Share

bab 2

Penulis: HERI_NAYALBIL
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-02 23:04:27

Lalu apa bedanya aku dan ibu? Ia juga utang handphone untuk Kasih Wulandari, adik dari Mas Hendra. Bukankah itu tidak penting? Hanya untuk gaya sosialitanya dengan teman-teman kuliah, ia rela menyulitkan Mas Hendra yang sudah berkeluarga.

"Bu, bukankah ibu yang sudah utang? Handphone untuk Kasih, apa itu bukan utang namanya?" sindirku seraya ingin meluapkan semua emosi ini.

Kemudian, terlihat wajah sang ibu memerah, ia tampak menentang ucapanku, menantu yang tak pernah diinginkannya.

"Hendra itu sial menikah dengan kamu, coba dulu mau dengan anak kepala desa di sini, ngapain coba nikah dengan orang kota macam kamu, yang nggak tahu asal-usul keluarganya. Saya heran, jangan-jangan kamu sudah melet anak saya, ya?" tuduhnya membuatku kehilangan kesabaran. Namun, teringat pesan papa, jika ingin melihat karakter seseorang, jatuhkan harga diri kita terlebih dahulu di hadapannya.

Aku mengembuskan napas pelan-pelan, lalu mendekati wajah ibu mertuaku.

"Bu, dengar ya. Kalaupun Mas Hendra memilih aku sebagai pendamping hidupnya, itu bukan berati aku bermain dukun. Apa-apa disebut dukun!" cetusku tepat di hadapannya.

"Linda anak kepala desa di sini tuh masih nungguin Hendra. Kamu ndak tahu, kalau Hendra di sini itu pria idaman. Makanya ibu tuh nyesel banget ngerestuin kalian," jawabnya lirih. Astaga, darahku makin mendidih, beruntungnya aku masih menghargainya sebagai mertua. Kalau tidak, pasti sudah kulayangkan tangan seketika.

"Mas Hendra-nya mau atau tidak? Kalau mau, silahkan nikahkan anakmu dengan Linda, si anak kepala desa," sungutku sudah teramat kesal. Marahku sudah berada di ubun-ubun. Namun, masih teringat perlakuan Mas Hendra terhadapku yang teramat tulus.

Sebaiknya aku hentikan perdebatan ini, lagi pula ada apa sih ibu ke sini? Kalau hanya untuk berdebat soal uang rasanya aku ingin lempar di hadapannya uang segepok agar ia diam.

"Ada apa ini?" tanya Mas Hendra yang tiba-tiba muncul. Tumben sekali ia pulang di siang hari seperti ini.

"Mas," aku tersentak tapi tetap berusaha tenang, kemudian kuraih tangan Mas Hendra untuk mengecup tangannya yang kasar demi menafkahi aku.

"Kok kamu sudah pulang?" tanya ibu heran. Kedua alisnya ditautkan, tangannya disilangkan seperti ibu bos yang sedang mengintrogasi anak buahnya.

"Aku dipecat, Bu," ucapnya lirih. Aku terkejut, kenapa bisa dipecat? Astaga, dengan bekerja saja aku dinafkahi dengan uang sisa, apalagi kalau tidak bekerja.

Kulihat raut wajah ibu berubah garang, aku coba mendekati Mas Hendra, sembari menenangkannya bahwa rezeki ada di mana-mana bukan hanya di pabrik tempat ia bekerja.

"Kenapa bisa dipecat?" tanya ibu membentak.

"Bu, kemarin Ibu ke pabrik, kata kepala bagian, itulah penyebabnya," terang Mas Hendra.

Aku menghela napas, ternyata penyebabnya adalah ibunya sendiri. Mau bicara apa mertuaku kalau penyebabnya dia sendiri.

"Nggak masuk akal, masa didatangi ibunya malah dipecat. Pasti ini karena kesialan Irma, kamu tuh semenjak nikah dengan Irma sial terus!" celetuknya menyakitkan. Mas Hendra merangkul bahuku, kemudian kepalanya disandarkan di bahu ini.

"Tidak, Bu. Jangan kaitkan ini dengan pernikahan kami, nikah itu ibadah, ini hanya ujian rumah tangga kami berdua," tegas Mas Hendra. Inilah yang membuatku enggan meninggalkan Mas Hendra. Ia begitu tulus dan mencintaiku apa adanya, aku yakin Mas Hendra adalah jodohku dunia akhirat.

Aku menggenggam tangannya, kemudian tersenyum ke arah wajah laki-laki yang amat lelah.

"Lalu kamu mau ngapain di rumah? Nggak kerja, bagaimana nasib cicilan ibu? Terus dapur ibu juga gimana? Kamu tahu kan Bapakmu pulang ke kampung sebulan sekali." Pertanyaan yang keluar dari mulut ibu bertubi-tubi, terlihat sekali ia kebingungan jika Mas Hendra tak menghasilkan uang.

"Aku tidak keberatan kamu dipecat, semoga ada rezeki di tempat lain. Bagaimana kalau kamu jual motor, terus kita dagang saja, Mas!" usulku membuat mata ibu mendelik.

