Share

bab 3

"Mas, kamu kan baru-baru ini memberikanku uang sedikit, biasanya juga 500 ribu seminggu, meskipun kadang-kadang 200 ribu - 300 ribu seminggu. Aku ikhlas kamu berikan segitu, itu aku tabung loh, Mas. Setiap minggunya masih sisa 200 ribuan," ungkapku mengalihkan pembicaraan. Padahal, simpananku nggak banyak, ini semua uang transferan dari papa diam-diam.

"Maafin aku ya, Dek. Terima kasih sudah sabar berumah tangga denganku, insyaallah aku akan berusaha membahagiakanmu," lirihnya membuatku perih.

Ia serba salah, ingin membahagiakanku tapi terkadang ibunya selalu ingin dibahagiakan juga olehnya.

"Kita jalani sama-sama, Mas. Semoga setelah ini, Ibu nggak berani kredit-kredit handphone lagi, kita kan nggak tahu bagaimana nasib kita selanjutnya," pesanku.

"Ibu hanya terpengaruh oleh Kasih, mungkin Kasih yang harus kita nasihati," sanggahnya. Memang sepertinya Mas Hendra tidak mau disebut durhaka, jadi ia terus menerus membela ibunya. Sebaiknya aku tak usah terus menerus menyalahkan ibu juga. Suatu saat pasti akan ketahuan belangnya.

"Ya sudah, lanjutin makan, yuk!" ajakku. Kemudian kami berdua makan, dan menyantap makanan enak.

Sore harinya kami pun hendak menjual motor yang terparkir di depan rumah. Aku rasa ini jalan terbaik. Biarkan Mas Hendra menjadi pedagang, yang penting ia berusaha untuk mencukupi kebutuhanku.

Baru mau melangkahkan kaki ini, teman Mas Hendra datang.

"Ndra, gue baru tahu elu dipecat," ucap Yudi yang tiba-tiba muncul.

"Iya, Yud, udah jalannya seperti ini."

"Masuk, Yud!" Mas Hendra mempersilahkan Yudi untuk masuk, kami pun mengurungkan niat menjual motor ke jual beli motor bekas.

Aku menyuguhkan tes manis untuk Yudi, lalu masuk ke dalam sambil menguping apa yang mereka bicarakan.

"Ndra, gue ada lowongan di pabrik, tapi agak jauh dari sini. Mau nggak mau elu musti pindah kontrakan," tuturnya membuatku terkejut dan bersyukur. Akhirnya tanpa harus menjual motor, Mas Hendra mendapatkan kerjaan.

"Ngontrak jauh dari kampung ini? Bagaimana dengan ibuku, ya? Aku berat ninggalinnya." Aku tetap bertahan bersembunyi di balik pintu ruang televisi.

"Ndra, rumah tangga tuh lebih baik jauh sekalian dari orang tua maupun mertua, gue jamin, entar elu bahagia kalau tinggal di kota," seru Yudi. Aku menunggu jawaban dari Mas Hendra. Apakah ia setuju dengan tawaran Yudi?

Kenyataannya, ia hanya bergeming, tak bicara satu katapun. Mungkin sedang memikirkan jawaban tawaran dari Yudi.

"Iya juga sih, ya udah, besok gue coba ke sana deh, mana alamatnya?" Syukurlah, ia tidak menolak tawaran Yudi. Aku pun tersenyum dengan semringah.

"Ya sudah, gue pamit ya! Salam buat Irma," ucapnya sembari pergi.

Setelah ia pergi, aku pun memeluk Mas Hendra dari arah belakang. Tak kusangka ia lebih memikirkan aku ketimbang ibunya.

"Dek, kalau nanti kita pindah ke kota, aku boleh mengirimkan Ibu uang?" tanyanya membuatku terkejut. Ternyata ia masih berat meninggalkan ibu.

"Mas, kalau kamu berat, lebih baik tidak usah. Kita di sini saja," jawabku.

"Aku hanya minta pendapatmu, Dek. Kalau tidak diperbolehkan, itu nggak akan aku lakukan," terangnya.

"Mas, kalau untuk makan, kirimkan untuk Ibu, tapi kalau untuk neko-neko lebih baik jangan, nanti adikmu jadi ngelunjak," cetusku.

"Siapa yang ngelunjak?" Tiba-tiba ibu dan Kasih muncul dari arah luar. Aku lupa menutup pintu saat Yudi pergi dari sini. Astaga, mereka pasti mencoba menyudutkan aku.

"Bu, Ibu dari mana?" tanya Mas Hendra panik. Ia pasti takut ibu marah padaku. Makanya ia mengalihkan pembicaraan.

"Mbak membicarakan aku, ya?" tanya Kasih dengan nada kesal. Ia langsung duduk tanpa dipersilahkan dan mengangkat kedua kakinya, ia sungguh tidak sopan. Meskipun ini rumah kakaknya, ia seperti tak menghargaiku yang masih berdiri.

"Nggak, Kasih. Siapa yang membicarakan kamu? Mas dan Mbak Irma hanya mengandai-andai,"elak Mas Hendra. Aku tahu ia sedang berusaha membelaku.

"Sudahlah, ibu ke sini mau bicara padamu, Hendra. Empat mata!" ketusnya. Matanya melirik ke arahku. Sepertinya ada yang ingin dibicarakan serius olehnya.

"Mah, aku dan Irma sudah berjanji nggak akan ada rahasia di antara kita, jadi ngomong aja di sini, di hadapan Irma," jawab Mas Hendra. Aku hanya mendengarkan mereka bicara.

"Baiklah, Ibu kalau begitu, Ibu akan bicara di depan Irma," cetusnya. Nada bicaranya seperti orang sombong, aku tidak begitu menyukainya.

"Linda, masuklah!" teriak ibu. Siapa yang disebut? Linda? Ngapain ibu memanggil Linda ke sini? Bukankah dia adalah wanita yang disebut-sebut ibu?

Bukan hanya aku, Mas Hendra pun tercengang saat ibu memanggil nama Linda dan menyuruhnya masuk.

"Bu, kenapa ada Linda di sini?" tanya Mas Hendra heran.

"Duduk, Linda! Irma, tolong buatkan minum untuk anak kepala desa di sini, kamu harus menghargai orang terhormat datang ke sini," celetuknya membuat darahku bergemuruh seketika.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status