Semua orang berdiri dan menghunus pedang. Sambil meludah berkali-kali dan membuang apa pun yang tengah ada di mulut, Ki Gede Nipir menendang mejanya sehingga terbalik dan menumpahkan segala hal di atasnya.
Jaladri melepas baju atasannya, lalu sibuk memijit-mijit tengkuk Pratiwi.
“Bajingan! Apa maumu!?” Ki Gede menuding Sawung. “Kau siapa sebenarnya!?”
Bajul dan belasan pengawal Kenipir maupun para pengikut keempat demang langsung mengepung rapat kedua pria itu, yang sekarang jadi tampak begitu aneh dan mengancam. Apalagi karena mereka nampak acuh dan santai saja meski rapat terkepung—menandakan betapa mereka sangat percaya diri.
“Baiklah, namaku bukan Sawung, melainkan Suwung Saketi,” kata pria jangkung itu. “Suwung Saketi sekaligus nama dari pukulan pamungkas yang sudah berhasil kusempurnakan, beberapa bulan lalu. Dan yang di sebelahku ini bukan Ceki si tukang cuci kuda, melainkan adik angkatku. Namanya Rem
Wisnumurti mengumpat kasar saat ia melayang turun dari kuda. Kali ini tak ada yang menyambut tali kekang, jadi terpaksa ia bergegas menalikan sendiri kudanya ke tempat tambatan tak jauh dari pendapa. Lalu ia berlarian dengan mata jelalatan nanar ke segala arah.“Demi Tuhan! Ada apa ini...?”Sebab yang terlihat di sekelilingnya terlihat seperti medan sisa perang. Belasan bahkan puluhan jenazah terbujur centang perentang kacau, sebagian saling bertumpuk tumpang tindih tak keruan. Beberapa mayat ditangisi perempuan-perempuan yang menangis meraung-raung keras sekali.Dan di dekat ambang pintu bangunan samping yang digunakan sebagai dapur, beberapa perempuan paruh baya duduk menggelesot, berjongkok, dan bersimpuh dengan tingkah laku tak teratur. Semuanya menangis menjerit, memukul-mukul tanah, lalu menyebut nama Allah berulang-ulang.Wisnumurti kedinginan. Kuduknya merinding. Ia memanggil semua yang ia kenal, sejak Ki Gede dan Nyai Gede, Pratiwi, J
“Aku sudah kirimkan orangku yang masih sehat untuk memberitahu para lurah, buyut, dan demang di kawasan utara. Mereka akan memberikan laporan bila melihat dua orang laki-laki dengan ciri mencurigakan seperti Saketi dan Remak, terlebih bila mereka terlihat bersama seorang anak remaja. Kuduga, mereka akan menuju kampung mereka yang bernama Margalayu itu, meski aku juga belum pernah dengar itu tepatnya ada di mana. Kau masih akan punya cukup waktu dan petunjuk jejak untuk memburu mereka.”Wisnumurti tercenung. “Betul juga. Dan Remak juga tengah terluka, bukan, gara-gara Lintang Abyor dari Jaladri? Membawa satu sandera dan satu orang luka, Saketi tak akan bisa bergerak cepat. Malam ini mungkin dia masih berada di kawasan hutan sekitar sini, berusaha mengobati Remak sampai sembuh.”“Ya. Kita tenangkan diri dulu, agar bisa menyusun langkah terbaik besok pagi.”“Bagaimana keadaan Pratiwi dan Bajul? Sepertinya Bajul tak terlalu
“Maka, sebelum aku sampai pada pertanyaan soal bagaimana kau bisa mendapatkan ilmu itu, ada satu hal yang lebih menarik, yaitu siapa sebenarnya kau? Orang-orang di dapur tadi bilang, kau adalah Jaladri, putra Ki Somanagara, pedagang besar yang adalah adik dari Ki Gede Nipir. Tapi aku tidak percaya. Itu pasti hanya nama samaranmu untuk mengelabui semua orang!”Jaladri sudah bisa bernapas lagi, namun ia kembali dibikin megap-megap dan terbata oleh pertanyaan itu.“Ap-apa maksudmu? Aku memang Jaladri, anak Ki Soma dari Karang Bendan.”“Hanya anak saudagar? Bukan warga Keraton?”Jaladri menggeleng. “Bukan. Keraton apaan? Keraton setan!?”“SEBAB ILMU ITU HANYA BOLEH DIAJARKAN UNTUK ORANG-ORANG KERATON! MUDENG!?”Ada dua hal yang membuat Jaladri nyaris kelenger.Satu, bau napas Suwung Saketi mirip ikan busuk yang sudah enam pekan mendekam tak terurus di dapur. Apalagi pria itu bert
“Kapan itu, Mbah?” tanya Pratiwi. “Sudah agak siang ini atau masih pagi sesudah subuh tadi?”“Masih pagi sekali, Mas Rara. Persis setelah subuh. Mereka lewat sini, minta nasi dan lauk ikan, tapi tidak baik hati seperti Mas Rara berdua.”“Mereka jalan kaki apa naik kuda?” tanya Wisnumurti.“Berkuda, Denmas. Dua ekor. Yang bongkok dibonceng pria yang tinggi. Anak muda satunya lagi menunggang kuda sendiri. Dia kelihatannya juga sakit. Matanya lebam, yang kiri.”Wisnumurti tercekat, menahan napas. “Tapi dia baik-baik saja, bukan? Tidak pincang atau terlihat kesakitan?”“Tidak, Denmas. Dia bisa jalan biasa saja, dan lebih kuat dari si bongkok.”“Ke arah mana mereka pergi, Mbah?”“Waktu Mbah tanya, katanya mau ke Kajoran. Apakah mereka musuh Nakmas berdua? Sepertinya mereka dan Denmas berdua sama-sama pesilat.”Wisnumurti terdi
