Share

bab 3

Penulis: HERI_NAYALBIL
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-02 23:05:38

"Mas, kamu kan baru-baru ini memberikanku uang sedikit, biasanya juga 500 ribu seminggu, meskipun kadang-kadang 200 ribu - 300 ribu seminggu. Aku ikhlas kamu berikan segitu, itu aku tabung loh, Mas. Setiap minggunya masih sisa 200 ribuan," ungkapku mengalihkan pembicaraan. Padahal, simpananku nggak banyak, ini semua uang transferan dari papa diam-diam.

"Maafin aku ya, Dek. Terima kasih sudah sabar berumah tangga denganku, insyaallah aku akan berusaha membahagiakanmu," lirihnya membuatku perih.

Ia serba salah, ingin membahagiakanku tapi terkadang ibunya selalu ingin dibahagiakan juga olehnya.

"Kita jalani sama-sama, Mas. Semoga setelah ini, Ibu nggak berani kredit-kredit handphone lagi, kita kan nggak tahu bagaimana nasib kita selanjutnya," pesanku.

"Ibu hanya terpengaruh oleh Kasih, mungkin Kasih yang harus kita nasihati," sanggahnya. Memang sepertinya Mas Hendra tidak mau disebut durhaka, jadi ia terus menerus membela ibunya. Sebaiknya aku tak usah terus menerus menyalahkan ibu juga. Suatu saat pasti akan ketahuan belangnya.

"Ya sudah, lanjutin makan, yuk!" ajakku. Kemudian kami berdua makan, dan menyantap makanan enak.

Sore harinya kami pun hendak menjual motor yang terparkir di depan rumah. Aku rasa ini jalan terbaik. Biarkan Mas Hendra menjadi pedagang, yang penting ia berusaha untuk mencukupi kebutuhanku.

Baru mau melangkahkan kaki ini, teman Mas Hendra datang.

"Ndra, gue baru tahu elu dipecat," ucap Yudi yang tiba-tiba muncul.

"Iya, Yud, udah jalannya seperti ini."

"Masuk, Yud!" Mas Hendra mempersilahkan Yudi untuk masuk, kami pun mengurungkan niat menjual motor ke jual beli motor bekas.

Aku menyuguhkan tes manis untuk Yudi, lalu masuk ke dalam sambil menguping apa yang mereka bicarakan.

"Ndra, gue ada lowongan di pabrik, tapi agak jauh dari sini. Mau nggak mau elu musti pindah kontrakan," tuturnya membuatku terkejut dan bersyukur. Akhirnya tanpa harus menjual motor, Mas Hendra mendapatkan kerjaan.

"Ngontrak jauh dari kampung ini? Bagaimana dengan ibuku, ya? Aku berat ninggalinnya." Aku tetap bertahan bersembunyi di balik pintu ruang televisi.

"Ndra, rumah tangga tuh lebih baik jauh sekalian dari orang tua maupun mertua, gue jamin, entar elu bahagia kalau tinggal di kota," seru Yudi. Aku menunggu jawaban dari Mas Hendra. Apakah ia setuju dengan tawaran Yudi?

Kenyataannya, ia hanya bergeming, tak bicara satu katapun. Mungkin sedang memikirkan jawaban tawaran dari Yudi.

"Iya juga sih, ya udah, besok gue coba ke sana deh, mana alamatnya?" Syukurlah, ia tidak menolak tawaran Yudi. Aku pun tersenyum dengan semringah.

"Ya sudah, gue pamit ya! Salam buat Irma," ucapnya sembari pergi.

Setelah ia pergi, aku pun memeluk Mas Hendra dari arah belakang. Tak kusangka ia lebih memikirkan aku ketimbang ibunya.

"Dek, kalau nanti kita pindah ke kota, aku boleh mengirimkan Ibu uang?" tanyanya membuatku terkejut. Ternyata ia masih berat meninggalkan ibu.

"Mas, kalau kamu berat, lebih baik tidak usah. Kita di sini saja," jawabku.

"Aku hanya minta pendapatmu, Dek. Kalau tidak diperbolehkan, itu nggak akan aku lakukan," terangnya.

"Mas, kalau untuk makan, kirimkan untuk Ibu, tapi kalau untuk neko-neko lebih baik jangan, nanti adikmu jadi ngelunjak," cetusku.

"Siapa yang ngelunjak?" Tiba-tiba ibu dan Kasih muncul dari arah luar. Aku lupa menutup pintu saat Yudi pergi dari sini. Astaga, mereka pasti mencoba menyudutkan aku.

"Bu, Ibu dari mana?" tanya Mas Hendra panik. Ia pasti takut ibu marah padaku. Makanya ia mengalihkan pembicaraan.

