Lagi-lagi tubuhku membeku, ketika kulihat ternyata ATM-ku telah berhasil ia bekukan. Bahkan seluruh isi tabunganku telah habis, ia memindahkan semua uangku ke dalam kartu yang beratas namakan Namira Sahira.
Gila. Ini benar-benar gila. Mana mungkin istriku bisa secerdik ini? Bukankah ia hanya ibu rumah tangga biasa yang bisanya hanya menjaga anak dan ibuku di kampung?
“Bagaimana? Bukankah rumah ini pun juga atas namaku? Apa anda akan tetap setia dengan pria tak bermoral ini, Nona?”
Beberapa saat aku terdiam, berusaha mencerna keadaan saat mengetahui bahwa kini istriku telah berubah menjadi sangat garang. Hingga aku teringat akan sesuatu, bahwa Namira memegang surat kuasa atas seluruh kartu ATM-ku. Sebelum kejadian naas ini terjadi aku memang selalu memprioriaskan Namira, semua aset aku atas namakan dirinya. Bahkan ia pun juga memegang surat kuasa atas nomor rekeningku. Aku tak mengira bahwa hal itu ternyata kini menjadi boomerang untukku sendiri. Itu lah sebabnya ia bisa dengan gampangnya membekukan rekening milikku. Namun, aku tak yakin bahwa ia dapat melakukan hal itu sendiri. Mana mungkin Namira bisa berubah secerdik ini dalam waktu yang sangat singkat? Kebersamaanku dengan Namira bukan waktu yang sebentar, aku tahu betul bagaimana sifatnya. Lalu, kenapa sekarang dia bisa berubah seperti ini? Sungguh aneh jika dia bisa berubah segarang ini dalam waktu satu bulan.
Aku melirik Bella sekilas, berusaha meyakinkan hatiku sendiri bahwa dia tidak akan meninggalkanku dalam keadaan apapun. Mana mungkin aku salah memilihnya menjadi istri kedua? Jika dia tak baik, aku tak akan mau menjadikannya madu untuk Namira. Karena sudah sepantasnya bukan kalau aku harus bersanding dengan wanita yang baik.
“Bagaimana, Nona? Kenapa diam saja? Mau mundur atau ….”
“Tidak! Aku tidak akan mundur. Jika kamu mengira bahwa aku akan meninggalkan Mas Rey, kamu salah. Aku akan tetap ada di sampingnya, ada atau tidak ada dirimu,” tutur Bella membuat hatiku berbunga. Tepat seperti yang aku perkirakan, dia adalah wanita yang baik.
Aku bernafas lega ketika Bella melingkarkan tangannya di lenganku, aku seperti memiliki seribu kekuatan baru. Setidaknya untuk mendamaikan kedua istriku ini, terlebih Namira. Karena sungguh aku tidak ingin kehilangan keduanya.
“Hahaha … Baiklah, itu artinya kini aku memiliki teman untuk mengurusmu, iya kan, Mas?” ucap Namira tak gentar, membuatku lagi-lagi dibuat terkejut olehnya.
Aku hanya mengangguk sekilas tanpa menatapnya, karena aku rasa wanita yang kini berdiri di depanku ini bukanlah Namira yang kunikahi sepuluh tahun yang lalu menggunakan seperangkat alat sholat dan uang dua ratus ribu.
“Yaudah, ayo kita masuk kamar, Mas. Aku capek, pengen buka-buka barang belanjaanku juga,” kata Bella membuyarkan lamunanku.
Bak kerbau yang dicucuk hidungnya aku hanya berjalan mengekor Bella dengan membawa begitu banyak barang belanjaannya. Padahal sebelum ini aku paling anti jika harus berjalan di belakang Namira. Sungguh, Bella mengubah banyak hal tentangku.
“Ets, mau kemana kalian?” hardik Namira ketika kami sampai di depan pintu kamar.
“Mau ke kamar lah, kamu kira ke mall lagi?”
“Namira, sudahlah. Biarkan kami istirahat, seharian ini aku sudah lelah menemani Bella belanja di mall,” kilahku saat Namira berjalan ke arahku.
“Enak saja kamu bicara. Kamu pikir aku nggak capek? Kamu enak jalan-jalan sama wanita itu, sedangkan aku harus rela meninggalkan anak-anak untuk membongkar kelakuan buruk kalian.” Namira berdiri tepat di hadapanku dan Bella, ia masuk terlebih dahulu ke dalam kamar lalu mengeluarkan baju-baju beserta semua alat make-up Bella, “keluar dari kamarku, ini kamar utama dan hanya aku yang boleh menempatinya,” tandas Namira membuat Bella naik pitam saat alat-alat make-upnya dilempar secara kasar oleh Namira.
