Setelah beberapa hari dari pernikahan pasangan ’double S', hati Fahmi merasa tidak tenang. Dia merasa tidak enak kepada Habibah, adiknya ustadz Rahman sekaligus teman bermainnya sejak kecil.Tapi secara tiba-tiba, ustadz Rahman mengabarkan kalau Habibah sudah meninggal. Mereka semua terdiam dalam jangka waktu yang lama. Antara percaya dan tidak percaya.Alasan dibalik orangtunya dulu menjodohkan dengan Janah, tapi malah menikahkan Fahmi dengan Sinta karena Fahmi masih belum bisa mengambil keputusan.”Jadi bagaimana?" tanya Abah pada Fahmi yang masih saja diam menunduk. Semua keluarganya masih tidak ada yang berani bicara, sebelum Fahmi mengambil keputusan."Apa aku pantas?" Akhirnya dia bicara."Tentu saja. Jodoh adalah cerminan diri. Kau sudah berubah, berarti kau pantas bersanding dengan adikku,” jelas ustadz Rahman."Dulu, kau pernah bekerja sama dengan Renata, tapi sekarang dia dan keluarganya sudah pergi menjauh dari kehidupan kita. Bahkan keluarga Janah sudah mendekam di penjara
"Benarkah hari ini dia melahirkan?" Renata yang sudah terlepas dari orang-orang yang mengurungnya di sebuah rumah tua mulai siap dengan rencana-rencana jahatnya.Bahkan, dia sudah mengganti dirinya dengan saudara kembar yang bahkan tidak tahu apa pun. Saudara yang menyayanginya dengan tulus, dia manfaatkan begitu saja.Setelah mendengar kenyataan bahwa ternyata dirinya bukan berasal dari keluarga kaya yang terhormat, dia langsung kecewa dan marah besar. Rupanya dia hanya anak angkat keluarga konglomerat, itu pun secara tak sengaja.Hal itu membuat dendam Renata semakin menjadi, tidak hanya kepada Sinta, namun juga Sultan. Kali ini dia berniat untuk membuat semua orang yang sudah membuatnya kecewa untuk membayar perbuatannya."Wah, betapa bahagianya aku karena pasangan yang aku anggap musuh akan segera mendapatkan rezeki nomplok. Enaknya aku melakukan apa, ya? Setidaknya sampai kedua orang itu tahu bahwa aku masih hidup," ucapnya girang.Saat ini, dia tengah berbicara di telepon denga
"Siapa orang jahat yang punya kemungkinan untuk melakukan rencananya?" Pak Adam tiba-tiba mendekat ke arah sang menantu yang serang stress karena menunggu proses istrinya yang tengah melahirkan."Loh, katanya Papa gak bisa dateng?" Sultan malah balik bertanya."Tidak mungkin Papa tak datang di saat Papa tahu kamu akan sibuk ke siapa setelah anakmu lagi." Pak Adam berdecak kesal."Tentu saja aku akan sibuk mengurus Sinta. Perihal anak, bisa punya lagi nanti. Kalau istri, tidak akan ada," jawabnya asal tetapi hal itu memang sudah diperkirakan oleh Pak Adam dan istrinya."Baiklah, sekarang jawab pertanyaanku yang tadi. Siapa orang yang punya kesempatan untuk melancarkan aksinya.""Renata," jawab Sultan cepat. "Aku mendapatkan laporan bahwa dia bertukar peran dengan kembaran yang sudah lama tidak diketahui identitasnya. Akan tetapi, orang itu bersedia untuk bekerja sama denganku. Jadi Papa tidak perlu khawatir.""Tetap saja kita harus waspada, karena boleh jadi dokter yang ada di dalam j
"Mas, apa kamu yakin akan melanjutkan pernikahan ini?" tanya Sinta dengan tatapan sendu. Aku yakin dia yang paling tersakiti dengan pernikahan keduaku ini. Istri mana yang mau dimadu dan sanggup menyaksikan suaminya ijab qobul bersama wanita lain. Meskipun alasannya jelas, karena dia tidak bisa mempunyai anak. Sebulan lalu dia memegangi surat bahwa dia mandul, tidak bisa mempunyai keturunan. Oleh sebab itu keluarga memaksaku untuk menikah lagi."Tentu, dong. Walau bagaimanapun keadaannya, Fahmi tetap harus menikah dengan Janah. Dia gadis yang cantik jelita dan baik hati. Siapa yang tidak ingin menikah dengan Janah, seorang kembang desa dan anak dari Ustad tersohor," sahut Diyah, adik kandungku.”Apalagi yang kamu banggakan sebagai wanita kalau tidak bisa memiliki anak?” desis bibi Ratih, adik dari Abah yang memang sangat membenci Sinta. Semua kebenciannya itu berawal dari Abdillah, putranya yang menggilai Sinta, istriku."Sudahlah, jangan sampai ada pertengkaran," ucapku menengahi mer
