Share

Menunggu Masa Idah
Menunggu Masa Idah
Author: Liztiana

1. Meminta Keseriusan

Bab 1

"Jadi Nak Ibram, kapan rencananya kamu dan Rini akan meresmikan hubungan?"

Uhuk! Uhuk! 

Ibram yang sedang meminum teh, tiba-tiba tersedak saat mendapat pertanyaan itu dari ibu kekasihnya.

"Meresmikan hubungan?" Ibram mengulang ucapan perempuan paruh baya di depannya dengan ekspresi tak nyaman.

Seketika Ibram menjadi gugup karena diberikan pertanyaan seperti itu oleh perempuan paruh baya bernama Bu Narti tersebut. 

"Iya. Kalian ini kan sudah dewasa,  masa mau jalan tanpa ada ikatan resmi seperti ini terus? Pasti kalian ada pandangan mau menikah, kan? Kecuali kalau Nak Ibram hanya mau mempermainkan anak Ibu saja." Bu Narti melempar senyum tipisnya pada Ibram. 

"Ibu!" Rini yang duduk di sebelah Bu Narti, menegur pelan. Ia jelas tak suka mendengar ibunya mengatakan bahwa Ibram hanya mempermainkannya.

"Loh, kenapa? Benar, kan? Kalau laki-laki dan perempuan dewasa pacaran terlalu lama tanpa ada niat mau menikah, itu namanya cuma main-main." Bu Narti menatap anaknya, memberi pengertian dengan nada halus. "Lagi pula, bukannya bagus kalau secepatnya kalian menikah? Pacaran terlalu lama itu tidak bagus. Selain bisa jadi bahan gunjingan tetangga, takutnya ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Namanya sering jalan berdua dengan orang yang disukai, pastilah ada keinginan-keinginan untuk melakukan lebih, kan?"

"Ihh, ibu kok begitu bicaranya." Rini tampak tersipu mendengar penuturan ibunya. 

Sementara di depan mereka, Ibram justru sedang merasa kebingungan. Jujur saja, ia memang mencintai Rini. Namun, untuk menikahinya, ada setitik keraguan yang menggelayuti hati. Bukan ragu karena tak yakin dengan perasaannya terhadap gadis cantik yang menjadi kekasihnya itu, tetapi Ibram merasa jika sekarang bukanlah waktu yang tepat. 

"Bagaimana, Nak Ibram? Jadi kapan rencananya?" tanya Bu Narti lagi pada Ibram. Tidak ada tuntutan dalam nada suaranya.

Ibram berdehem sekali, mencoba mengusir gugup yang tiba-tiba hadir, lantas tersenyum kaku ke arah Bu Narti. 

"Begini, Bu, sebenarnya saya belum pernah menceritakan tentang Rini pada orang tua saya. Kalau boleh, saya minta waktu dulu untuk membicarakan ini dengan kedua orang tua saya," ujar Ibram memberi alasan. Dia terlihat gugup sekali.

Bu Narti tersenyum tipis. "Kalau begitu Ibu tunggu kabar baiknya. Tolong jangan kecewakan Ibu dan Rini, ya, Nak Ibram," kata Bu Narti lembut. "Ibu dan mendiang ayahnya Rini sangat menyayangi Rini, karena memang Rini ini kan anak kami satu-satunya. Apa pun yang bisa membuat Rini bahagia akan kami lakukan. Ibu akan sangat kecewa kalau ternyata Nak Ibram hanya mempermainkan anak Ibu saja."

Mendengar penuturan ibunya, Rini merasa sangat terharu. Perempuan berusia 25 tahun itu memeluk ibunya dengan manja. 

"Iya, Bu, saya janji tidak akan mengecewakan Ibu dan Rini," kata Ibram mantap, mencoba menyembunyikan gelisah yang sedang ia rasa. 

Setelah itu, pembicaraan terus mengalir, membahas apa saja yang sekiranya menarik untuk dibicarakan. Hingga waktu menunjukkan pukul sembilan malam, Ibram memutuskan untuk pamit pulang pada Rini dan Bu Narti.  

"Ibu tunggu kabar baiknya ya, Nak Ibram." Bu Narti mengulang perkataan itu lagi saat Ibram menyalami tangannya. 

Ibram tersenyum sopan. "Iya, Bu."

"Rini antar Mas Ibram ke depan ya, Bu," ujar Rini meminta izin pada ibunya. 

Bu Narti mengangguk. 