"Mbak membicarakan aku, ya?" tanya Kasih dengan nada kesal. Ia langsung duduk tanpa dipersilahkan dan mengangkat kedua kakinya, ia sungguh tidak sopan. Meskipun ini rumah kakaknya, ia seperti tak menghargaiku yang masih berdiri.

"Nggak, Kasih. Siapa yang membicarakan kamu? Mas dan Mbak Irma hanya mengandai-andai,"elak Mas Hendra. Aku tahu ia sedang berusaha membelaku.

"Sudahlah, ibu ke sini mau bicara padamu, Hendra. Empat mata!" ketusnya. Matanya melirik ke arahku. Sepertinya ada yang ingin dibicarakan serius olehnya.

"Mah, aku dan Irma sudah berjanji nggak akan ada rahasia di antara kita, jadi ngomong aja di sini, di hadapan Irma," jawab Mas Hendra. Aku hanya mendengarkan mereka bicara.

"Baiklah, Ibu kalau begitu, Ibu akan bicara di depan Irma," cetusnya. Nada bicaranya seperti orang sombong, aku tidak begitu menyukainya.

"Linda, masuklah!" teriak ibu. Siapa yang disebut? Linda? Ngapain ibu memanggil Linda ke sini? Bukankah dia adalah wanita yang disebut-sebut ibu?

Bukan hanya aku, Mas Hendra pun tercengang saat ibu memanggil nama Linda dan menyuruhnya masuk.

"Bu, kenapa ada Linda di sini?" tanya Mas Hendra heran.

"Duduk, Linda! Irma, tolong buatkan minum untuk anak kepala desa di sini, kamu harus menghargai orang terhormat datang ke sini," celetuknya membuat darahku bergemuruh seketika.

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menyadarkan Mertua Pelit   Bab 19

    Pov Bu Septi Semenjak itulah aku berjanji pada diri sendiri, suamiku tak boleh merantau ke Jakarta tapi kenyataannya pekerjaan yang ia dapatkan selalu berada di Jakarta, tapi ada perjanjian di antara kami berdua, jika ia menikah lagi, maka anak-anak takkan bisa ia dapatkan sekalipun aku mati. Dalam perjanjian, jika aku mati sebelum anak-anak menikah, maka mereka akan ditaruh di panti asuhan.Rasa trauma yang aku alami sejak beranjak dewasa itu, membuatku tak ingin memiliki menantu orang jauh. Terlebih-lebih karena perlakuan ayahku dulu, aku jadi lebih menjadikan anakku, Hendra, adalah orang yang harus sayang dan nurut terhadap semua kata-kataku. Namun, kenyataan ini telah berbeda ketika ia bertemu dengan Irma. Ia berubah, tak lagi menuruti kata-kataku."Bu, Irma hanya ingin Mas Hendra tidak durhaka pada Ibu, makanya aku mengalah, tetaplah menjadi Ibu dari suamiku," pinta Irma yang tiba-tiba turun dari mobil mewahnya.Aku tetap pada pendirian, tidak ingin berbagi Hendra pada wanita ya

  • Menyadarkan Mertua Pelit   Bab 18

    POV Bu SeptiAku mengambil ponsel yang berada di atas meja. Tak ingin menyia-nyiakan waktu, aku harus gerak cepat untuk menyusul bapak ke Jakarta."Halo, Linda, kamu sudah di rumah?" tanyaku padanya. "Ada apa Bu? Nggak usah basa-basi," ketusnya."Linda, kamu bisa nolong saya nggak? Belikan tiket pesawat yang menuju Jakarta. Agar cepat sampai ke sana. Suamiku kecelakaan," pintaku. Khayalanku Linda panik ketika mendengar berita ini, tapi kenyataannya ia malah tertawa renyah hingga membuat telingaku sedikit berdenging."Linda! Kenapa tertawa?" tanyaku heran."Ya tertawa lah, anakmu sudah jadi orang kaya, tapi ibunya masih minta-minta," ejeknya. Kemudian telepon ia matikan. Astaga, aku mengelus dada dan menghela napas dalam-dalam.Ini yang dinamakan sudah jatuh tertimpa tangga pula. Aku sudah ditinggalkan, kini bapak kecelakaan."Bu, kita telepon Mas Hendra dan Mbak Irma saja, pasti ditolong!" tekan Kasih.Aku tetap tidak mau, biarkan saja aku kocek tabungan yang sudah kubelikan emas. "

