Seorang pria tua berjalan sembari membawa tas kerjanya, tetapi kemudian dia berkacak pinggang saat melihat kendaraan miliknya masih dalam keadaan kotor. Emosi pun mulai menguasai diri, membuatnya kini berteriak sekeras yang dia mampu.
"Reza!" Suaranya menggema, membuat semua orang langsung mengalihkan perhatian padanya, yang membuat Marsha istrinya ikut keluar. Termasuk pemilik nama itu, yang ternyata tengah menyiram tanaman di halaman. Dia mengangkat kepalanya, sikap biasa yang ditunjukkan Reza membuat sosok itu membulatkan matanya. "Kamu ini ngapain aja dari tadi, ha? Saya suruh kamu cuci mobil 'kan ini malah main air." Padahal semua ini adalah kesalahan Marsha yang lupa tidak memberi perintah kepada Reza. "Astaga, saya mau ada rapat pemegang saham dan mobilnya belum dicuci. Kamu sengaja mau mempermalukan saya, iya?" ucapnya lagi. Reza hanya diam saja, lagian apa yang harus dia katakan. Mertuanya itu sangat keras, tepatnya semua orang di sana sangat keras kepala dan tak pernah mau mendengar penjelasannya. Sebenarnya tidak begitu juga, hari ini Reza tak mendapatkan perintah untuk mencuci mobil. Dia hanya diminta menyiapkan sarapan, membersihkan rumah dan halaman. Itu saja. Jadi dia bukan lalai dari tugas, dia hanya tak mendapatkan tugas itu. Namun, apalah daya, membela diri pun seolah haram untuknya. Reza tetap akan disalahkan walau dia tidak salah. "Argh, dasar menantu tidak berguna. Apa-apa tidak becus. Kamu ini bisanya apa, sih. Merepotkan!" umpat Pak Abas yang merupakan mertuanya itu. Pak Abas kembali lagi ke rumah dengan marah, dia benar-benar dibuat marah dengan sikap Reza yang hanya diam. Tak ada perlawanan, tak ada pembelaan, laki-laki itu benar-benar hanya terdiam saja. Itu juga salah satu alasan kenapa Pak Abas muak dengan Reza, karena menantunya itu memang terlihat pasrah, seolah tak memiliki keinginan, seolah tak memiliki harga diri. Semua orang juga tahu, terlebih keluarga Raysa kalau Reza memang tak memiliki harga diri. "Menantumu itu membuat Papa kesal, Ma!" "Sudahlah, Pa?" "Dia lupa mencuci mobil, sudah tahu mau dipake pergi. Benar-benar tidak bisa diandalkan. Raysa suruh cerai saja dengan dia, Papa sudah muak dengan laki-laki yang tak memiliki potensi seperti dia. Apa-apa tidak becus!" ucapnya yang terdengar terus merendahkan Reza. Marsha sendiri tidak masalah dengan ocehan itu karena baginya pun sama. Hanya saja Marsha merasa tenaga Reza masih cukup bisa dia andalkan. Setidaknya mereka tidak harus menyewa asisten rumah, juru masak, bahkan tukang kebun karena semua itu sudah bisa Reza handel sendiri. "Panggil Raysa, Papa itu harus rapat pemegang saham. Papa mau berangkat sama Raysa?" "Kok, malah marah-marah sama Mama. Marahin aja itu menantu Papa, dia emang gak becus! Raysa sudah berangkat dari tadi, Pa," ucap Marsha, membuat Abas sekali lagi berkacak pinggang. Sementara Reza kini mulai membersihkan mobil, tepatnya mencuci mobil Pak Abas seperti yang diucapkan laki-laki tua itu tadi. Dia menggosok semua bagian mobil itu, tahu kalau mertuanya memang sosok yang cukup perfeksionis dan teliti. Jadi dia tak mau dikomentari lagi karena kurang bersih atau apa pun itu. Saat dia sibuk mencuci mobil, Pak Abas datang lagi dengan tas kerjanya dan malah dibuat marah kembali. "Ini kamu cuci mobilnya sekarang, Reza?" "Bu-bukannya bapak yang minta tadi, ya?" "Benar-benar gak ada otaknya. Saya udah