“Kalau mau membantu, bantu saja. Malah cuma ngoceh!”Pratiwi sempat juga mengamati sekilas orang itu. Siapapun dia, ditilik dari caranya melakukan penampakan yang sangat tidak umum, pastilah pria itu juga seorang jagoan kelas tinggi seperti Wisnumurti.Pria di atap kemudian berdiri. Dengan gerakan yang sangat enteng, ia melompat tinggi sekali, seperti sengaja menjatuhkan diri ke tanah. Sedepa sebelum tiba di Bumi, tangan kanannya menghentak ke depan dengan kelima jari terentang sempurna. Detik itu gempa terjadi. Warga yang berkerumun menjerit karena merasakan tanah di pijakan benar-benar bergoyang.Wisnumurti melancarkan empat kali tendangan berantai yang membuat lawannya kembali nyungsep. Dalam arah gerakan yang sama, ia bergeser mendekati Pratiwi, dan tepat berada di depan gadis itu saat hentakan tenaga dari pria pendatang baru itu tadi tiba di titik tempat Pratiwi berada.Lalu mereka terlempar. Lebih tepatnya, Wisnumurti menabrak Pratiwi, s
Ki Soma menguap lebar saat menutup salat magribnya di mushala yang berada tepat di kiri kediamannya. Tepat di ambang pintu, seorang pengawal menunggunya dengan wajah tegang.“Ndara, ada Kanjeng Gusti Adipati,” kata sang pengawal sambil mengacungkan ibu jari ke arah pendapa.Mata Ki Soma melebar. “Kanjeng Adipati?”Pengawal itu mengangguk. “Bet-betul, Ndara Soma. Itu... di pendapa.”Ki Soma langsung bergegas, bahkan setengah berlari. Memang terlihat sesosok pria tegap berbusana serba hitam duduk menunggu seorang diri di pendapa. Dalam keremangan cahaya lentera, sosok itu nampak angker dan berwibawa. Ki Soma menaiki pendapa rumahnya sendiri sambil berjongkok dan menyembah. Memang yang hadir adalah Adipati Jayapati, namun menyamar menjadi rakyat kebanyakan dengan mengenakan busana dan ikat kepala yang sangat sederhana sekaligus murahan.“Tidak usah menyembah, Adimas! Nanti orang tahu siapa aku. Padahal sudah k
Begitu mereka dilumpuhkan, arwah-arwah di dalam tubuh para warga itu tak bisa lagi berbuat apa-apa. Jika tidak, mereka semua termasuk dua warga yang menyerang Wisnumurti dan Pratiwi akan mampu terus bergerak hingga badan mereka remuk rusak sendiri karena kelelahan.Dan sesudah dipingsankan, mereka semua bangun sebagai diri asli masing-masing. Rombongan arwah yang disalahgunakan langsung pada pergi entah ke mana.“Sepertinya mereka makin berani bertingkah di luaran,” kata Wisnumurti. “Apakah ada gejala bahwa mereka akan melakukan serangan besar-besaran?”“Aku khawatir begitu. Laporan-laporan mengenai terjadinya pengacauan dengan ciri khas cara kerja Lambang Merah makin meningkat belakangan ini. Aku juga takut itu semua adalah latihan sebelum mereka melakukan satu serangan pengacauan besar. Masalahnya adalah, kapan, dan di mana?”“Dan yang seperti ini bakalan sangat susah diatasi dengan cara-cara biasa, bahkan denga
“Kakang, bangun! Ini sudah subuh. Mau salat tidak?”Jaladri terbangun mendadak, dan seketika tersadar akan hawa luar biasa dingin yang mencekam kulit. Dalam gelap, yang paling awal tertangkap matanya adalah goyangan nyala api unggun yang seketika memberi rasa damai pada terkaman suhu dingin itu.“Lagian aneh ini. Kelenger karena pingsan kok berlanjut tidur pulas semalaman.”Pemuda itu seketika bangkit oleh suara yang belakangan ini, soalnya lembut dan merdu sekali. Saat ia menoleh, yang ia lihat adalah seorang gadis manis yang menggunakan baju dan kain berlapis-lapis untuk menahan dingin. Di sebelah satunya lagi ada seorang pemuda. Dan ia seketika mengenalinya.“Loh... kau...?” ia menuding.“Ya, betul. Dan tadi itu aku mendekati Kakang dan dua orang yang bersama Kakang itu untuk mengalihkan perhatian kalian, agar Ningrum punya waktu untuk memasukkan ular ke rumah banjar itu tadi.”Jaladri kemba