  • Menyadarkan Mertua Pelit   Bab 17

    POV Bu SeptiAku sudah kepalang tanggung membenci Irma. Meskipun sudah mengetahui bahwa Irma adalah anak orang kaya, sepertinya rasa malu dan gengsi menerimanya sebagai menantu sudah tak mungkin meleleh dari hati ini. Biarkan saja aku suruh Hendra memilih, ibu yang melahirkannya atau wanita yang baru ia temui dalam hitungan tahun."Bu, bisakah Ibu tidak memberikan pilihan? Irma sudah membuka jati dirinya, apa yang Ibu cari lagi? Bukankah selama ini, keinginan Ibu adalah aku menikah dengan orang kaya? Sekarang sudah terkabul, Bu!" Hendra terus menerus membela Irma, aku tak sudi menerima wanita kota itu menjadi menantu. Bisa-bisa nanti aku akan dijadikan pembantu olehnya, seperti yang dikatakan oleh Linda."Pergi kalian dari sini!" Aku usir mereka, orang yang terbilang berkuasa. Namun, karena kekuasaan mereka lah berani membeli Hendra, anakku."Bu, apa Ibu sebegitu membenciku?" tanya Irma. Aku tak menoleh sedikitpun ke arahnya."Irma, sudahlah, sudah cukup kamu tidak usah melanjutkan pe

  • Menyadarkan Mertua Pelit   Bab 16

    Mas Hendra sudah berada tepat di hadapanku. Ia menatap dengan mata berkaca-kaca. Aku tidak mengetahui apa yang ada di benaknya saat ini. "Mas, maafkan aku," tuturku melas. Berharap ia tidak tersinggung dengan apa yang telah kuucapkan.Kemudian, Mas Hendra meraih tangan papa juga mama. Ia mengecup tangan mereka. Napasku pun sontak berhembus. Lalu aku tersenyum sambil menutup mulut ini dengan kedua tanganku."Pah, Mah, maafkan aku," pinta Mas Hendra. Aku pikir ia akan marah padaku. Namun, kenyataannya Mas Hendra justru minta maaf kepada orang tuaku."Sudahlah Hendra, kami yang meminta maaf, karena telah merahasiakan ini semua dari kamu," jawab papa. "Jadi, ini benar? Pemilik perusahaan yang aku kelola adalah mertuaku?" tanya Mas Hendra dengan mata berkaca-kaca."Kenapa kalian lakukan ini pada kami? Ingin menghina seenak kalian?" sentak mertuaku. Ibu membuat Mas Hendra tiba-tiba menoleh ke arahnya. Kemudian, rasa haru tadi kini berubah menjadi kisruh."Bu! Jangan seperti itu, tolong ja

  • Menyadarkan Mertua Pelit   Bab 15

    "Periksa saja, Mas. Jika itu kamu sudah tidak percaya kepadaku," jawabku dengan lantang. Mas Hendra takkan melakukan itu, ia sangat mempercayai istrinya."Aku percaya padamu, Sayang. Takkan mungkin kamu curiga padaku," cetusku padanya.Kemudian ia Linda pun merampas tas ku, ia semena-mena mengambil milik orang lain. Tidak ada sopan santunnya."Linda! Kamu tidak memiliki tata krama, merampas tas milik orang lain, itu nggak sopan!" teriak Mas Hendra. Aku hanya terdiam, tak bicara apapun padanya. Pembelaan hanya membuat Mas Hendra justru curiga.Aku lihat dahi Linda mengerut, ia seperti kehilangan cara untuk membuat Mas Hendra kehilangan kepercayaannya padaku. "Bagaimana? Ada bukti untuk menuduhku?" sindirku pada Linda. "Kok nggak ada ya? Bukankah dari rumah kamu ingin membius Bu Septi?" tanya Linda membuatku bertanya-tanya. Itu artinya dia punya mata-mata. Berati ia memang sengaja ingin memfitnahku."Kamu kok bisa bicara seperti itu pada Irma? Apakah ini sengaja kamu lakukan untuk mem

  • Menyadarkan Mertua Pelit   Bab 14

    POV IrmaKetika Mas Hendra berangkat ke kebun, di mana tempat itu adalah sebagai saksi bahwa pengakuanku dan keluarga nanti. Tiba-tiba papa menghubungiku."Irma, datanglah ke kebun, kata Gery, di sana ada ibunya Hendra," pesan papa."Kan memang Papa akan mengumumkan sesuatu di sana, bagus dong jika Ibu tahu?" pungkasku."Tidak begitu, Sayang. Mama tidak setuju, ia ingin kamu tidak cerita terlebih dahulu tentang ini," sahutnya."Jadi apa yang harus kulakukan?" tanyaku pada papa."Ajak Ibu mertuamu pulang, nanti kita bicarakan di rumahnya saja," sambung papa. Kemudian telepon pun terputus.Aku mulai berpikir bagaimana caranya agar ibu mau pulang bersamaku. Sepertinya ia tidak mungkin mau pulang tanpa alasan.Aku siapkan obat bius untuk membuatnya pingsan. Namun, di saat aku mempersiapkan itu semua. Ternyata ibu malah pingsan betulan. Saat itu aku menjadi merasa bersalah. Niat ingin membiusnya malah ternyata ia benar-benar pingsan.Kami semua panik, termasuk Linda yang berada di sampingn

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status