terlambat dan kamu malah cuci mobilnya sekarang, itu artinya kamu mau saya menunggu berapa lama lagi di sini, hah?" "Astaga, benar-benar ini anak. Masih pagi udah bikin orang darah tinggi," gerutunya lagi. "Raysa juga! Anak satu ini juga sama aja. Kenapa pergi tanpa beritahu," protesnya lagi. Reza hanya diam saja dengan tangan yang masih memegang spons basah, bahkan tangannya dipenuhi busa-busa. Pak Abas membuang napasnya, dia harus memesan taksi online sekarang atau kalau tidak dia akan terlambat. Namun, Reza tiba-tiba menghampiri mertuanya dan menawarkan hal gila padanya. "Pak, biar gak terlambat mendingan naik motor saya aja. Kalau pesan taksi nanti terlambat da—" "Kamu gila ya, ini yang datang orang terpandang semua. Orang-orang yang punya saham di pabrik. Kamu mau bikin saya malu, ya?" Reza diam, dia sudah menawari mertuanya itu. Kalau beranggapan demikian, Reza tidak masalah. Dia pun berbalik kembali untuk melanjutkan pekerjaannya. Namun, Pak Abas diam sebentar memikirkan perkataan Reza yang sebenarnya ada benarnya juga. Kalau menunggu taksi online akan memakan waktu lama dan dia akan semakin terlambat. Pak Abas tak mau kalau koleganya menganggap dia tidak tepat waktu. "Oke, antar saya sekarang. Ngebut gak pake lama!" Reza kemudian mengangguk, dia mencuci tangannya dan langsung menghidupkan motor. Tak lupa dia memberikan helm satunya lagi pada Pak Abas. Dia pergi bersama mertuanya dengan penampilan yang sangat kucel, seperti tukang ojek, atau bahkan seperti tukang kebun. Intinya penampilannya sangat kontras dengan penampilan Pak Abas yang nyentrik dengan jas hitam dan barang mewah lainnya. "Kamu ini, modal motor butut kayak gini aja gak malu apa sama Raysa yang seorang pemilik perusahaan kecantikan. Dia bahkan punya banyak tabungan, mobil mewah, sementara kamu hanya pengangguran yang numpang hidup." "Jadi laki-laki itu harus bisa bertanggungjawab. Kamu itu kepala keluarga, tulang punggung, bukan malah numpang hidup sama anak saya. Gak punya malu," oceh Pak Abas. Reza seperti biasanya hanya diam, dia tidak tahu harus bagaimana membela dirinya karena apa yang dikatakan Pak Abas ada benarnya. Dia tidak bisa menjadi kepala keluarga, dia tidak bisa menjadi pemimpin keluarga. Raysa datang lebih awal di pabrik, seperti biasa dia mendapatkan banyak pujian dan sanjungan dari orang-orang. Dia cantik, muda, dan kini sukses. Pemilik perusahaan kecantikan, pemegang saham di beberapa perusahaan juga. Dia benar-benar tampak sempurna. Raysa tahu kalau semua orang begitu menyanjungnya. Namun, ekspresinya berubah saat dia melihat Pak Abas datang dengan motor butut milik suaminya. "Kenapa malah pake motor, kayak gak ada kendaraan lain aja," gumamnya menggerutu. Banyak wartawan yang berbisik-bisik, membuat Raysa malah tersenyum menganggap kalau mereka tengah membicarakannya. Tak ada berita buruk tentangnya, tepatnya tak pernah. Jadi Raysa berpikir kalau mereka pasti tengah memuji penampilannya. Namun, yang dia tidak tahu para wartawan justru bertanya-tanya soal kedatangan Pak Abas yang turun dari motor. "Siapa laki-laki itu? Tukang ojek?" "Astaga, dia salah satu pemegang saham di sini bukan? Kenapa turun dari ojek atau itu keluarga? Atau ...." Banyak sekali komentar dan Reza hanya bungkam walau mendengar ocehan tersebut. "Gak mungkin dia menantunya Pak Abas 'kan? Kalau iya, itu artinya laki-laki tersebut suaminya Bu