"Jual, apa-apa jual, nanti nggak punya apa-apa, sudahlah ibu pulang saja, pokoknya kamu harus terus bayarin cicilan handphone adikmu, Kasih!" celetuknya lagi. Aku mencoba mengelus dada. Cicilan terus yang ia pikirkan, bukan perutnya yang dipikirkan, apakah bisa makan besok. Kesal kian berapi-api jika terus menerus melihat kelakuan ibu mertua.

"Bu ... Aku antar ya!" teriak Mas Hendra.

"Ndak usah!" tolaknya kemudian ia jalan kaki, tak jauh jarak rumahnya dengan rumah kami.

"Ya sudah, Mas, kamu mandi sana, terus makan!" suruhku, kemudian ia bergegas ke kamar mandi.

Tidak lama kemudian, papa mengirimkan chat melalui pesan W******p.

[Hendra sudah dipecat, biarkan ibu mertuamu kebingungan mencari uang untuk membayar cicilan handphone untuk Kasih Wulandari. Kamu happy terus bersama Hendra ya, Nak. Papa yakin ia orang baik, tapi sekelilingnya saja yang selalu menilai orang dari harta saja.]

Ternyata dipecatnya Mas Hendra dari pabrik adalah kerjaan papa. Bagaimana bisa? Bukankah pabrik yang papa miliki ada di kota, bukan di kampung ini! Aku delete pesannya, khawatir Mas Hendra membacanya.

Mumpung Mas Hendra mandi, aku bergegas ke restoran terdekat, untuk membelikan ia makanan empat sehat lima sempurna. Mas Hendra kan kalau mandi lama bisa setengah jam.

Setelah Mas Hendra mandi, ia pun menyendok nasi dan lauk pauk. Namun, wajah keheranan muncul saat melihat lauk-pauknya.

"Dek, ini menunya? Aku mau tanya, uang dari mana untuk membeli ini semua? Ada ayam dan cah kangkung, juga sup iga sapi." Pertanyaannya membuatku kebingungan sendiri.

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menyadarkan Mertua Pelit   Bab 19

    Pov Bu Septi Semenjak itulah aku berjanji pada diri sendiri, suamiku tak boleh merantau ke Jakarta tapi kenyataannya pekerjaan yang ia dapatkan selalu berada di Jakarta, tapi ada perjanjian di antara kami berdua, jika ia menikah lagi, maka anak-anak takkan bisa ia dapatkan sekalipun aku mati. Dalam perjanjian, jika aku mati sebelum anak-anak menikah, maka mereka akan ditaruh di panti asuhan.Rasa trauma yang aku alami sejak beranjak dewasa itu, membuatku tak ingin memiliki menantu orang jauh. Terlebih-lebih karena perlakuan ayahku dulu, aku jadi lebih menjadikan anakku, Hendra, adalah orang yang harus sayang dan nurut terhadap semua kata-kataku. Namun, kenyataan ini telah berbeda ketika ia bertemu dengan Irma. Ia berubah, tak lagi menuruti kata-kataku."Bu, Irma hanya ingin Mas Hendra tidak durhaka pada Ibu, makanya aku mengalah, tetaplah menjadi Ibu dari suamiku," pinta Irma yang tiba-tiba turun dari mobil mewahnya.Aku tetap pada pendirian, tidak ingin berbagi Hendra pada wanita ya

  • Menyadarkan Mertua Pelit   Bab 18

    POV Bu SeptiAku mengambil ponsel yang berada di atas meja. Tak ingin menyia-nyiakan waktu, aku harus gerak cepat untuk menyusul bapak ke Jakarta."Halo, Linda, kamu sudah di rumah?" tanyaku padanya. "Ada apa Bu? Nggak usah basa-basi," ketusnya."Linda, kamu bisa nolong saya nggak? Belikan tiket pesawat yang menuju Jakarta. Agar cepat sampai ke sana. Suamiku kecelakaan," pintaku. Khayalanku Linda panik ketika mendengar berita ini, tapi kenyataannya ia malah tertawa renyah hingga membuat telingaku sedikit berdenging."Linda! Kenapa tertawa?" tanyaku heran."Ya tertawa lah, anakmu sudah jadi orang kaya, tapi ibunya masih minta-minta," ejeknya. Kemudian telepon ia matikan. Astaga, aku mengelus dada dan menghela napas dalam-dalam.Ini yang dinamakan sudah jatuh tertimpa tangga pula. Aku sudah ditinggalkan, kini bapak kecelakaan."Bu, kita telepon Mas Hendra dan Mbak Irma saja, pasti ditolong!" tekan Kasih.Aku tetap tidak mau, biarkan saja aku kocek tabungan yang sudah kubelikan emas. "

