"Jov, makanlah dahulu. Sejak siang kamu belum makan dan minum sedikit pun," bujuk Irwan seraya membelai rambut Jovita. Hatinya hancur melihat putri sulungnya yang selama ini ceria dan energik berubah menjadi tak berdaya. Ditambah lagi kehilangan cucu yang selama ini meramaikan hari-harinya.
"Tidak lapar, Pa," sahut Jovita lirih. Ia terkapar lemas tak berdaya di tempat tidur sejak tadi siang. Matanya sembap, menangisi putrinya tiada henti.
"Nanti kamu sakit, Jov," bujuk Irwan.
"Buat apa aku bertahan? Aku sudah tidak punya apa-apa lagi, Pa," isak Jovita. Semua yang dimilikinya hilang dari genggaman. Rumah tangga, nama baik, pekerjaan, hingga putri kesayangan. Ezra merenggut semuanya.
"Jangan bicara begitu. Kamu masih punya kami. Papa sudah kontak Pak Arifin, beliau akan
Jovita mengambil koper besarnya dari baggage conveyor, lalu berjalan menuju pintu kedatangan Visby Airport, bandara yang ukurannya lebih kecil dan lengang dibanding Bandara Halim Perdana Kusuma. Visby Airport adalah satu-satunya bandara komersial di Gotland, sebuah pulau di tengah laut Baltik, yang masuk ke dalam wilayah negara Swedia. Dibutuhkan waktu sekitar 40 menit penerbangan dari bandara Arlanda di Stockholm, ibu kota Swedia, untuk sampai ke bandara Visby. "Jovita!" panggil Thomas begitu melihat sosok wanita Asia keluar dari Ankomsthall atau area kedatangan. Perempuan itu terlihat lebih kurus dan kuyu dibanding terakhir kali mereka bertemu hampir dua tahun silam. "Thomas!" sahut Jovita. Ia bergegas menghampiri pria Skotlandia yang berdiri menyambut dengan tangan terbuka. "Välkommen till Gotland! Selamat
Bagaimana tidurmu semalam, Jo?" tanya Thomas yang sudah tampak segar di jam 7 pagi itu, saat Jovita keluar dari pondoknya. "Sangat pulas," sahut Jovita. Ia mengamati suasana di sekelilingnya. Matahari - yang saat awal musim panas di Swedia sudah terbit sekitar pukul setengah 4 pagi - bersinar dengan cerahnya. Mahkota kuning bunga irish fleabane yang bermekaran di sela-sela rerumputan hijau terlihat begitu menyegarkan mata. "Apakah kamu sudah sarapan?" Jovita mengangguk. Ia sudah membuat roti panggang yang disediakan di dapur pondoknya. "Kalau begitu, mari kita berkeliling," ajak Thomas. Jovita segera mengganti alas kaki dengan sepatu kets dan kemudian bersama Thomas berjalan pagi.
Pukul 19.00, Jovita melangkah ke luar dari pondoknya, berjalan melewati halaman rumput yang luas menuju rumah utama. Matahari masih jauh dari horizon, sinarnya menerangi langit sore. Seorang pria berusia 55 tahun keluar dari pondok nomor 2 yang berdekatan dengan tempat Jovita tinggal. "Hallå!" sapa pria itu ramah dengan suara agak serak. Meskipun menyapa dengan bahasa Swedia, tapi dari gayanya, Jovita menduga pasti pria itu bukan orang Swedia. Teringat cerita Joseph bahwa orang Swedia cenderung menghindari bertegur sapa, bukan justru sengaja keluar menyapa seperti pria ini. Fisiknya pun lebih mendekati kaukasia mediteranian dibanding kaukasia nordic. Kulit berwarna olive dan berbintik-bintik, serta rambut gelombang berwarna cokelat. "Halo," sahut Jovita.
