"Aku jujur, Mas. Semua perkataan bibi Ratih benar."Pengakuan Sinta benar-benar membuatku syok. Bagaimana mungkin istri yang kupikir shaleha berbuat tidak senonoh seperti ini.Kepalaku terasa seperti terhantam batu yang sangat besar. Apa dosaku sehingga harus mengalami ini?"Apa salahku hingga kau tega melakukan ini, Sinta? Apa?" ucapku meraung.Amarahku kian menggebu yang tidak bisa ditahan lagi. Dikala aku merindukannya, mengingat semua kenangan tentangnya, bahkan menyebut namanya ketika bersama Janah malah bergumul dengan lelaki lain.Lelaki yang aku sendiri tidak mengenal siapa dia. Apa pernikahanku akan dihancurkan oleh seorang lelaki yang tidak dikenal? Tapi jika aku mempertahankan pernikahanku dengan Sinta apa semua ini bisa aku lupakan? Tidak mungkin.Aku tidak bisa menerima penghianatan.”Katakan dengan jujur sekali lagi. Apa benar yang dikatakan bibi Ratih?" tanyaku lagi. Tapi kini dengan nada pelan dan tenang. Dengan harapan dia akan mengatakan 'ini tidak benar."Benar, Ma
Para pelayan menyambut kedatangan kami, terutama sama Abah, Umi, dan Aku. Mungkin mereka menyangka kita datang ke sini untuk bersilaturahmi.Kami semua turun dari mobil dengan emosi. Tapi berbeda dengan Sinta dan lelaki itu. Sinta turun dengan elegan dan lelaki itu penuh dengan kebingungan.Sinta turun dengan koper besarnya yang dilangsung diambil oleh pengawalnya."Taruh ini di atas," ucap Sinta tegas kepada salah satu pelayannya.Pelayan ini menatap Sinta bingung. "Apa Nona dan Pak Fahmi akan menginap di sini?""Tidak. Tidak akan ada yang menginap selain saya," jawab Sinta dengan sangat tegas.Pelayan itu semakin menatap Sinta dengan penuh kebingungan."Lakukan sesuai perintahku!" titah Sinta yang membuat pelayan dan pengawalnya langsung pergi untuk menyimpan kopernya.Bunda Soraya menyambut kami dengan disusul Pak Adam. Dia memeluk putrinya dengan sangat erat, "Bunda sangat merindukanmu.""Sinta, juga Bunda. Sangat rindu," ucap Sinta membalas pelukan bundanya erat."Ayo, Bah dan se
"Hari ini dihadapan orangtuamu dan orangtuaku aku menalakmu, aku menalakmu, aku menalakmu," ucapku tegas.Akhirnya aku bisa mengatakannya yang membuatku bernafas lega. Tapi ada rasa penyesalan yang menyeruak diri ini.Sinta yang dari tadi terlihat tegar, kini tubuhnya mulai gemetar dan matanya berembun."Sayang, kamu tidak boleh menangis. Lelaki ini tidak berhak atas kesempurnaan yang ada pada dirimu," ucap Bunda Soraya kepada Sinta.Apa yang menjadi kesempurnaan Sinta hingga aku tidak layak?Tenyata keputusanku untuk menceraikan Sinta adalah benar, sangat benar."Tapi, Bun. Ini rasanya menyakitkan," ucap Sinta yang air matanya tiba-tiba mengalir. Membuat orangtuanya menatap nanar putrinya itu."Kamu wanita yang kuat, Sayang. Bunda yakin kami bisa menghadapi semua ini,""Bunda lihat aku, apa wanita mandul itu salah?" tanya Sinta"Tidak. Sebenarnya tidak ada wanita mandul," jawab Bunda."Semuanya sudah mendengar, kan? Tidak ada wanita yang mandul," teriak Sinta sambil berurai air mata.