"Maaf ya, Mas, kalau ucapan ibu tadi membuat Mas Ibram tidak nyaman." Rini mengatakan hal itu setelah ia dan Ibram sampai di teras depan. 

Ibram tersenyum menanggapi ucapan kekasihnya. "Tidak apa-apa, Rin. Mas paham dengan perasaan Ibu. Ibu hanya ingin yang terbaik untuk kita."

"Terima kasih ya, Mas. Rini merasa beruntung sekali memiliki Mas Ibram yang selalu pengertian," ujar Rini dengan senyum manisnya.

"Oh ya, Rin, soal yang dibicarakan ibu tadi, Mas akan segera membicarakannya dengan orang tua Mas. Mas mohon kamu sabar ya," kata Ibram. 

"Iya, Mas, Rini akan berdoa semoga orang tua Mas merestui hubungan kita," ucap Rini penuh harap.

Ibram mengangguk. Ibram pikir, mungkin dalam waktu dekat orang tuanya belum bisa menerima Rini karena alasan yang sudah sangat ia ketahui. Namun, nanti Ibram akan pelan-pelan memperkenalkan Rini pada keluarganya. Ibram yakin,  dengan semua sifat baik Rini itu, orang tuanya pasti akan paham dengan perasaannya dan akan merestui hubungan mereka. 

"Ya sudah, Mas pulang dulu kalau begitu. Kamu jangan tidur terlalu larut," ujar Ibram dengan lembut. 

"Iya, Mas hati-hati di jalan. Hubungi Rini kalau sudah sampai di rumah, ya," balas Rini tak kalah lembutnya. 

"Pasti," balas Ibram dengan tersenyum manis. "Assalamualaikum waramatullahi wabarakatuh." 

"Wa ‘alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," balas Rini. 

Tidak ada pelukan atau ciuman selamat tinggal yang mereka lakukan. Karena meski menjalin hubungan asmara, mereka sepakat untuk tetap mematuhi rambu-rambu agama agar tak bersentuhan sebelum halal. 

Perempuan berjilbab merah muda itu melambaikan tangan saat Ibram memasuki mobil, kemudian membawa kendaraan beroda empat itu meninggalkan halaman rumahnya. 

Dalam hati, Rini berdoa, semoga hubungannya dan Ibram dipermudah oleh Yang Maha Kuasa, serta mereka bisa mendapatkan restu dari orang tua Ibram. 

***

Ibram sampai di rumah pukul setengah sepuluh malam. Laki-laki itu memarkirkan mobilnya di depan rumah, karena rumahnya memang belum dilengkapi dengan garansi. Beruntungnya, halaman rumahnya cukup luas, jadi meskipun belum memiliki garansi, mobilnya tak harus diletakan di pinggir jalan umum yang berada di depan rumahnya dan mengambil hak pejalan kaki. 

Tak langsung turun, Ibram merenung di dalam mobil cukup lama. Laki-laki itu memikirkan banyak hal terkait pembicaraannya dengan Bu Narti tadi. 

Tentang ucapan Bu Narti, sebenarnya itu cukup mengganggu pikirannya. Hubungannya dan Rini memang sudah berjalan 10 bulan, wajar memang jika ibu dari kekasihnya itu sudah menuntut keseriusannya. Namun, haruskah dalam waktu dekat ini ia menikahi Rini?

"Mas! Mas Ibram!" 

Ibram terlonjak kaget ketika suara panggilan disertai ketukan di kaca mobil terdengar. Ia menoleh ke samping dan mendapati perempuan berjilbab hijau muda di sana. 

Setelah Ibram keluar dari mobil, perempuan yang perutnya terlihat membuncit itu menyalami tangannya dan segera meraih tas kerja yang ia bawa. Keduanya pun berjalan beriringan memasuki rumah yang sudah bertahun-tahun mereka tempati.

"Mas Ibram kenapa tadi lama sekali di mobil? Aku sampai khawatir Mas kenapa-kenapa." Perempuan bernama Laila itu bertanya di tengah-tengah langkah mereka memasuki rumah.  

Ibram tak menjawab. Bahkan, sejak turun dari mobilnya, Ibram hanya menampakkan wajah datarnya, membuat Laila heran dan khawatir secara bersamaan. 

Laila yang berpikir jika Ibram sedang merasa lelah pun akhirnya hanya bisa diam. Ia sangat paham jika Ibram tak akan suka diganggu ketika sedang merasa lelah dengan pekerjaannya. 

Akhirnya, keduanya memasuki rumah hanya dengan ditemani keheningan.

Bersambung..

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status