Usai melahap roti panggang dan susu, Jovita memakai sepatu ketsnya. Thomas pasti sudah menunggu untuk berjalan pagi seperti kemarin. Sebelum keluar, ia terlebih dahulu mengintip ke arah rumah Joseph, memastikan pria itu tidak sedang berada di depan rumah. Ia tertawa geli karena merasa sudah memiliki kebiasaan seperti orang Swedia pada umumnya, mengintip sebelum keluar untuk menghindari tegur sapa. Harapannya pupus kala melihat Joseph sedang berada di beranda rumah. Ia harus menunggu hingga pria itu masuk ke dalam. Dalam hati berharap Thomas mau bersabar menanti. Diamatinya Joseph sedang menyirami tanaman-tanaman dalam pot yang berjejer di atas pagar pembatas teras dengan telaten. Penampilan pria itu sama seperti kala pertama kali mereka bertemu, mengenakan kaos tanpa kerah dan celana jin, rambut lurus cokelat yang hanya dirapikan dengan jemari, rambut-rambut halus - yang tampaknya sengaja tidak dicukur beberapa hari - mengelilingi
Seekor binatang yang lebih besar dan panjang dibanding kucing, berbulu lebat gelap, dengan moncong panjang sedang membelalakkan mata, seolah merasa terusik dengan kehadiran manusia. Belum pernah Jovita melihat binatang seperti itu. Alarm bahaya di otak Jovita menyala. Ia segera melarikan diri. Namun nahas, kakinya tersandung batu dan ia pun terjerembap. Instingnya memerintahkan untuk membalik badan dan melindungi diri. Dengan posisi telentang, kedua siku bertumpu di tanah, kedua kaki Jovita adalah senjata sekaligus tameng agar binatang itu tidak menerkam tubuhnya. Usahanya berhasil, binatang bermoncong panjang itu hanya bisa menggigit hak sepatu boots-nya. Jovita pun menjerit sambil menghentakkan kaki agar binatang itu melepaskan gigitannya. Sebuah ranting kayu dipukulkan tidak terlalu keras ke moncong binatang oleh seseorang
Setelah makan siang, Jovita mendatangi rumah Ronja seperti permintaan Thomas tadi pagi. Tiga anak lelaki sedang bermain perang-perangan dengan serunya di halaman. Jovita mengetuk pintu berwarna putih yang terbuka. "Hallå!" Ia menyapa menggunakan bahasa Swedia yang coba dipelajarinya sedikit-sedikit. Seorang anak perempuan berambut pirang dikucir kuda menyambut Jovita. "Vem är du¹?" tanyanya dengan kepala mendongak memandangi wanita asing di hadapannya. Jovita kebingungan. Ia tidak tahu apa yang ditanyakan anak ini, belum sejauh itu ia belajar. Ia menerka mungkin gadis kecil ini bertanya tentang identitasnya. "Hi, I'm Jovita. I want to meet Ronja," jawabnya sambil berharap semoga anak ini paham apa yang baru saja disampaikannya. "Wait a minute
"Dia hanya bisa seperti itu saat bersama anak-anak," ujar Ronja yang telah berdiri di samping Jovita dan ikut melihat ke luar jendela. "Maksudmu?" Jovita tidak memahami sepenuhnya yang Ronja bicarakan. "Berapa lama kamu bersama Joseph saat di Melbourne?" Ronja balik bertanya. "Tidak sampai satu minggu. Kami hanya sesekali bersama karena kegiatan yang kami hadiri berbeda," jawab Jovita. Ia makin bingung kaitan antar pernyataan dan pertanyaan Ronja. Ronja tersenyum, memahami kebingungan Jovita. Perempuan ini pasti belum mengenal karakter Joseph yang memang tertutup. "Joseph hanya bisa tertawa dan cerewet apabila berada di antara anak-anak, sedangkan jika bersama orang dewasa, ia lebih memilih sedikit bicara, apalagi tertawa. Well, kami orang Swedia memang tidak suka b
Pukul 8 malam, anak-anak sudah memasuki kamar tidur. Jovita membacakan cerita untuk tiga anak perempuan di kamar, sedangkan Joseph untuk tiga anak lelaki. Sebuah buku dengan dua bahasa berjudul 'I love to tell the truth' atau 'Jag älskar att tala sanning' menjadi pilihan Inga untuk dibacakan oleh Jovita. Jovita membacakan versi bahasa Inggris, sedangkan Inga membaca artinya dalam bahasa Swedia untuk Filippa dan Lotta. "Apakah kamu punya anak?" tanya Filippa yang kemudian diterjemahkan oleh Inga, setelah buku itu selesai dibaca. Jovita mengangguk. Wajah Vanya kembali menari di matanya. "Anak perempuan, 6 tahun." "Apakah kamu punya fotonya?" tanya Inga. Jovita mengeluarkan ponselnya, memperlihatkan foto Van