Share

bab 2

Lalu apa bedanya aku dan ibu? Ia juga utang handphone untuk Kasih Wulandari, adik dari Mas Hendra. Bukankah itu tidak penting? Hanya untuk gaya sosialitanya dengan teman-teman kuliah, ia rela menyulitkan Mas Hendra yang sudah berkeluarga.

"Bu, bukankah ibu yang sudah utang? Handphone untuk Kasih, apa itu bukan utang namanya?" sindirku seraya ingin meluapkan semua emosi ini.

Kemudian, terlihat wajah sang ibu memerah, ia tampak menentang ucapanku, menantu yang tak pernah diinginkannya.

"Hendra itu sial menikah dengan kamu, coba dulu mau dengan anak kepala desa di sini, ngapain coba nikah dengan orang kota macam kamu, yang nggak tahu asal-usul keluarganya. Saya heran, jangan-jangan kamu sudah melet anak saya, ya?" tuduhnya membuatku kehilangan kesabaran. Namun, teringat pesan papa, jika ingin melihat karakter seseorang, jatuhkan harga diri kita terlebih dahulu di hadapannya.

Aku mengembuskan napas pelan-pelan, lalu mendekati wajah ibu mertuaku.

"Bu, dengar ya. Kalaupun Mas Hendra memilih aku sebagai pendamping hidupnya, itu bukan berati aku bermain dukun. Apa-apa disebut dukun!" cetusku tepat di hadapannya.

"Linda anak kepala desa di sini tuh masih nungguin Hendra. Kamu ndak tahu, kalau Hendra di sini itu pria idaman. Makanya ibu tuh nyesel banget ngerestuin kalian," jawabnya lirih. Astaga, darahku makin mendidih, beruntungnya aku masih menghargainya sebagai mertua. Kalau tidak, pasti sudah kulayangkan tangan seketika.

"Mas Hendra-nya mau atau tidak? Kalau mau, silahkan nikahkan anakmu dengan Linda, si anak kepala desa," sungutku sudah teramat kesal. Marahku sudah berada di ubun-ubun. Namun, masih teringat perlakuan Mas Hendra terhadapku yang teramat tulus.

Sebaiknya aku hentikan perdebatan ini, lagi pula ada apa sih ibu ke sini? Kalau hanya untuk berdebat soal uang rasanya aku ingin lempar di hadapannya uang segepok agar ia diam.

"Ada apa ini?" tanya Mas Hendra yang tiba-tiba muncul. Tumben sekali ia pulang di siang hari seperti ini.

"Mas," aku tersentak tapi tetap berusaha tenang, kemudian kuraih tangan Mas Hendra untuk mengecup tangannya yang kasar demi menafkahi aku.

"Kok kamu sudah pulang?" tanya ibu heran. Kedua alisnya ditautkan, tangannya disilangkan seperti ibu bos yang sedang mengintrogasi anak buahnya.

"Aku dipecat, Bu," ucapnya lirih. Aku terkejut, kenapa bisa dipecat? Astaga, dengan bekerja saja aku dinafkahi dengan uang sisa, apalagi kalau tidak bekerja.

Kulihat raut wajah ibu berubah garang, aku coba mendekati Mas Hendra, sembari menenangkannya bahwa rezeki ada di mana-mana bukan hanya di pabrik tempat ia bekerja.

"Kenapa bisa dipecat?" tanya ibu membentak.

"Bu, kemarin Ibu ke pabrik, kata kepala bagian, itulah penyebabnya," terang Mas Hendra.

Aku menghela napas, ternyata penyebabnya adalah ibunya sendiri. Mau bicara apa mertuaku kalau penyebabnya dia sendiri.

"Nggak masuk akal, masa didatangi ibunya malah dipecat. Pasti ini karena kesialan Irma, kamu tuh semenjak nikah dengan Irma sial terus!" celetuknya menyakitkan. Mas Hendra merangkul bahuku, kemudian kepalanya disandarkan di bahu ini.

"Tidak, Bu. Jangan kaitkan ini dengan pernikahan kami, nikah itu ibadah, ini hanya ujian rumah tangga kami berdua," tegas Mas Hendra. Inilah yang membuatku enggan meninggalkan Mas Hendra. Ia begitu tulus dan mencintaiku apa adanya, aku yakin Mas Hendra adalah jodohku dunia akhirat.

Aku menggenggam tangannya, kemudian tersenyum ke arah wajah laki-laki yang amat lelah.

"Lalu kamu mau ngapain di rumah? Nggak kerja, bagaimana nasib cicilan ibu? Terus dapur ibu juga gimana? Kamu tahu kan Bapakmu pulang ke kampung sebulan sekali." Pertanyaan yang keluar dari mulut ibu bertubi-tubi, terlihat sekali ia kebingungan jika Mas Hendra tak menghasilkan uang.

"Aku tidak keberatan kamu dipecat, semoga ada rezeki di tempat lain. Bagaimana kalau kamu jual motor, terus kita dagang saja, Mas!" usulku membuat mata ibu mendelik.

"Jual, apa-apa jual, nanti nggak punya apa-apa, sudahlah ibu pulang saja, pokoknya kamu harus terus bayarin cicilan handphone adikmu, Kasih!" celetuknya lagi. Aku mencoba mengelus dada. Cicilan terus yang ia pikirkan, bukan perutnya yang dipikirkan, apakah bisa makan besok. Kesal kian berapi-api jika terus menerus melihat kelakuan ibu mertua.

"Bu ... Aku antar ya!" teriak Mas Hendra.

"Ndak usah!" tolaknya kemudian ia jalan kaki, tak jauh jarak rumahnya dengan rumah kami.

"Ya sudah, Mas, kamu mandi sana, terus makan!" suruhku, kemudian ia bergegas ke kamar mandi.

Tidak lama kemudian, papa mengirimkan chat melalui pesan W******p.

[Hendra sudah dipecat, biarkan ibu mertuamu kebingungan mencari uang untuk membayar cicilan handphone untuk Kasih Wulandari. Kamu happy terus bersama Hendra ya, Nak. Papa yakin ia orang baik, tapi sekelilingnya saja yang selalu menilai orang dari harta saja.]

Ternyata dipecatnya Mas Hendra dari pabrik adalah kerjaan papa. Bagaimana bisa? Bukankah pabrik yang papa miliki ada di kota, bukan di kampung ini! Aku delete pesannya, khawatir Mas Hendra membacanya.

Mumpung Mas Hendra mandi, aku bergegas ke restoran terdekat, untuk membelikan ia makanan empat sehat lima sempurna. Mas Hendra kan kalau mandi lama bisa setengah jam.

Setelah Mas Hendra mandi, ia pun menyendok nasi dan lauk pauk. Namun, wajah keheranan muncul saat melihat lauk-pauknya.

"Dek, ini menunya? Aku mau tanya, uang dari mana untuk membeli ini semua? Ada ayam dan cah kangkung, juga sup iga sapi." Pertanyaannya membuatku kebingungan sendiri.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status