POV Bu SeptiAku sudah kepalang tanggung membenci Irma. Meskipun sudah mengetahui bahwa Irma adalah anak orang kaya, sepertinya rasa malu dan gengsi menerimanya sebagai menantu sudah tak mungkin meleleh dari hati ini. Biarkan saja aku suruh Hendra memilih, ibu yang melahirkannya atau wanita yang baru ia temui dalam hitungan tahun."Bu, bisakah Ibu tidak memberikan pilihan? Irma sudah membuka jati dirinya, apa yang Ibu cari lagi? Bukankah selama ini, keinginan Ibu adalah aku menikah dengan orang kaya? Sekarang sudah terkabul, Bu!" Hendra terus menerus membela Irma, aku tak sudi menerima wanita kota itu menjadi menantu. Bisa-bisa nanti aku akan dijadikan pembantu olehnya, seperti yang dikatakan oleh Linda."Pergi kalian dari sini!" Aku usir mereka, orang yang terbilang berkuasa. Namun, karena kekuasaan mereka lah berani membeli Hendra, anakku."Bu, apa Ibu sebegitu membenciku?" tanya Irma. Aku tak menoleh sedikitpun ke arahnya."Irma, sudahlah, sudah cukup kamu tidak usah melanjutkan pe
POV Bu SeptiAku mengambil ponsel yang berada di atas meja. Tak ingin menyia-nyiakan waktu, aku harus gerak cepat untuk menyusul bapak ke Jakarta."Halo, Linda, kamu sudah di rumah?" tanyaku padanya. "Ada apa Bu? Nggak usah basa-basi," ketusnya."Linda, kamu bisa nolong saya nggak? Belikan tiket pesawat yang menuju Jakarta. Agar cepat sampai ke sana. Suamiku kecelakaan," pintaku. Khayalanku Linda panik ketika mendengar berita ini, tapi kenyataannya ia malah tertawa renyah hingga membuat telingaku sedikit berdenging."Linda! Kenapa tertawa?" tanyaku heran."Ya tertawa lah, anakmu sudah jadi orang kaya, tapi ibunya masih minta-minta," ejeknya. Kemudian telepon ia matikan. Astaga, aku mengelus dada dan menghela napas dalam-dalam.Ini yang dinamakan sudah jatuh tertimpa tangga pula. Aku sudah ditinggalkan, kini bapak kecelakaan."Bu, kita telepon Mas Hendra dan Mbak Irma saja, pasti ditolong!" tekan Kasih.Aku tetap tidak mau, biarkan saja aku kocek tabungan yang sudah kubelikan emas. "
Pov Bu Septi Semenjak itulah aku berjanji pada diri sendiri, suamiku tak boleh merantau ke Jakarta tapi kenyataannya pekerjaan yang ia dapatkan selalu berada di Jakarta, tapi ada perjanjian di antara kami berdua, jika ia menikah lagi, maka anak-anak takkan bisa ia dapatkan sekalipun aku mati. Dalam perjanjian, jika aku mati sebelum anak-anak menikah, maka mereka akan ditaruh di panti asuhan.Rasa trauma yang aku alami sejak beranjak dewasa itu, membuatku tak ingin memiliki menantu orang jauh. Terlebih-lebih karena perlakuan ayahku dulu, aku jadi lebih menjadikan anakku, Hendra, adalah orang yang harus sayang dan nurut terhadap semua kata-kataku. Namun, kenyataan ini telah berbeda ketika ia bertemu dengan Irma. Ia berubah, tak lagi menuruti kata-kataku."Bu, Irma hanya ingin Mas Hendra tidak durhaka pada Ibu, makanya aku mengalah, tetaplah menjadi Ibu dari suamiku," pinta Irma yang tiba-tiba turun dari mobil mewahnya.Aku tetap pada pendirian, tidak ingin berbagi Hendra pada wanita ya
"Ini uang untukmu, seminggu cukup?" tanya suamiku Hendra. Kubuka lembaran merah, hanya selembar untuk seminggu?"Seratus ribu, Mas?" tanyaku balik setelah membuka lipatan kertas berwarna merah itu. Wajahnya yang sengaja ia tundukkan kini menyorot pandangan ke arahku."Iya, itu 100.000 rupiah sekalian token listrik 50.000 ya, Dek. Tolong ikhlaskan!" Ia memohon dengan menggenggam tangan ini.Aku tersenyum tipis, kemudian pergi membeli token listrik. Suara bunyi alarm yang telah berdering sejak maghrib tadi, akhirnya hening saat aku pulang dan menekan nomor pembelian token.Dari uang yang ia berikan selama seminggu ini, tersisa 47.000 rupiah. Entahlah cukup atau tidak uang segini, aku harus memikirkan cara sendiri agar cukup dan kebutuhan dapur terpenuhi.Mas Hendra pun merebahkan tubuhnya, ia menceritakan perihal pekerjaannya."Aku ingin cerita, Dek. Boleh?" tanyanya. Namun, rasa kesal masih ada di dalam dada atas pemberian nafkah yang menurutku tidak akan cukup untuk bertahan hingga s
