Share

Menuju Matahari
Menuju Matahari
Penulis: Wiwien Wintarto

1

Angin berhembus kuat. Matahari bersinar terik di puncak langit yang berwarna biru tajam, sementara ombak memecah luar biasa membentur bebatuan di pantai Karang Bendan.

Di pasir pantai yang halus, dua orang lelaki berdiri tegap saling berhadap-hadapan dalam jarak satu setengah tombak. Lelaki pertama bertubuh jangkung, dengan kumis tipis yang bagus di atas bibirnya. Ia mengenakan baju dari bahan yang paling mahal berwarna ungu. Blangkonnya juga bagus. Sepintas pandang saja sudah tampak jika lelaki ini tentulah menpunyai persediaan uang yang jauh lebih dari cukup.

Berbeda dengan dia, laki-laki kedua memakai pakaian yang boleh dibilang sangat sederhana. Warnanya hitam mirip pakaian petani di gunung. Ikat kepalanya juga berharga murah. Badannya sendiri besar dan gempal, dan memelihara cembang yang lebat. Di ikat pinggangnya terselip sebilah golok besar. Maka lengkap sudah tampangnya memenuhi syarat sebagai seorang penjahat ganas!

“Baik, Bajul,” ujar si Jangkung. “Tawaranku tetap seperti semula. Aku akan melupakan semua hutangmu padaku, asal kau bisa mengalahkanku hanya dalam satu gebrakan. Tapi aku rasa itu mustahil...!”

“Jangan ngomong sembarangan, Jaladri!” pria yang disebut Bajul itu menggeram. “Percuma aku melatih ilmu golokku sebulan penuh kalau cuma untuk membabatmu saja tidak bisa. Lagipula, kan aku yang melatihmu sehingga kau bisa seperti sekarang ini. Ayo, kita mulai sekarang! Kamu boleh mencabut kerismu yang norak itu!”

Jaladri tersenyum. “Melawan anak ingusan sepertimu, tanganku pun sudah lebih dari cukup!”

“Terserah! Rujakpolo akan membuatmu kencing tanpa henti sampai tujuh turunan!”

Sambil berseru keras, Bajul maju menerjang dengan goloknya yang ia beri nama Rujakpolo, meniru nama gada milik Bima di cerita Mahabarata. Seperti biasa, serangannya ganas dan maut. Rujakpolo meluncur deras mengancam batok kepala Jaladri, seakan-akan hendak mernbelah tubuh Jaladri menjadi dua bagian terpisah yang sama besar. Sejengkal sebelum golok itu menemui sasarannya, Jaladri nenghindar dengan tepat. Ia memutar tubuh, dan langsung mengirimkan serangan balasan pada kesempatan pertama. Bajul terpaksa bergeser mundur karena pukulan Jaladri terbang terlalu jauh dari jangkauan goloknya.

Belum lagi ia menyusun serangan berikut, Jaladri sudah datang 1agi. Tiga kali berturut-turut. Bajul menggunakan tangan kiri dan dengkulnya untuk menangkis. Bajul mendengus jengkel. Buru-buru ia menerapkan siasat sapu bersih untuk menghalau Jaladri keluar.

Dan pemuda itu memang harus melompat mundur jauh-jauh untuk menyelamatkan dirinya dari ancaman Rujakpolo. Merasa mendapat ruang yang lumayan lapang, Bajul maju lagi dengan penuh tenaga. Kini ia melakukan serbuan ganda. Begitu leher Jaladri lepas dari incarannya, goloknya turun menghantam jantung lawan. Jaladri bergeser sambil menepis Rujakpolo ke samping dengan telapak tangannya.

Detik berikutnya, tubuh Jaladri berputar bagai gasing. Cepat sekali. Bermacam-macam pukulan dan tendangan ia kirim. Bajul melayaninya satu-persatu dengan sabar. Begitu ada kesempatan terbuka, ia masuk dengan cepat. Benturan terjadi. Jaladri yang kalah tenaga terdorong surut. Bajul terus mengejar. Gebrakannya sangat kuat. Jaladri terguncang. Nyaris saja ia jatuh terjengkang ke tanah. Sebelurn ia benar-benar terjatuh, buru-buru ia mengerahkan tenaga cadangannya ketika gempuran Bajul muncul lagi.

“Ini sudah lebih dari satu gebrakan!” Jaladri berteriak.

Bajul tak peduli. Ia menyerang lagi.

Benturan kekuatan kembali terjadi. Jaladri tersuruk beberapa langkah, sedang Bajul tejengkang dan jungkir balik di daratan pasir. Rujakpolo tergeletak tak terlalu jauh darinya.

