Share

Menyesal Usai Mendua
Menyesal Usai Mendua
Author: Jingga Amelia

Bab 1

"Maaf, Pak. Kartunya tidak bisa, ada uang cash saja tidak?" ucap kasir toko ketika aku hendak membayar barang belanjaan Bella, istri mudaku.

"Hah? Tidak bisa? Coba lagi, Mbak," kataku sedikit panik, karena kulirik dari ekor mataku Bella sudah menunggu bersama teman-teman sosialitanya di ujung sana.

"Maaf, tetap tidak bisa. Ada uang cash saja?" tanyanya sekali lagi, membuat pelipisku tiba-tiba saja basah oleh keringat.

Mana mungkin kartuku tidak bisa? Padahal kemarin sore masih bisa kupakai transfer uang bulanan untuk Namira, istri tuaku di kampung.

Ya, sudah dua bulan ini aku menikah siri dengan Bella, tanpa sepengetahuan Namira tentunya. Kalau aku jujur, sudah pasti dia tak akan memperbolehkanku menikah lagi. Jabatanku setengah tahun ini naik menjadi manager keuangan. Sedangkan aku terpisah jauh dari Namira karena ia harus mengurus ibuku yang mulai menua di kampung, hal itu membuatku mau tak mau harus menikah dengan Bella agar ada yang menemani hari-hariku.

Lagipula Namira sudah sibuk dengan dua anak kami dan juga ibuku yang mulai tua, hal itu membuatku sangat bosan jika terus berhubungan lewat telepon dengannya. Ia sudah terlihat mulai tak menggairahkan, sedangkan jika harus menyuruhnya ke kota, ibuku bersama siapa? Tak mungkin aku membiarkan ibuku sendirian di kampung.

"Mas, udah belum?" teriak Bella dari ujung sana, membuatku semakin gerogi.

Perlahan aku mendekatinya, lalu membisikkan sesuatu padanya.

"Sayang, ATM-ku gangguan. Pinjam uangmu dulu, ya. Besok aku ganti," bisikku setelah berhasil mengajaknya sedikit menjauh dari teman-temannya.

Bella mendelik ke arahku, lalu mengeluarkan kartu dari dalam dompetnya. Aku bisa bernafas lega saat kasir mengucapkan kata terima kasih padaku tanda bahwa aku telah selesai membayar semua daftar belanjaan istriku itu.

"Eh, maaf ya semua. ATM suamiku lagi bermasalah, jadi minjem sama aku dulu. Besok juga bakal diganti, dua kali lipat malah. Iya kan, Mas?" ucapnya ketika aku mengembalikan kartu itu pada Bella.

Aku hanya tersenyum tipis, lalu berjalan mengikuti Bella dan beberapa teman sosialitanya. Beruntung sekali aku memiliki istri muda seperti Bella, badannya bagus, teman-temannya cantik-cantik, dia juga sangat pandai memuaskanku ketika di ranjang. Ah, bisa-bisanya aku berfikiran seperti itu sekarang.

*

Kuturunkan semua barang belanjaan Bella saat kami telah sampai di rumah. Rumah yang masih kucicil dengan atas nama Namira ini aku huni bersama Bella karena ia tak mau jika harus tinggal di kosnya yang dulu. Katanya kosnya sempit, jadi dia memintaku untuk membawanya ke rumah ini.

Tak masalah, toh Namira tak pernah berkunjung kemari. Ia hanya datang kemari jika aku yang menyuruh, itu pun juga selalu aku jemput terlebih dahulu. Mana mungkin dia berani ke kota sendirian.

Bella melenggang terlebih dahulu ke dalam rumah, sedangkan aku masih mengambil beberapa barang belanjaannya yang masih ada di dalam mobil. Ya begitulah Bella, tapi aku tak pernah masalah jika ia menyuruhku seperti itu. Bagiku dia begitu istimewa sehingga memang pantas diperlakukan istimewa.

"Mas, kok pintunya nggak kamu kunci?" teriaknya dari depan pintu masuk.

Aku mendongak ke arahnya dengan mengerutkan dahi, sepertinya aku tak lupa, tapi kenapa Bella mengatakan kalau pintunya tidak terkunci?

Dengan tergesa aku segera menghampiri Bella. Segala fikiran buruk berkecamuk dalam dada, takut jika ternyata rumahku kemasukan orang asing atau bahkan maling. Beberapa perabot mewah baru saja kubeli sebulan terakhir ini bersama Bella, bisa gawat kalau sampai dicuri oleh orang.

