Semakin lama aku semakin sadar bahwa kadar cinta yang berlebihan dalam hati itu nyatanya bisa membuat diri kita sendiri hancur. Kini aku mulai sadar bahwa mencintai terlalu berlebihan itu juga tidak baik.Mengejar itu sangat melelahkan, sedangkan pernikahan sejatinya sangat jauh dan panjang. Betapa bodohnya kenapa aku sampai menutup mata dengan semua yang telah terjadi denganku ini.Dengan bodohnya aku menutup kedua mata dan telinga saat kebersamaanku dengan Namira memasuki usia sebelas tahun hanya demi seorang wanita yang sebetulnya aku sendiri pun tak tahu dari mana asalnya yang jelas. Ya, aku hanya tahu sekilas tentangnya. Aku begitu naif dan bodoh, rasanya diriku ini bagai tersihir saat telah bersamanya.Kini aku semakin menyadari bahwa hidup itu tak selamanya indah, apalagi aku yang tak pernah bersyukur dengan apa yang telah Tuhan berikan. Bahkan aku rela membuang intan demi sebuah batu."Aarrgghh!" erangku kasar dengan menjambak rambutku sendiri.Sedang Bella tengah tersungkur d
"Tolong, jangan menyentuhku," ucapku pada Bella ketika ia hendak memeluk tubuhku.Ia mengerucutkan bibir, sepertinya kecewa dengan penolakanku."Kenapa? Kenapa kamu berubah, Mas?" tanyanya ketika aku beranjak menjauh darinya.Aku terdiam, duduk membelakanginya yang telah merebahkan tubuhnya di atas peraduan. Dadaku kembang kepis, segala macam pikiran menyelimuti hatiku.'Kirani, Zafar, ayah rindu, Nak.'Hatiku bergejolak, terlebih ketika mengingat tentang ibu. Aku kini merasa sangat berdosa dengan telah menyakiti hati wanita yang telah melahirkanku. Bahkan aku lebih mementingkan egoku daripadanya.Sudah dua malam ini aku tak dapat tidur nyenyak meski Bella telah erat memelukku. Hatiku bimbang, rindu lebih tepatnya. Jika biasanya aku tak akan merasa serindu ini meski telah berbulan-bulan tak pulang ke rumah, tapi entah kenapa rindu ini begitu membelenggu meski perpisahanku dan anak-anak belum genap satu bulan. Begitu juga ibu, selama ini bahkan aku seperti mengurung Namira agar menjag
Semakin lama penyesalan ini semakin jelas kurasakan. Kehidupan yang kusangkakan akan jauh lebih bahagia ketika memiliki dua istri nyatanya kini perlahan mulai menghancurkan hatiku, bahkan hidupku.Tak hanya kehilangan istri pertama saja, melainkan aku juga kehilangan kedua anakku dan juga ibuku. Ya, ibuku, orang yang telah melahirkanku di dunia ini. Orang yang kujaga dan kusayangi hingga mengorbankan Namira untuk tetap tinggal di kampung dan menjaganya. Nyatanya semua yang kulakukan justru menjadi penghancur hidupku sendiri.Boleh dikatakan aku adalah manusia yang terlalu haus akan nafsu duniawi. Tak cukup dengan satu kenikmatan yang kudapat, aku justru merusak kebahagiaan yang telah kupunya sebelum ini.Mungkin sebutan dapat melihat tanpa bisa menyentuh kini mulai menyelimuti hidupku. Ketika aku hanya bisa melihat kedua anakku dan juga ibuku dari kejauhan tanpa bisa menyentuh atau memeluknya. Bahkan sekedar melihatku saja mereka sudah enggan.Aku menangis tergugu di pojok kamar, mera
"Bagaimana? Kamu masih mau menerima dan memaafkanku, kan?" terangku saat aku berhasil mengajak Namira bertemu di sebuah restoran di pusat kota.Tak sedikitpun ia mau menatapku. Apakah sudah sebenci itu ia padaku? Padahal bukankah setiap manusia itu pasti selalu ada salah dan khilafnya?"Nay ....""Jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi, sekarang aku bukanlah wanita manjamu seperti dulu lagi," jawabnya menohok hatiku.Ah, benarkah yang ia katakan itu? Padahal dulu ia sangat senang jika aku memanggilnya dengan sebutan itu. Ya Tuhan ... Apa benar, jika kesalahanku ini sudah tidak dapat lagi dimaafkan?"Tapi kenapa? Bukankah setiap manusia itu memang tempatnya salah dan dosa? Apa aku tidak pantas mendapat maaf darimu? Bahkan Tuhan yang menciptakan seluruh umat di dunia ini saja Maha Pemaaf," tuturku lagi berusaha membela diri.Sejujurnya aku malu, malu karena harus merendahkan diriku sendiri dihadapan wanita. Karena selama hidupku, tak sekali pun aku mau merendahkan diriku seperti ini