Tepat saat ia bangkit dan kembali meraih goloknya, terdengar suara tawa keras digemakan dinding-dinding tebing di sekeliling mereka.

“Beginilah kalau dua pendekar kacangan bertanding. Tak ada yang menang, karena kepandaian mereka sama-sama ceteknya. Huahaha... !”

Jaladri dan Bajul menoleh kaget. Di puncak karang yang tertinggi, seorang anak muda duduk tegap menghadap laut. Rambutnya dibiarkan  tergerai dipermainkan angin pantai yang bertiup kencang. Ia mengenakan baju dan ikat kepala serba putih, mirip-mirip santri dari pondok pesantren. Badannya kokoh dan kuat, dengan wajah yang bersih dengan hanya sedikit gangguan jerawat.

“Apa kabar, Teman-teman!?” serunya keras. “Lama kita tidak ketemu, ya!”

Pemuda itu lalu seperti sengaja menjatuhkan diri dari puncak karang. Jelas bukan upaya tolol untuk bunuh diri. Badannya melayang turun dengan apik dari puncak karang setinggi empat tombak itu. Pendaratannya mulus sekali, persis di samping Bajul.

“Bajul, makin gemuk saja kau ini,” katanya. “Makanmu nambah teurus ya?”

Bajul menyarungkan Rujakpolo. “Dari mana saja kau? Pergi tanpa pamit, datang pun tanpa kabar berita!”

Wisnumurti tersenyum. “Yah, itulah aku, Jul!”

Jaladri datang menghampiri dan menyalami Wisnumurti erat-erat.

“Apa kabar, Sobat?” ucapnya gembira. “Wah, kota sepi tanpa kehadiranmu.”

Berada bertiga, baru terlihat perbandingan usia mereka. Bajul terlihat paling tua, karena memang ia telah hampir menginjak umur kepala tiga. Sedang Jaladri dan Wisnumurti sebaya, pada usia antara 16 hingga 17 tahun.

“O, ya? Dan kenapa kalian malah bertarung sendiri? Lagi kurang kerjaan, ya?”

“Aku dan Bajul sedang merundingkan soal keuangan kami. Dan berhubung dia kalah, maka tentu saja utang-utangnya tetap harus kuperhitungkan kembali!”

Bajul mendengus. “Dan begitulah kelakuan tuan tanah pada rakyat jelata yang miskin dan tertindas...!”

“Jangan mengungkit-ungkit soal tuan tanah dan rakyat! Aturannya sudah kita sepakati. Dan kau gagal karena tak bisa merobohkanku dalam sekali gebrak!”

“Hei, hei! Jangan bertengkar di sini, Anak-anak!” seru Wisnunurti. “Aku lapar. Ayo, Jaladri! Kita rnakan-rnakan di kota.”

“Nah, itu baru ajakan yang menyenangkan,” sahut Jaladri gembira. “Ayo, berangkat! Aku yang bayar. Kau ikut, Jul?”

“Tidak, ah,” Bajul ngeloyor berlalu ke arah lain. “Aku harus memberi pengarahan pada anak-anak soal rencana perjalanan ke Bagelen besok.”

“Baiklah. Terserah kau saja.”

Begitu bayangan pria berbadan besar itu menghilang, Wisnumurti dan Jaladri bergegas meninggalkan wilayah pantai kembali ke pusat kota. Keduanya sudah cukup lama berteman. Dan meskipun berasal dari latar belakang yang jauh bertolak belakang, mereka tetap dekat sampai sekarang.

Wisnumurti adalah seorang pesilat tulen. Ia murid sulung Panembahan Singgih, ulama besar dari Gunung Cakrabuana. Tergolong berbakat luar biasa, ia menamatkan pelajaran dua tahun lebih awal dari anak-anak lain. Tak heran dalam usia belum genap 15 tahun, pemuda itu sudah sibuk bertualang ke mana-mana.

Dengan keahliannya yang jauh di atas rata-rata, ia biasa mencari uang dengan rnenjadi pengawal rombongan dagang para saudagar besar ke negeri-negeri luar. Dan namanya tak urung jadi tenar karena setiap kali bertemu gerombolan perampok di rimba belantara, ia selalu keluar sebagai pemenang. Tak aneh itu membuat harga untuk jasa pengawalannya makin tinggi.