"Ah, masa? Aku ingat kok kalau tadi kukunci, buktinya kuncinya sekarang ada padamu," sanggahku sembari mendorong pelan daun pintu dengan dada berdegup kencang.

"Ati-ati, Mas. Salah-salah nanti ternyata ada maling," ucap Bella dengan memegang pinggangku dari belakang. Rupanya ia juga memiliki fikiran yang sama denganku.

Aku berusaha sepelan mungkin ketika membuka pintu, jangan sampai jika di dalam memang ada maling mereka tahu jika tuan rumah sudah pulang.

"Iya, memang ada maling di rumah ini. Maling suami orang!" 

Duuaarr

Bagai di sengat listrik saat Namira, wanita yang telah menemaniku sepuluh tahun ini berdiri dengan menyilangkan tangan di dada tak jauh dari pintu masuk. Ia menatapku dan Bella dengan tatapan bengis.

Secepat kilat Bella pun lantas melepaskan tangannya yang masih memegang pinggangku, lalu berdiri mensejajariku.

"Na-namira!" gumamku lirih dengan mengucek kedua mataku, rasanya seperti tak percaya melihatnya ada di rumah ini tanpa perintahku.

Namira berjalan mendekat ke arahku, membuatku bergidik ngeri ketika ia masih menatapku dengan tatapan yang sama. Bengis.

"Iya, ini aku. Kenapa? Kamu kaget? Kaget karena sudah terpergok olehku memasukkan wanita jal*ng ini ke dalam rumahku?" cecarnya lantang sembari menatap Bella dari ujung kaki hingga ujung kepala.

Bella yang bukannya risih atau takut karena Namira telah menatapnya seperti itu justru membusungkan dada dan mengibaskan rambutnya yang tergerai indah di bahunya.

"Cih, apa katamu? Rumahmu? Bahkan kamu pun pasti tak tahu kalau aku ini juga istri Mas Rey." Belum juga rasa terkejutku hilang, kini Bella malah mengatakan hal itu pada Namira. Membuatku semakin tak tenang saja, aku sangat mengenal Namira, ia akan berbuat nekat jika ada yang menyakiti hatinya. Tapi entah, setan apa yang merasukiku hingga aku pun tega menduakannya.

"Oh, seperti itu? Tapi sayangnya aku sudah tahu, dari sebulan yang lalu malah. Terhitung sebelum kalian membelanjakan semua uang tabungan pria tak bermoral ini beberapa perabot mewah di rumah ini. Tak masalah, aku memang mencari waktu yang tepat untuk membongkar kelakuan bejat kalian. Dengan begitu pula aku tak harus repot-repot mengisi rumah ini dengan perabot mewah bukan?" terang Namira panjang lebar, membuatku semakin terpaku.

"Jangan merasa bangga dulu kakak madu, sesenti pun aku tak akan beranjak meninggalkan Mas Rey. Dia akan tetap menjadi milikku!" tandas Bella membuat hatiku terbang ke langit ke tujuh.

Memang tak salah aku menjadikannya istri muda, ia terlihat sangat sayang dan setia padaku. Oh Bella, seluruh jiwa dan ragaku memang hanya untukmu.

"Ya, benar. Bahkan aku pun tak segan menceraikanmu demi Bella, Namira." Sekali ucap aku mengatakan hal yang tak pernah aku katakan. Namun, memang aku sekarang lebih mencintai Bella dari pada Namira.

Tak sedikitpun raut kesedihan tersirat di wajah Namira, ia justru tertawa terbahak dan berjalan menjauh dariku dan Bella yang masih berdiri mematung di ambang pintu.

"Oh, ya? Benarkah? Oh ... Mulia sekali cinta kalian," ledek Namira dengan sebelah tangannya mengeluarkan selembar kertas dari dalam tasnya.

"Apa benar kalau kalian akan tetap saling setia, meskipun dengan ini?" lanjut Namira dengan menunjukkan selembar kertas tersebut.

Lagi-lagi tubuhku membeku, ketika kulihat ternyata ATM-ku telah berhasil ia bekukan. Bahkan seluruh isi tabunganku telah habis, ia memindahkan semua uangku ke dalam kartu yang beratas namakan Namira Sahira.

Gila. Ini benar-benar gila. Mana mungkin istriku bisa secerdik ini? Bukankah ia hanya ibu rumah tangga biasa yang bisanya hanya menjaga anak dan ibuku di kampung?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status