“Lancang kamu, ya. Beraninya kamu melempar barang-barang mahalku, bahkan kamu sendiri pun tak akan mampu membelinya!” bentak Bella kasar.
“Nay, jaga sikapmu. Tidak seperti ini caramu memperlakukan Bella. Bagaimana pun juga dia ini juga istriku!” ucapku membela Bella.
Namun, sekali lagi ternyata perkataanku tak diindahkan oleh Nay, panggilan sayangku untuknya. Dengan beringasnya ia masih saja melemparkan seluruh isi dalam lemari yang Bella tempati dua bulan belakangan ini.
“Lalu, menurutmu harus bagaimana aku memperlakukan seorang pelakor sepertinya? Apa dia sungguh tak punya harga diri dengan menikahi seorang lelaki yang sudah beristri? Atau dia tidak tahu kalau kamu sudah beristri? Bahkan katak pun akan tertawa jika alasan itu yang akan kamu katakan, mana mungkin wanita seperti ini tidak mencari tahu latar belakangmu terlebih dahulu? Aku pun yakin umur kalian terpaut amat jauh? Ah … sungguh malang nasibmu, Nak. Bahkan kamu lebih pantas menjadi adik angkat kami,” celoteh Namira membuat dadaku kembang kempis. Darimana keberanian yang ia tunjukkan sejak tadi? Dia benar-benar telah berubah rupanya.
Pada akhirnya aku menarik kasar Bella, lalu masuk ke dalam kamar tamu satu yang kosong. Ia memberontak, tak terima dengan perkataan Namira. Namun sebisa mungkin aku segera meredam emosinya, meski sejujurnya hatiku sendiri pun juga panas dengan perkataannya.
“Tenang, kuasai dirimu. Mengalah bukan berarti kalah. Kamu tetap menjadi pemenang hatiku. Namira kita urus nanti, istrirahatlah. Aku akan mengambil semua barang-barang yang baru saja dikeluarkan oleh Namira dari kamar utama,” ucapku membujuk Bella.
Syukurlah, Bella menuruti kata-kataku dengan lantas duduk dan membuka gawainya.
Huuffhh haahhh
Semoga saja ini bukan menjadi permulaan penderitaanku, karena aku hanya menginginkan sebuah kenyamanan dengan memiliki dua istri.
**
“Mas, skincare-ku habis. Nanti habis kerja belikan, ya?” rengek Bella ketika aku baru selesai memakai baju kerja.
Setelah kejadian besar kemarin sore pada akhirnya hatiku sedikit tenang, karena Namira tak lagi mencari gara-gara denganku. Oh iya, aku hampir saja lupa menanyakan tentang kedua anak dan juga ibuku. Jika Namira datang kemari, bersama siapa mereka di kampung? Awas saja jika ibuku sampai tak terurus, aku akan melakukan hal yang tak ia bayangkan.
“Bel, darimana aku bisa dapat uang untuk beli skincare jika seluruh uangku saja sudah di kuras habis oleh Namira?” sanggahku dengan membetulkan kemeja biruku.
Kulirik sekilas bibirnya mengerucut, lalu mendudukkan tubuhnya disisi ranjang. Ia terlihat sangat menggemaskan jika sedang merajuk seperti itu.
“Halah, Mas. Aku tahu kamu masih punya satu ATM cadangan yang tak diketahui istrimu, kan? Kamu sendiri yang mengatakannya semalam,” ucapnya membuatku terdiam.
Sepertinya kini aku melakukan kesalahan lagi, dengan mengatakan semua rahasiaku pada Bella. Belum juga berganti bulan, ia sudah menggunakan hal itu sebagai senjata utamanya. Apakah memang seperti inikah memiliki dua istri? Digerogoti dari segala arah? Astaga, bodohnya diriku yang hanya memikirkan enaknya saja.