Pekerjaannya sebagai pengawal rombongan dagang itu pula yang membuatnya bertemu dengan Jaladri. Setahun lalu Ki Somanagara—pedagang sekaligus tuan tanah terkaya di Karang Bendan—menyewa tenaganya untuk memimpin rombongan pengawal iring-iringan dagang emas permata ke Situkancana di kawasan barat pedalaman. Dalam perjalanan itu Ki Soma mengajak serta putra sulungnya, yang bernama Jaladri. Dan bertemu dengan Wisnumurti membuat anak muda kencur itu menemukan teman bicara yang cocok.

Jaladri jelas gembira sekali bertemu dengan pendekar tulen, karena selama ini ia tak pernah berlatih selain bersama para pengawal Ki Soma, terutama Bajul. Menemukan teman berlatih yang sangat bagus, ia jadi makin bersemangat mengasah kepandaiannya dalam pencak silat.

Memang agak aneh bahwa ketertarikannya adalah pada urusan bela diri dan kanuragan. Padahal ia digadang-gadang Ki Soma suatu saat dapat menjadi penerus usaha keluarga, juga menjadi penguasa tanah-tanah sebegitu luas yang membuatnya bakal menjadi tak ubahnya penguasa daerah setingkat adipati.

Namun tiap kali disinggung soal itu, Jaladri seperti masa bodoh dan terus asyik dengan dunianya sendiri. Ia bilang, baru akan mempelajari urusan-urusan orang tua sesudah menikah—yang pasti akan segera terjadi dalam satu atau dua tahun mendatang. Untuk sekarang ini, ia jauh lebih sibuk dengan kegemarannya, yaitu berkelahi secara indah.

Pelatih sekaligus lawan tandingnya tiap hari tak lain adalah Bajul, yang resminya adalah pengawal pribadi bagi dirinya. Sudah lazim bahwa para saudagar seperti Ki Soma pasti memiliki barisan pengawal, yang terdiri atas para jago bela diri berkemampuan tinggi. Bajul merupakan salah satu tukang pukul terbaik milik Ki Soma. Dulunya pria itu merampok di rimba-rimba terdalam, namun suatu saat tertangkap oleh rombongan pengawal Ki Soma.

Selamat dari serangkaian siksaan keji para pengawal, Bajul lalu berbalik arah dan menjadi salah satu centeng terkuat dalam barisan pengawal Ki Soma. Dan saat Jaladri menunjukkan minat yang tinggi pada ilmu bela diri, Bajul pun ditunjuk menjadi pengawal pribadi sekaligus pelatih anak itu.

Dan minat yang ditunjukkannya ternyata berbanding lurus dengan hasil. Jaladri menyerap semua latihan dengan cepat. Apalagi setelah ia mendapat latihan-latihan penting dari Wisnumurti, kemampuannya meningkat dengan pesat. Satu hal yang belum ia pelajari adalah ilmu kanuragan, yaitu bagian dari pencak silat yang terkait dengan penggalian kemampuan olah napas untuk membangkitkan tenaga murni dari dalam tubuh.

Sayang pertandingan latihan melawan Wisnumurti tak bisa berlangsung terus tiap saat ia mau. Wisnumurti tak betah menetap berlama-lama di satu tempat. Dia lebih keluyuran ke mana saja dan kapan saja semaunya. Entah ke mana perginya Wisnumurti empat bulan ini sejak terakhir kali ikut membantu Bajul dan kawan-kawan mengawal rombongan Ki Soma hingga Kotaraja Pasir. Begitu kembali dengan selamat ke Karang Bendan, Wisnumurti lenyap seperti ditelan Bumi dan baru siang ini mendadak muncul kembali.

Tak aneh saat kemudian keduanya makan siang di sebuah rumah makan yang cukup besar di pinggiran kota, Jaladri begitu penuh semangat menceritakan semua hal yang terjadi selama beberapa bulan ini dan terlewatkan oleh Wisnumurti. Dan belum apa-apa, ia sudah langsung mengajak Wisnumurti berlatih nanti sore.

Karang Bendan sendiri adalah sebuah negara-kota yang makmur di pesisir selatan. Masih termasuk negara bawahan Keraton Pasir, Karang Bendan maju berkat usaha perdagangan Ki Soma. Bahkan bisa dibilang negeri itu seperti milik pribadinya. Namun ia tak tertarik untuk menjadi negarawan. Kepemimpinan Karang Bendan tetap berada di tangan Adipati Jayapati, yang merupakan salah satu keponakan Sultan Pasir.

“Ke mana saja kau empat bulan terakhir ini?” tanya Jaladri kepada Wisnumurti, sambil melahap telur rebus berlumur sambal merah. “Kabarnya kau sempat pula singgah di Mataram dan Demak, ya?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status