Selepas ijab qobul, aku tidak lagi melihat Sinta sampai selesai semua rangkaian acara pernikahan keduaku.”Carilah istri pertamamu, Nak. Walau bagaimanapun dia istrimu. Abah bukan tidak tidak menyukai Sinta, hanya saja Abah belum bisa menerima atas tindakan orangtuanya," ucap Abah yang membuatku merasa bersalah karena tadi berbahagia ketika tidak melihatnya dengan tatapan yang selalu kosong kedepan."Baik, Bah.""Jangan biarkan dia merasa terasing disini. Kasihan. Walau bagaimanapun dia adalah istrimu dan juga sudah seperti anak Abah. Meskipun Abah belum bisa mengajaknya bicara Akrab," lanjutnya lagi dan seringkali terdengar helaan nafas berat dan panjang Abah.Awal pernikahanku dengan Sinta Rania memang bukan keinginan kami. Dalam artian orangtua Sinta yang mengancam keluargaku agar menikahi Sinta.Semua keluargaku bisa berpura-pura baik, tapi tidak dengan Abah. Beliau hanya tersenyum padanya sekilas lalu pergi.Tetapi Abah tetap lebih menyayangi dia daripada yang lain, sama seperti
"Maafkan Mas, Sinta," ucapku lirih dengan harapan dia mau memaafkan aku. Kini aku yang tidak berani menatap matanya yang sendu."Kenapa minta maaf, Mas?" tanyanya dengan suara yang terdengar tegar. Seperti sudah mengikhlaskan semuanya."Maaf untuk segalanya," ucapku lagi dengan menaikan kepala, ikut menatap langit yang biru. Tadinya aku berfikir sinar matahari akan mengenai mata jika menatap langit. Ternyata tidak. Ada bayangan pohon yang menutupi sinarnya. Sehingga dari bangku taman ini kita bisa menatap langit yang biru tanpa mata yang terkena sinar matahari."Bukankah aku sudah melarang Mas untuk tidak menerima perjodohan itu. Tapi Mas tetap saja melakukannya," ucapnya santai tapi terasa berat. Terdengar ia menghela nafas panjang."Mas tidak punya pilihan," jawabku apa adanya.Karena jujur saja, aku juga menginginkan seorang anak. Setiap pasangan yang menikah pasti mengharapkan keturunan. Begitupun aku dan juga keluargaku."Jika aku meminta Mas untuk menceraikan Janah, apa Mas akan
Tidak, aku tidak boleh goyah. Bisa jadi mereka sudah lama berteman.Tapi apakah harus akrab seperti itu? Walau bagaimanapun mereka bukan mahram."Kami sudah memutuskan bahwa kalian harus tidur bersama selama satu Minggu. Kalau tidak, kalian bisa pergi liburan berdua," ucap ustadz Hanafi, abinya Janah yang kini telah menjadi abiku juga sungguh sangat membuatku kaget.Seminggu bersama? Terus Sinta bagaimana?Liburan berdua??Apa aku tidak salah dengar?"Maaf tadz, maksudnya apa, ya?" tanyaku pura-pura tidak tahu. Jujur jika bisa memilih, aku lebih memilih tidak mendengar permintaan konyol."Kami sudah mendiskusikan masalah ini dengan keluarga Abah," lanjutnya lagi yang menambah kekagetan ku.Abah?Bukankah Abah setuju untuk tidak ada perjanjian semacam ini?Bukankah ini akan menyakiti Sinta?Aku menarik nafas panjang dengan memejamkan mata. Berharap semua ini hanya mimpi. Ketika kubuka mata, ternyata semuanya real. Malah ada Abah, Umi, bibi Ratih, bahkan Sinta.Kapan mereka berjalan kea
Sebenarnya apa maksud dari ’melepaskan diri? Apa aku harus mencari ustadz Rahman kembali, tapi untuk apa? Untuk meminta penjelasan atau apa?"Mas, kok malah bengong disini?" tanya Janah yang tiba-tiba sudah berada di depanku, sungguh membuatku kaget.”Ada apa, sih? Bisa ’kan tidak bikin Mas kaget?" tanya sepelan mungkin agar bibirnya tidak maju terus."Habisnya Mas malah berdiri disini. Jelas-jelas banyak kursi. Kenapa tidak duduk aja, sih," ucapnya kesal dan aku membenarkan.Kenapa aku berdiri, ya? Apa karena mengikuti ustadz Rahman? Ya sudahlah. Intinya aku baru sadar sekarang.”Maaf Janah. Tapi ketika masuk tadi, sepertinya Mas tidak melihat kursi yang berjejer ini," jawabku jujur."Ayolah, Mas. Apa yang menjadi beban pikiran Mas, sampe membuat kursi-kursi ini tidak terlihat?” ucapnya lagi dengan nada yang sedikit mengejek.'Deg, apa ini Janah yang dulu kukenal?' batinku bertanya-tanya."Sudahlah. Mas capek, mau istirahat," aku berjalan lebih cepat tanpa mempedulikan Janah. Tapi ak