Lalu apa bedanya aku dan ibu? Ia juga utang handphone untuk Kasih Wulandari, adik dari Mas Hendra. Bukankah itu tidak penting? Hanya untuk gaya sosialitanya dengan teman-teman kuliah, ia rela menyulitkan Mas Hendra yang sudah berkeluarga."Bu, bukankah ibu yang sudah utang? Handphone untuk Kasih, apa itu bukan utang namanya?" sindirku seraya ingin meluapkan semua emosi ini.Kemudian, terlihat wajah sang ibu memerah, ia tampak menentang ucapanku, menantu yang tak pernah diinginkannya."Hendra itu sial menikah dengan kamu, coba dulu mau dengan anak kepala desa di sini, ngapain coba nikah dengan orang kota macam kamu, yang nggak tahu asal-usul keluarganya. Saya heran, jangan-jangan kamu sudah melet anak saya, ya?" tuduhnya membuatku kehilangan kesabaran. Namun, teringat pesan papa, jika ingin melihat karakter seseorang, jatuhkan harga diri kita terlebih dahulu di hadapannya.Aku mengembuskan napas pelan-pelan, lalu mendekati wajah ibu mertuaku."Bu, dengar ya. Kalaupun Mas Hendra memilih
"Mas, kamu kan baru-baru ini memberikanku uang sedikit, biasanya juga 500 ribu seminggu, meskipun kadang-kadang 200 ribu - 300 ribu seminggu. Aku ikhlas kamu berikan segitu, itu aku tabung loh, Mas. Setiap minggunya masih sisa 200 ribuan," ungkapku mengalihkan pembicaraan. Padahal, simpananku nggak banyak, ini semua uang transferan dari papa diam-diam."Maafin aku ya, Dek. Terima kasih sudah sabar berumah tangga denganku, insyaallah aku akan berusaha membahagiakanmu," lirihnya membuatku perih. Ia serba salah, ingin membahagiakanku tapi terkadang ibunya selalu ingin dibahagiakan juga olehnya."Kita jalani sama-sama, Mas. Semoga setelah ini, Ibu nggak berani kredit-kredit handphone lagi, kita kan nggak tahu bagaimana nasib kita selanjutnya," pesanku."Ibu hanya terpengaruh oleh Kasih, mungkin Kasih yang harus kita nasihati," sanggahnya. Memang sepertinya Mas Hendra tidak mau disebut durhaka, jadi ia terus menerus membela ibunya. Sebaiknya aku tak usah terus menerus menyalahkan ibu jug
Bab 4Aku masuk ke dapur untuk menyediakan teh manis, lalu ada kiriman pesan chat dari papa.[Yudi itu orang suruhan Papa. Jika Hendra menolak, berati kesempatan untuk menduduki perusahaan Papa akan ia lewatkan!]Ternyata Yudi adalah orang suruhan papa, semoga saja Mas Hendra tetap memilih hijrah ke kota.Aku suguhkan teh manis untuk Linda yang dipuja-puja oleh ibu mertuaku. Kucoba tahan darah yang sudah bergemuruh dan berapi-api. Ah rasanya tidak etis sekali mertuaku membawa seorang wanita ke rumah laki-laki yang sudah memiliki istri."Duduk Hendra!" suruh ibu dengan tatapan serius. Aku pun turut duduk di samping Mas Hendra."Ya elah, takut banget diambil Mbak Linda, nggak kok Mbak Linda wanita terhormat nggak mungkin ngambil suami orang!" celetuk Kasih membuat dadaku semakin sesak. Rasanya tak tahan ingin mengeluarkan kata-kata kasar kepada Kasih."Kasih, bisa nggak kamu diam? Jangan sindir Mbak mu seperti itu!" tegas Mas Hendra. Aku pun melepaskan genggaman tangan Mas Hendra. Kemud
Bab 5"Bapak!" teriak Mas Hendra dan berlari memeluknya. Pemandangan yang membuatku haru, rasanya ingin sekali memeluk papaku juga. Sudah lama tak berjumpa dengannya."Kamu pulang ndak ngomong-ngomong, Mas?" tanya ibu pada suaminya, yaitu bapak mertuaku. Bapak yang masih berdiri di depan pintu masih tak menjawab pertanyaan ibu. Kemudian, Linda pun bergegas pergi tanpa pamit. Sepertinya ada yang dirahasiakannya. Tadi ia menagih utang, kenapa sekarang malah pergi begitu saja?"Loh kok Mbak Linda pergi? Mbak, di sini dulu!" teriak Kasih."Sudah, biarkan ia pergi, kamu duduk, Kasih!" teriak bapak sambil menunjuk ke arah kursi. Ia pun duduk dengan wajah ketakutan.Aku lupa mengecup tangan bapak mertua, setelah menikah dengan Mas Hendra, aku sudah tak pernah bertemu lagi dengannya, kecuali hari lebaran."Pak," sapaku. Ia pun tersenyum menatap wajahku. Seandainya mertua wanita sikapnya sama seperti bapak, pastilah aku akan membuka jati diriku sebenarnya."Kamu juga duduk!" tegas bapak terha