Jovita sedang mengambil susu pasteurisasi dari lemari pendingin dan hendak meletakkan ke dalam troli belanja ketika sebuah suara yang tidak asing lagi di telinga menegurnya.
"Tumben jam segini sudah pulang."
Jovita mendengkus. Tanpa perlu melihat, dia sudah tahu siapa empunya suara. "Kamu juga tumben mampir ke supermarket. Supermarket dekat kantorku pula," balasnya ketus.
"Itu karena aku memang ingin menemuimu," sahut Ezra.
Jovita tetap pada gerakannya mengambil beberapa kotak susu kesukaan Vanya, lalu mendorong troli menyisir deretan makanan beku. "Untuk apa menemuiku? Tidak bisa sampaikan lewat telepon?"
"Kamu tidak pernah mau membalas pesan, apalagi mengangkat teleponku. Jadi aku terpaksa menemuimu langsung," jawab Ezra
Suasana tegang sangat terasa di ruang keluarga kediaman Irwan Hengkara malam itu. Sofa berbentuk huruf U berwarna krem dipenuhi oleh beberapa orang yang semua menampilkan air muka penuh ketegangan. Jovita diapit oleh Davina dan ibunya duduk di bagian tengah sofa yang membelakangi jendela kaca besar dengan bingkai kayu jati berpelitur cokelat. Sisi kiri sofa diduduki oleh Bayu dan Arifin, pengacara perceraian Jovita, sedangkan di sisi kanan Damian – suami Davina – dan Irwan duduk berdampingan. Jovita memeluk cushion bermotif Bohemian yang senada dengan permadani Turki yang menghampar di lantai. Berbagai emosi berkecamuk, tidak lagi mampu diidentifikasikannya satu-persatu semenjak Monica memperlihatkan video 'Fifty Shades of Bule Hunter' yang sedang beredar luas di dunia maya. Sebuah video yang berisi foto dan hubungan intim beberapa pasangan perempuan Indonesia dengan pria kaukasia.
Pintu diketuk setelah 5 menit Jovita menangis di ruangan kerjanya. Sosok Rania dan Monica terlihat berdiri di balik pintu kaca sandblast. Keduanya masuk setelah melihat anggukan kepala dari Jovita. Jovita menghapus sisa air mata di pipi, berusaha menahan isak yang tersisa. "Ada apa?" "Jo, apa tidak lebih baik beristirahat di rumah saja? Kamu tidak perlu masuk sampai masalah ini reda dengan sendirinya," usul Rania sambil menarik kursi di hadapan Jovita. "Jangan pikirkan pekerjaan, Jo. Kami bisa mengatasinya. Fokuslah dulu dengan kondisimu, habiskan waktu sesering mungkin bersama Vanya," saran Monica yang duduk di samping Rania. Jovita menarik napas panjang. "Entahlah. Di satu sisi, aku tidak sanggup bertemu dengan orang-orang nyinyir, tapi di sisi lain, aku perlu keg
"Vanya harus jadi anak baik, ya," pesan Jovita dengan suara parau saat Ezra menjemput Vanya. Setelah lebih dari setengah tahun memperjuangkan hak asuh di tingkat kasasi yang berujung pada kekalahan, ia terpaksa harus rela melepaskan pengasuhan putri semata wayangnya itu kepada Ezra. Vanya mengangguk, lalu bertanya kepada ayahnya. "Kita mau ke mana, Daddy?" "Kita pulang ke rumah," sahut Ezra. "Rumah Senayan?" tanya Vanya dengan wajah berbinar. Ia tidak sabar akan kembali ke kamar dan mainan kesayangannya yang sudah ditinggalkannya lebih dari 1 tahun. Ezra mengangguk. "Kenapa Mommy tidak ikut?" tanya Vanya bingung. "Nanti Mommy menyusul," sahut E
"Jov, makanlah dahulu. Sejak siang kamu belum makan dan minum sedikit pun," bujuk Irwan seraya membelai rambut Jovita. Hatinya hancur melihat putri sulungnya yang selama ini ceria dan energik berubah menjadi tak berdaya. Ditambah lagi kehilangan cucu yang selama ini meramaikan hari-harinya. "Tidak lapar, Pa," sahut Jovita lirih. Ia terkapar lemas tak berdaya di tempat tidur sejak tadi siang. Matanya sembap, menangisi putrinya tiada henti. "Nanti kamu sakit, Jov," bujuk Irwan. "Buat apa aku bertahan? Aku sudah tidak punya apa-apa lagi, Pa," isak Jovita. Semua yang dimilikinya hilang dari genggaman. Rumah tangga, nama baik, pekerjaan, hingga putri kesayangan. Ezra merenggut semuanya. "Jangan bicara begitu. Kamu masih punya kami. Papa sudah kontak Pak Arifin, beliau akan