  • Menyadarkan Mertua Pelit   Bab 17

    POV Bu SeptiAku sudah kepalang tanggung membenci Irma. Meskipun sudah mengetahui bahwa Irma adalah anak orang kaya, sepertinya rasa malu dan gengsi menerimanya sebagai menantu sudah tak mungkin meleleh dari hati ini. Biarkan saja aku suruh Hendra memilih, ibu yang melahirkannya atau wanita yang baru ia temui dalam hitungan tahun."Bu, bisakah Ibu tidak memberikan pilihan? Irma sudah membuka jati dirinya, apa yang Ibu cari lagi? Bukankah selama ini, keinginan Ibu adalah aku menikah dengan orang kaya? Sekarang sudah terkabul, Bu!" Hendra terus menerus membela Irma, aku tak sudi menerima wanita kota itu menjadi menantu. Bisa-bisa nanti aku akan dijadikan pembantu olehnya, seperti yang dikatakan oleh Linda."Pergi kalian dari sini!" Aku usir mereka, orang yang terbilang berkuasa. Namun, karena kekuasaan mereka lah berani membeli Hendra, anakku."Bu, apa Ibu sebegitu membenciku?" tanya Irma. Aku tak menoleh sedikitpun ke arahnya."Irma, sudahlah, sudah cukup kamu tidak usah melanjutkan pe

  • Menyadarkan Mertua Pelit   Bab 16

    Mas Hendra sudah berada tepat di hadapanku. Ia menatap dengan mata berkaca-kaca. Aku tidak mengetahui apa yang ada di benaknya saat ini. "Mas, maafkan aku," tuturku melas. Berharap ia tidak tersinggung dengan apa yang telah kuucapkan.Kemudian, Mas Hendra meraih tangan papa juga mama. Ia mengecup tangan mereka. Napasku pun sontak berhembus. Lalu aku tersenyum sambil menutup mulut ini dengan kedua tanganku."Pah, Mah, maafkan aku," pinta Mas Hendra. Aku pikir ia akan marah padaku. Namun, kenyataannya Mas Hendra justru minta maaf kepada orang tuaku."Sudahlah Hendra, kami yang meminta maaf, karena telah merahasiakan ini semua dari kamu," jawab papa. "Jadi, ini benar? Pemilik perusahaan yang aku kelola adalah mertuaku?" tanya Mas Hendra dengan mata berkaca-kaca."Kenapa kalian lakukan ini pada kami? Ingin menghina seenak kalian?" sentak mertuaku. Ibu membuat Mas Hendra tiba-tiba menoleh ke arahnya. Kemudian, rasa haru tadi kini berubah menjadi kisruh."Bu! Jangan seperti itu, tolong ja

  • Menyadarkan Mertua Pelit   Bab 15

    "Periksa saja, Mas. Jika itu kamu sudah tidak percaya kepadaku," jawabku dengan lantang. Mas Hendra takkan melakukan itu, ia sangat mempercayai istrinya."Aku percaya padamu, Sayang. Takkan mungkin kamu curiga padaku," cetusku padanya.Kemudian ia Linda pun merampas tas ku, ia semena-mena mengambil milik orang lain. Tidak ada sopan santunnya."Linda! Kamu tidak memiliki tata krama, merampas tas milik orang lain, itu nggak sopan!" teriak Mas Hendra. Aku hanya terdiam, tak bicara apapun padanya. Pembelaan hanya membuat Mas Hendra justru curiga.Aku lihat dahi Linda mengerut, ia seperti kehilangan cara untuk membuat Mas Hendra kehilangan kepercayaannya padaku. "Bagaimana? Ada bukti untuk menuduhku?" sindirku pada Linda. "Kok nggak ada ya? Bukankah dari rumah kamu ingin membius Bu Septi?" tanya Linda membuatku bertanya-tanya. Itu artinya dia punya mata-mata. Berati ia memang sengaja ingin memfitnahku."Kamu kok bisa bicara seperti itu pada Irma? Apakah ini sengaja kamu lakukan untuk mem

  • Menyadarkan Mertua Pelit   Bab 14

    POV IrmaKetika Mas Hendra berangkat ke kebun, di mana tempat itu adalah sebagai saksi bahwa pengakuanku dan keluarga nanti. Tiba-tiba papa menghubungiku."Irma, datanglah ke kebun, kata Gery, di sana ada ibunya Hendra," pesan papa."Kan memang Papa akan mengumumkan sesuatu di sana, bagus dong jika Ibu tahu?" pungkasku."Tidak begitu, Sayang. Mama tidak setuju, ia ingin kamu tidak cerita terlebih dahulu tentang ini," sahutnya."Jadi apa yang harus kulakukan?" tanyaku pada papa."Ajak Ibu mertuamu pulang, nanti kita bicarakan di rumahnya saja," sambung papa. Kemudian telepon pun terputus.Aku mulai berpikir bagaimana caranya agar ibu mau pulang bersamaku. Sepertinya ia tidak mungkin mau pulang tanpa alasan.Aku siapkan obat bius untuk membuatnya pingsan. Namun, di saat aku mempersiapkan itu semua. Ternyata ibu malah pingsan betulan. Saat itu aku menjadi merasa bersalah. Niat ingin membiusnya malah ternyata ia benar-benar pingsan.Kami semua panik, termasuk Linda yang berada di sampingn

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status