"Katakan yang sejujurnya, Janah?" tanyaku emosi."Tahan emosimu. Jangan buang-buang tenaga. Sebaiknya kita segera menuju tujuan kita," ucap ustadz Rahman mengingatkan aku."Tunggu aku dikamar. Nanti aku menyusul," pintaku pada Janah."Baik, Mas."Janah sepertinya enggan untuk meninggalkan kamar ini. Padahal sudah mengatakan baik, tapi matanya masih memperhatikan kami yang membuka lemari.Aku menghembuskan nafas kasar."Janah, tolong jangan bikin Mas marah. Masuklah ke dalam kamarmu, nanti Mas menyusul," ucapku lagi.Kini dia tidak menjawab, tapi langsung berjalan cepat meninggalkan kami. Sebenarnya apa yang menyebabkan Janah bertingkah seperti itu? Membuatku tambah pusing saja.Ternyata kunci yang aku masukan salah. Ustadz Rahman menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkahku."Kunci ini sudah tidak bisa dipakai. Sepertinya dia telah mengganti kuncinya," ucapku yang membuat ustadz Rahman mengangguk cepat.Kami memperhatikan seluruh sudut ruangan kamar ini, berharap ada petunjuk. Jan
"Saya sangat menyayangkan, kenapa tadi Antum menalak Sinta langsung talak tiga," lirih ustadz Rahman dan terdengar menghela nafas berat."Padahal Antum belum tahu siapa yang salah dan kebenarannya seperti apa," lirihnya lagi.”Perkataan mereka telah memenuhi pikiran Saya, Tadz," ucapku menyesal.”Apa Antum percaya tentang Sinta dengan pemuda itu telah melakukan hal yang dituduhkan?” tanyanya.”Awalnya Saya tidak percaya. Tapi Sinta sendiri yang mengaku telah melakukannya.""Antum percaya begitu saja?" tanyanya menyelidik.”Saya sudah bertanya beberapa kali, tapi dia tetap mengaku telah melakukannya.””Iya, tahu. Tapi kenapa Antum percaya begitu saja?" tanya ustadz Rahman kecewa.Aku tidak mampu untuk menjawab. Air mata kembali ingin turun, tapi segera aku lap dengan memakai lengan baju.Aku kecewa pada diriku sendiri. Kenapa dengan bodohnya aku percaya begitu saja apa yang orang-orang tuduhkan tentang Sinta. Padahal aku sama sekali tidak melihat kejadiannya."Karena Saya terlalu bodo
Janah masih terlihat mengobrak-abrik isi kamar. Kini dia mulai menarik paksa hendel pintu lemari Sinta hingga lemarinya bergoyang.Aku dan ustadz Rahman sejauh ini hanya memperhatikan gerak-geriknya.Ternyata waktu bergulir begitu cepat.Dulu aku mengenal Janah gadis yang cantik dan sangat berakhlak baik. Tapi aku harus menikah dengan Sinta, seorang anak mafia.Ternyata sekarang baru terbukti. Meskipun Pak Adam seorang mafia, bisa membimbing anaknya untuk menjadi yang lebih baik sehingga mengalahkan janah dan aku yang notabenenya anak pemilik pondok pesantren.Betapa malunya aku kepada keluarganya Sinta yang menalaknya dengan menyebutkan segala kekurangan yang kusangka ada padanya, ternyata semua kekurangan itu ada pada diriku.’Sungguh kamu lelaki yang tidak berguna, Fahmi.' rutukku.”Akhh.. sebenarnya apa yang di tinggalkan wanita mandul itu? Apa?" teriak Janah.Apa dia tidak takut akan ada santri yang mendengarnya atau dia mengira tidak akan ada orang yang berani lewat kamar Sinta.
Kenapa semua orang ingin mengetahui apa yang Sinta tinggalkan? Kenapa begitu peduli. Apalagi Abah. Kenapa sampai harus mengumpulkan keluarga bibi Ratih dan keluarganya Janah? Bukannya aku mau menyalahkan Abah. Hanya saja selama ini mereka termasuk orang-orang yang sangat tidak menyukai Sinta.Takutnya mereka hanya ingin membuatku terpojok dan melakukan sesuatu hal yang tidak kuinginkan."Emangnya kenapa, Bah?" tanyaku balik dengan tetap tenang.Jika aku memberitahukan masalah ini kepada Abah, apakah Janah dan keluarganya akan langsung ditendang dari sini?Tapi firasatku mengatakan hal lain. Semoga yang tidak kuinginkan tidak terjadi."Karena Abah harap, apapun yang Sinta tinggalkan tidak ada pengaruh apapun terhadap pernikahan kamu dengan Janah," jelas Abah dengan lantang dan tegas.Apa maksud Abah? Apa artinya tidak akan ada tindakan yang kita lakukan? Apa kita tinggal menunggu kehancuran keluarga kita?Apa Abah sekaligus menyuruhku untuk menjadi ayah dari anak yang dikandung oleh J
Aku terduduk lesu usai mendengar percakapan mereka."Ini semua adalah jalan kehidupan yang harus Antum lalui," ucap ustadz Rahman."Saya sangat menyayangkan sikapku selama ini kepada Sinta. Kenapa ada orang yang begitu bodoh sepertiku. Aku harus membuka surat itu, Tadz.""Harus. Bacalah surat itu perlahan. Itu adalah isi hati dari Sinta. Semoga kedepannya bisa menjadi pelajaran untuk Antum.""Saya izin ke aula lagi. Siapa tahu Abah masih menunggu di sana," pamitku dan ustadz Rahman hanya mengangguk."Bacalah surat itu secepatnya. Siapa tahu ada informasi di dalamnya yang di tinggalkan Sinta," pesannya dan kini aku yang mengangguk.Apa kira-kira yang ditulis oleh Sinta? Apa aku akan sanggup membacanya?Sesampainya di aula, aku tidak melihat orang lain selain Abah dan Umi."Yang lain kemana, Bah?" tanyaku heran."Semuanya sudah Abah minta untuk pergi dan berkumpul lagi besok, setelah sholat subuh. Hanya saja Abah merasa ada yang aneh. Kenapa ustadz Hanafi memaksa Abah agar kamu mau memb