Jovita mengambil koper besarnya dari baggage conveyor, lalu berjalan menuju pintu kedatangan Visby Airport, bandara yang ukurannya lebih kecil dan lengang dibanding Bandara Halim Perdana Kusuma. Visby Airport adalah satu-satunya bandara komersial di Gotland, sebuah pulau di tengah laut Baltik, yang masuk ke dalam wilayah negara Swedia. Dibutuhkan waktu sekitar 40 menit penerbangan dari bandara Arlanda di Stockholm, ibu kota Swedia, untuk sampai ke bandara Visby. "Jovita!" panggil Thomas begitu melihat sosok wanita Asia keluar dari Ankomsthall atau area kedatangan. Perempuan itu terlihat lebih kurus dan kuyu dibanding terakhir kali mereka bertemu hampir dua tahun silam. "Thomas!" sahut Jovita. Ia bergegas menghampiri pria Skotlandia yang berdiri menyambut dengan tangan terbuka. "Välkommen till Gotland! Selamat
Bagaimana tidurmu semalam, Jo?" tanya Thomas yang sudah tampak segar di jam 7 pagi itu, saat Jovita keluar dari pondoknya. "Sangat pulas," sahut Jovita. Ia mengamati suasana di sekelilingnya. Matahari - yang saat awal musim panas di Swedia sudah terbit sekitar pukul setengah 4 pagi - bersinar dengan cerahnya. Mahkota kuning bunga irish fleabane yang bermekaran di sela-sela rerumputan hijau terlihat begitu menyegarkan mata. "Apakah kamu sudah sarapan?" Jovita mengangguk. Ia sudah membuat roti panggang yang disediakan di dapur pondoknya. "Kalau begitu, mari kita berkeliling," ajak Thomas. Jovita segera mengganti alas kaki dengan sepatu kets dan kemudian bersama Thomas berjalan pagi.
Pukul 19.00, Jovita melangkah ke luar dari pondoknya, berjalan melewati halaman rumput yang luas menuju rumah utama. Matahari masih jauh dari horizon, sinarnya menerangi langit sore. Seorang pria berusia 55 tahun keluar dari pondok nomor 2 yang berdekatan dengan tempat Jovita tinggal. "Hallå!" sapa pria itu ramah dengan suara agak serak. Meskipun menyapa dengan bahasa Swedia, tapi dari gayanya, Jovita menduga pasti pria itu bukan orang Swedia. Teringat cerita Joseph bahwa orang Swedia cenderung menghindari bertegur sapa, bukan justru sengaja keluar menyapa seperti pria ini. Fisiknya pun lebih mendekati kaukasia mediteranian dibanding kaukasia nordic. Kulit berwarna olive dan berbintik-bintik, serta rambut gelombang berwarna cokelat. "Halo," sahut Jovita.
Usai melahap roti panggang dan susu, Jovita memakai sepatu ketsnya. Thomas pasti sudah menunggu untuk berjalan pagi seperti kemarin. Sebelum keluar, ia terlebih dahulu mengintip ke arah rumah Joseph, memastikan pria itu tidak sedang berada di depan rumah. Ia tertawa geli karena merasa sudah memiliki kebiasaan seperti orang Swedia pada umumnya, mengintip sebelum keluar untuk menghindari tegur sapa. Harapannya pupus kala melihat Joseph sedang berada di beranda rumah. Ia harus menunggu hingga pria itu masuk ke dalam. Dalam hati berharap Thomas mau bersabar menanti. Diamatinya Joseph sedang menyirami tanaman-tanaman dalam pot yang berjejer di atas pagar pembatas teras dengan telaten. Penampilan pria itu sama seperti kala pertama kali mereka bertemu, mengenakan kaos tanpa kerah dan celana jin, rambut lurus cokelat yang hanya dirapikan dengan jemari, rambut-rambut halus - yang tampaknya sengaja tidak dicukur beberapa hari - mengelilingi