“Rey, kemarin Namira ke kota. Katanya ada hal penting. Ada apa? Kenapa belum pulang sampai sekarang? Apa kalian ada masalah?”Tubuhku membeku saat ibu menanyakan tentang Namira. Aku harus bilang apa? Apa aku harus jujur tentang masalah pelik yang sedang kuhadapi?Tapi tunggu … Ibu bertanya tentang Namira? Itu artinya ia belum tahu yang sesungguhnya? Namira tidak menceritakan apa yang terjadi denganku? Ah, syukurlah setidaknya ia masih memiliki sedikit perasaan dengan tidak menceritakan yang sebenarnya pada ibuku.“Pekerjaan Rey baik, Bu. Doakan lancar terus, ya,” kataku mengalihkan pembicaraan.“Rey … Kenapa pertanyaan ibu tidak dijawab? Ibu tanya Namira, loh. Tidak tanya tentang pekerjaanmu,” ucap ibu tak terima dengan jawabanku."Em ... A-anu, Bu. Namira katanya kangen sama Rey, Rey juga menyuruhnya datang ke kota. Tapi mungkin dia nggak bakal lama kok, Bu," jawabku berkilah, berharap ibu akan percaya dengan alasanku."Yang bener? Biasanya juga kamu yang pulang, atau kalau nggak ana
"Astaga. Ibu ... Bagaimana bisa Ibu ada di sini," gumamku lirih saat Namira membukakan pintu untuk orang yang paling aku cintai di dunia ini.Setelah penolakanku kemarin saat Namira mengajakku pulang, tak tahunya hari ini ibu datang kemari. Si*l ... Seperti makan buah simalakama saja. Bergerak kesegala arah terasa keliru."Dengar. Kamu boleh memperlakukanku seperti ini, Mas. Tapi jangan lupa akan karmamu, bahwa yang melahirkanmu itu juga seorang wanita. Bagaimana bisa kamu juga menyakiti hati seorang wanita yang telah melahirkan anak-anakmu?" Masih terngiang jelas di telingaku saat Namira mengatakan hal itu kemarin."Halah, bisanya ceramah aja. Udah Mas, jangan pedulikan dia. Toh pernikahan kita juga sah di depan penghulu, dan aku tak masalah jika hanya dinikahi secara siri," ucap Bella menimpali, membuatku sedikit membumbung tinggi karena pembelaannya.Namira tak bergeming, ia menatap madunya bengis. Belum pernah aku melihatnya dengan tatapan seperti itu. Menyeramkan."Cukup Namira.
Dadaku berpacu begitu cepat, saat tiba-tiba saja Bella keluar kamar dengan pakaian kurang bahannya. Ia juga mengajakku pergi ke salon saat ibu baru saja tiba di rumah.Keringat dingin mulai membasahi dahiku, sedangkan kulihat Namira tersenyum tipis ke arahku. Persis seperti senyuman mengejek."Rey, kok nggak jawab?" tanya ibu lagi ketika aku terdiam saat ibu bertanya tentang Bella."Em ... Ini, anu, Bu ....""Oh, ini mertuaku? Kenalkan, Bu. Saya istri Mas Rey juga, yang artinya adalah menantumu juga, namaku Bella Cantika," sahut Bella tak terkendali, membuatku sekali lagi hampir saja jantungan.Ibu terperanjat, begitu juga makcik yang berdiri di sisi ibu. Tak terkecuali anak perempuanku yang ada dipelukan ibunya, ia sontak melepaskan pelukannya dan menatapku lekat.Usianya sudah menginjak sembilan tahun, sedikit banyaknya ia pasti tahu apa yang sedang terjadi atas perkataan Bella beberapa saat yang lalu. Ya Tuhan, andai aku bisa memutar waktu pasti aku tak akan melakukan kesalahan bod
Hingga dini hari, kedua mataku masih saja belum mau terpejam. Pikiranku masih memikirkan paket siang tadi untuk Namira. Hatiku berkecamuk, menerka-nerka siapa Leo itu.Malam ini Bella tidur lebih awal, katanya kepalanya pusing semenjak kehadiran ibu. Sedangkan Makcik pulang ke kampung sore tadi. Sebenarnya aku berharap ibu dan kedua anakku mau menerima Bella seperti kehadiran Namira, tapi rasanya hal itu masih sangat mustahil. Mengingat sikap Kirani dan Zafar ketika berhadapan dengan Bella, mereka sama sekali tak bisa bersikap baik.Akhirnya aku memutuskan keluar kamar hendak mengambil minum di dapur. Namun, aku seperti mendengar seseorang tengah menangis sesegukan di mushola rumah. Tanpa pikir panjang lagi aku lantas mendekat ke arah mushola dan melihat apa yang sedang terjadi.Betapa terkejutnya ketika kulihat ibu duduk bersimpuh dengan linangan air mata, ia menangis sesegukan dengan menyebut namaku. Seketika itu juga hatiku hancur, bagai disayat sembilu ketika melihat ibu menangis