Raysa?" "Tunggu dulu, apa itu laki-laki yang sama yang waktu itu bertemu dengan Bu Raysa di mall? Kalian ingat gak, sama foto yang kuambil?" tanya salah satu wartawan. Semua wartawan tersenyum, seolah mendapatkan berita besar yang akan menjadi tranding topik di dunia bisnis. "Ini akan jadi makanan yang bagus buat kita. Ayo, buat timeline dan pastikan ini jadi trending topik di mana pun juga!" Raysa memicingkan matanya, dia benar-benar dibuat kesal karena komentar para wartawan yang seolah menyudutkannya. Notifikasi di ponselnya berdering, membuatnya merogoh benda pipih dari dalam tas. Mata Raysa membulat saat melihat sebuah berita terkini yang baru saja ditayangkan di media. [Terungkap suami dari seorang bisnis women ternama ternyata hanya tukang kebun.]Eyang Wiryo terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat, dan oksigen di hidungnya membuat semua orang yang hadir semakin khawatir. Suasana ruang perawatan terasa begitu tegang.Di sekelilingnya, berkumpul seluruh anggota keluarga yang selama ini terlibat dalam konflik warisan. Ada Reza, Via, Randi, Johan, Chandra, dan Bima, sang dalang dari semua kekacauan ini.Dengan suara bergetar, Eyang Wiryo berbicara, memecah kesunyian, "Aku tidak pernah membayangkan keluargaku akan berantakan seperti ini... Apa yang kalian semua cari? Harta? Kekuasaan? Apa semua itu lebih berharga dari keluarga kita?"Tak ada yang menjawab. Mereka hanya menunduk, entah karena merasa bersalah atau masih menyimpan amarah masing-masing.Eyang Wiryo menghela napas panjang. "Aku akan mengatakan sesuatu yang harus kalian dengar baik-baik. Reza adalah pemilik sah dari perusahaan keluarga kita. Semua harta yang kalian perebutkan berasal dari suamiku yang pertama, dan Bima... kamu bukan anak dari suami pertama
Chandra melangkah dengan cepat menuju kediaman ayahnya, Bima. Pikirannya penuh dengan pertanyaan yang berputar tanpa henti. Fakta bahwa Randi adalah saudara tirinya, dan Johan juga bagian dari skema besar ayahnya, membuatnya tidak bisa diam saja.Saat ia memasuki ruang kerja Bima, pria itu tampak tenang, duduk di balik meja besar dengan segelas teh di tangannya. Seakan tidak ada yang terjadi."Chandra," sapa Bima tanpa ekspresi. "Kau datang dengan wajah penuh amarah. Apa yang kau inginkan?"Chandra mengepalkan tangannya. "Aku ingin jawaban. Aku ingin tahu kenapa kau menyembunyikan fakta bahwa Randi adalah saudaraku! Kenapa kau memalsukan hasil DNA-nya?!"Bima meletakkan gelasnya dengan tenang, lalu menatap Chandra dalam-dalam. "Karena aku tidak pernah berniat mengakui Randi sebagai bagian dari keluarga ini."Chandra terhenyak. "Apa maksudmu?! Dia anakmu!"Bima mendengus kecil. "Dan itu adalah kesalahan yang seharusnya tidak pernah terjadi."Chandra semakin geram. "Bagaimana dengan Joh
Setelah Johan berhasil ditangkap, Reza bersama Randi dan Via kembali ke tempat persembunyian mereka. Namun, meski Johan kini berada di tangan pihak berwenang, Reza masih merasa ada sesuatu yang belum selesai. Di tengah malam yang sunyi, Reza duduk di ruang kerja kecilnya, membaca kembali dokumen-dokumen yang mereka sita dari Johan. Namun, semakin ia membaca, semakin ia menyadari bahwa ada sosok lain yang lebih besar di balik ini semua. Nama Bima, pamannya sendiri, terus muncul dalam berbagai transaksi dan laporan rahasia. Reza menggertakkan giginya, tangannya mengepal. "Jadi selama ini… Paman Bima yang mengatur semuanya?" Tiba-tiba, suara ketukan di pintu membuatnya tersadar. Randi masuk dengan wajah penuh kebingungan. "Ada apa, Reza? Kau terlihat tegang," tanya Randi. Reza mengangkat salah satu dokumen dan melemparkannya ke meja. "Lihat ini. Nama Paman Bima ada di setiap transaksi ilegal Johan. Dia bukan hanya mengetahui semua ini, dia adalah dalangnya!" Randi membaca do
