galaksi, suaminya.Dunia Mentari sekarang berpusat pada Gala, hanya demi Gala ia memilih tetap hidup di dunia
Dunia seakan runtuh tepat menimpa kepala Mentari saat ini, tubuhnya bergetar hebat dengan nafas terasa berat melihat pemandangan menyakitkan mata di depan sana.“K-kak Gala.” Bahkan untuk bicara sepatah kata saja suara Mentari langsung bergetar, bahkan hampir tak terdengar.“Maaf, Nak. Kamu kenal korban itu?”Kesadaran kembali mengambil alih tubuh Mentari.“Di ma-na korban motor Scoopy merah itu, Pak?” tanya Mentari terbata, jari telunjuknya terulur menunjuk motor Scoopy yang mentari yakini seratus persen adalah motor suaminya.“Ada seberang sana, Neng.” Bapak-bapak itu menunjuk halte bus di seberang jalan. “Keadaannya cukup parah, tapi masih beruntung dari pada korban lain yang langsung meninggal di tempat.”Mata Mentari tertuju ke halte bis yang ditunjukkan oleh warga itu, di sana Mentari dapat melihat ada beberapa orang yang tengah menjaga korban kecelakaan.“Bilang sama Tari, kalau itu bukan Kak Gala.” Mentari terus berceloteh di sepanjang larinya menuju seberang jalan.Karena kec
“Kak Gala kok nggak bisa dihubungi ya, Alzi juga nggak angkat telpon dari aku. Harusnya Kak Gala udah sampai di cafe.”Mentari meremas erat ponsel yang baru saja ia gunakan untuk menghubungi Gala dan Alzi, tapi ponsel keduanya yang sama-sama tidak bisa dihubungi membuat perasaan Mentari semakin cemas.Jika ponsel Gala tidak aktif, Alzi malah tidak menjawab panggilan darinya.“Kemana aja sih mereka?”Dalam rasa gelisah yang melanda, Mentari juga merasa kesal dalam waktu bersamaan.Sudah tiga puluh menit sejak Gala pergi, harusnya suaminya itu sudah sampai di cafe.“Kalau Kak Gala udah sampe kenapa dia nggak ngabarin aku?” Pertanyaan itu lolos dari bibir Mentari.Hati Mentari semakin tak tenang memikirkan keberadaan suaminya, kenapa disaat ia benar-benar butuh kabar seperti ini Gala malah tidak memberinya kabar.“Aku makin nggak tenang kalau gini caranya, aku harus susul Kak Gala sekarang juga.”Tanpa pikir panjang, Mentari langsung menyambar tas selempang kecil yang hanya muat satu han