[Mas, cepet pulang, ya. Sumpah aku di rumah capek banget. Ibumu emang nggak ada akhlak seharian nyuruh-nyuruh aku terus]Jam kerjaku belum juga selesai, Bella sudah mengirimkan pesan menggelikan. Seharusnya ia bahagia bukan? Ibu sudah mau bicara dengannya meskipun dengan dalih menyuruh. Itu artinya ibu sudah mulai membuka hati untuknya. Tapi kenapa Bella malah marah? Harusnya dia sabar sedikit supaya bisa meraih hati ibu sepenuhnya.Kubalas pesannya dengan emotikon jempol dan cium, lalu kembali meneruskan pekerjaanku yang belum selesai. Sejak Namira menarik semua uangku, aku merasa seperti pekerjaanku ini sia-sia saja. Kerja dari pagi sampai sore, lelah, tapi kini uangku ditarik olehnya. Sungguh mengenaskan.Ah, tapi tidak masalah. Yang penting sedikit banyak aku masih bisa menyisihkan uang di ATM tersembunyiku meski jumlahnya tak lebih dari sepuluh juta. Itu pun kemarin sudah digerogoti Bella ketika mengajak ke salon.Tak masalah bagiku, yang penting Bella senang, hari-hariku berwarn
Kusandarkan tubuhku di sisi jendela kamar yang terbuka, sedangkan Bella masih terduduk diam di atas ranjang. Tak sepatah katapun terucap sejak kepulanganku sore tadi. Terlebih setelah berdebat dengan ibu.Huufftt haaahhKini aku merasa menjadi seorang anak yang durhaka. Demi seorang wanita aku tega membentak ibuku sendiri. Ya Tuhan ... Tolong maafkan aku yang telah tega menggores hati wanita yang telah melahirkanku."Foto apa, Bu?" tanyaku saat ibu menjelaskan perihal kepergian Namira.Ibu diam, kemudian pandangan kami teralihkan pada Bella yang ikut masuk ke dalam kamar utama tempatku berbincang dengan ibu."Tanyakan padanya," sahut ibu dengan menatap tajam wanita yang kucintai dua bulan terakhir ini.Kepalaku rasanya mau pecah, saat penatku di kantor belum hilang tapi sudah berganti dengan masalah pelik di rumah. Padahal harapanku akan bahagia dengan menikahi Bella dan tetap mempertahankan Namira. Tapi ternyata aku salah."Bel, foto apa?"Bella memandangku dan ibu secara bergantian,
Berulang kali aku mengetik kemudian kembali menghapus kata di dalam layar ponselku. Hatiku bimbang, ketika ingin mengirimkan pesan pada kedua orang tua Namira di kampung. Jika bukan ke kampung, kemana dia pergi? Di kota dia sama sekali tidak tahu arah, rasanya aneh jika dia tidak pulang ke rumah.Namun, jika aku mengirimkan pesan pada ibu dan menanyakan keberadaannya pasti kedua orangtuanya akan tahu apa yang telah terjadi padaku dan Namira. Jika mereka tahu, bisa saja mereka menyuruhku bercerai dengan anaknya. Oh ... Jangan sampai. Aku mencintai Namira, mana mungkin aku bisa bercerai dengannya.Bagaimanapun caranya, aku harus membuat kedua istriku berdamai dan hidup berdampingan. Mereka berdua sangat berarti untukku. Lagipula jika aku sampai berpisah dengan Namira, pasti anak-anak akan dibawa serta olehnya dan aku tak akan sanggup jika harus berpisah dari anak-anak.Kutatap nanar sebuah bingkai foto yang terpasang indah di atas meja kerjaku, foto saat kami baru saja melangsungkan aca
"Sial!" Aku mengumpat dengan memukul setir kemudi keras saat mobil merah yang kuikuti sejak tadi berbelok arah ke kanan sedang aku harus terhenti karena lampu lalu lintas yang menyala warna merah.Jika itu Namira, bagaimana bisa dia berdandan seperti itu? Lagi pula itu mobil siapa? Lalu, siapa pria itu?Kuambil ponsel yang tersimpan di saku, lalu menekan nomor Namira cepat. Kudekatkan benda pipih itu ke telinga tapi tak sekalipun ia berdering."Nomor yang anda tuju sedang tidak dapat dihubungi"Lagi-lagi aku mengumpat keras, ketika nomor Namira masih saja belum bisa dihubungi. Ada apa ini? Apa aku hanya salah lihat? Tapi wanita tadi benar-benar sangat mirip dengan Namira.Lampu hijau menyala, membuatku mau tak mau harus berbelok arah dan kembali pada perjalananku ke rumah. Hampir sepuluh menit aku mengikutinya namun semua hanya berakhir sia-sia.**Kuparkirkan mobil fortuner hitamku di garasi, lalu turun dan berniat hendak beristirahat setelah lelah seharian ini. Kulihat Kirani dan Za