Pagi itu, Reza menerima pesan dari Bayu. Isinya singkat, tetapi cukup membuat adrenalin Reza meningkat."Johan mulai bergerak. Dia tahu tentang dokumen itu. Hati-hati."Reza duduk di kursi, menatap papan penuh strategi di depannya. Ia tahu bahwa Johan tidak akan tinggal diam setelah mengetahui dokumen itu ada di tangan yang aman. Kini, semua yang telah ia persiapkan harus berjalan sempurna, atau semuanya akan sia-sia.Via muncul dari dapur, membawa secangkir teh untuk Reza. Ia menatap wajah Reza yang terlihat semakin lelah namun tetap penuh keyakinan.“Kamu yakin bisa mengatasi ini, Reza?” tanya Via pelan, duduk di depannya.Reza menatap Via dengan tatapan lembut namun penuh tekad. “Aku harus yakin, Via. Kalau aku nggak bergerak sekarang, Johan akan terus menghancurkan segalanya. Aku nggak akan membiarkan itu terjadi.”Via terdiam sejenak, lalu menggenggam tangan Reza. “Kalau kamu butuh bantuan, aku di sini. Jangan terlalu memaksakan diri, Reza.”Reza tersenyum kecil. Sentuhan Via mem
Malam itu, Reza duduk di ruang tamu yang remang. Di depannya terdapat tumpukan dokumen penting yang baru saja ia dapatkan dari salah satu informannya. Wajahnya serius, penuh konsentrasi, membaca setiap detail yang bisa menjadi kelemahan Johan.“Reza, apa ini cukup untuk melawan dia?” tanya Randi sambil mendekati meja, pandangannya menyapu dokumen tersebut.“Ini lebih dari cukup,” jawab Reza, menutup map dengan tegas. “Dokumen ini adalah bukti nyata bahwa Johan terlibat dalam penyelundupan besar. Kalau kita bisa menyerahkannya ke pihak yang tepat, itu akan menghancurkan dia.”Via yang duduk di sofa terlihat gelisah. “Tapi Johan nggak akan tinggal diam. Dia pasti sudah tahu bahwa kita sedang bergerak melawannya.”Reza menatap Via dengan tatapan penuh keyakinan. “Aku tahu itu, Via. Tapi aku nggak akan biarkan dia menang. Ini tentang keadilan, bukan hanya untuk kita, tapi untuk semua orang yang sudah dia rugikan.”Pagi harinya, Reza mengumpulkan Randi dan Via di sebuah kafe kecil yang jau
Keesokan paginya, Reza kembali ke apartemen dengan penampilan yang terlihat lelah, namun tatapannya masih penuh keyakinan. Via yang tengah duduk di ruang tamu langsung berdiri begitu melihat Reza masuk.“Kamu nggak apa-apa?” tanya Via, mendekat dengan nada penuh kekhawatiran.“Aku baik,” jawab Reza singkat. “Dokumen itu sudah aman. Sekarang kita hanya perlu menunggu langkah Johan berikutnya.”Randi, yang sejak tadi mengamati dengan cemas, akhirnya bersuara. “Reza, aku nggak ngerti kenapa kamu nggak membiarkan aku ikut tadi malam. Kalau mereka menyerang kamu di tengah jalan, gimana?”Reza menatap Randi dengan serius. “Karena aku butuh kamu di sini. Tugasmu menjaga Via, memastikan dia aman. Kalau aku gagal, setidaknya masih ada kamu di sini untuk melindungi dia.”Via yang mendengar ucapan itu merasa hatinya bergetar. Meskipun Reza tidak pernah mengungkapkan perasaannya secara langsung, tindakan dan ucapannya selalu menunjukkan betapa ia peduli.Sore itu, ketika suasana sedikit tenang, p