Seharusnya bukan Namira yang harus menderita usai ini, tapi aku. Kini aku mulai sadar bahwa apa yang telah kulakukan pada anak dan istriku juga ibuku sangat jahat. Aku rela mengkhianati mereka demi sebuah kepuasan semata.Kini, aku telah menuai apa yang telah kulakukan selama ini. Bella melangkah pergi bersama pria yang ia anggap jauh lebih bisa membahagiakannya.Pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi antara aku dan Bella membuatku semakin lama semakin sadar bahwa memang dia bukan yang terbaik untukku. Aku sadar bahwa rupa tak akan menjamin kebahagiaan, melainkan isi hati lah yang akan membawa ke dalam kebahagiaan sejati.Kuakui memang Namira tak secantik Bella, tapi hatinya jauh lebih cantik dari Bella yang pernah kuagungkan dulu. Ia dengan tulus ikhlas telah mau merawat ibuku dengan baik, melahirkan dua anak yang akan menuntunku ke surga. Tapi apa yang aku perbuat? Bahkan aku jauh lebih hina dibanding seekor anjing di pinggir jalan."Aarrgghh ...." teriakku kasar di pinggir jal
[Uang sudah kukirimkan. Salam untuk anak-anak dan ibu, ya]Sebuah pesan singkat kukirimkan pada nomor Namira yang dari awal kami bertemu hingga sekarang tidak pernah ganti. Pernah sekali ia mengganti nomor teleponnya waktu awal-awal hubungan kami retak. Namun entah kenapa ia justru kembali menggantinya dengan nomornya yang lama.Sampai saat ini bingkai foto keluarga yang kubanggakan dari dulu tak kuturunkan dari meja kerjaku. Sebuah foto kecil berisikan diriku, Namira dan kedua anakku.Saat ini usia Kirani dan Zafar sudah semakin besar. Perpisahanku dan ibunya sudah hampir dua tahun. Dan selama itu pula aku belum bisa bangkit dari keterpurukanku.Kuremas kertas kerjaku kasar, lalu kulempar sembarang. Aku tak perduli itu kertas penting atau bukan. Saat ini rasa sakit benar-benar tengah menelusup dalam dada.Penyesalan? Ah, sudah pasti. Jangan ditanya lagi selama hampir dua tahun ini aku menyesal atau tidak. Sudah tentu jawabannya iya, aku menyesal dan sangat menyesal. Namun apa daya? N
Hampir semalam suntuk aku tidak bisa memejamkan mata usai bertemu dengan Bella dipernikahan Mela. Rasanya seperti mimpi buruk karena selama hampir dua tahun ini aku berusaha keras menghapusnya dari ingatanku. Dia memang wanita cantik, tapi buruk hatinya.Ah, sudahlah. Seharusnya aku tidak terlalu menyalahkannya karena pada dasarnya aku sendiripun juga salah telah dengan sengaja menduakan Namira dengan wanita seperti itu. Sekarang aku sadar jika Namira memang tidak pantas disamakan dengan wanita manapun, dan sedihnya sekarang semua sudah terlambat.Pagi ini aku bersiap-siap hendak ke rumah Namira. Rasa rinduku pada anak-anak sudah tak terbendung lagi. Ibuku pun juga, aku sangat merindukannya.Em ... Sebenarnya dengan Namira juga, tapi aku sudah tidak memiliki kuasa atas hal itu. Lebih baik aku memendam perasaan ini sendiri saja.Kemeja biru sudah bertengger di badanku. Gku mematut diri di depan kaca. Wajahku masih tampan, tubuhku masih kekar, tapi entah kenapa hatiku justru sangat rap
'Bugh'Sebuah pukulan mendarat dengan sempurna di pipi kiriku. Tak tanggung-tanggung, Hendra memukuliku lagi hingga empat kali. Dan hal itu sukses membuat sudut bibirku berdarah."Ada apa ini?" tuturku tak paham dengan mengusap sudut bibir yang sudah basah dengan darah.Wajah Hendra merah, sorot matanya pun tajam. Raut wajahnya benar-benar mengisyaratkan sebuah amarah dalam dirinya. Namun kenapa?Bahkan sampai sekarang aku masih belum paham dengan pesannya pagi tadi. Aku, mengganggu istrinya? Apa aku salah baca? Bahkan aku saja sudah muak dengannya."Jangan banyak bicara! Kamu memang pantas mendapatkan ini!" teriaknya lantang di depan rumahku dengan hendak memukulku lagi.Namun kali ini aku berhasil menangkisnya. Tangan Hendra kupegangi hingga tak bisa mengenai pipiku lagi."Hentikan. Ada apa ini!" Kuputar pergelangan tangannya hingga ia berbalik kesakitan.Awalnya aku tak tahu akan diserang, oleh sebab itu aku bisa berdarah seperti ini. Aku dan Hendra sama-sama duda. Bahkan ketika m