Share

Pendekatan Palsu

Gus Aaraf langsung keluar dari mobil tanpa berbicara apapun, dia meninggalkanku sendirian di sini yang masih bingung menatapnya. Kalau dia tidak mencintaiku, kenapa harus bersikap seperti ini?

Apa jangan-jangan sedikit demi sedikit aku sudah berhasil nengusik pikirannya?

"Kamu sangat misterius, Gus," gumamku.

Kakiku melangkah bergantian memasuki rumah dan langsung menunju kamar. Pemandangan yang pertama kali aku lihat adalah Gus Aaraf yang tengah menggelar sajadah.

"Cepat wudhu. Kita sholat bareng."

"Iya, Gus."

Kalau dia seperti ini, jujur saja perasaanku menghangat. Aku adalah wanita normal yang mendambakan sikap manis suaminya, bukankah wajar kalau aku ingin Gus Aaraf bersikap lembut?

Usai sholat Gus Aaraf mengulurkan tangan sehingga aku langsung menyambutnya. Ini adalah pertama kali aku mencium tangan suamiku setelah sholat selama satu bulan pernikahan.

'Ya Allah, apakah hatinya sudah melunak? Atau ini karena perasaan bersalahnya pagi tadi? Apapun itu, aku sangat bahagia dengan perubahannya,' batinku.

Gegas aku melipat mukena dan keluar kamar untuk menyiapkan makan siang. Kali ini hanya ada kami berdua lantaran Abah Umik sedang pergi. Semua makanan sudah tertata rapi di meja makan, tidak seberapa lama kemudian suamiku keluar dari kamar.

"kamu nyiapin ini sendirian?"

Aku mengangguk, "iya, Gus. Mau minta bantuan mbak ndalem juga nggak ada tadi."

"makasih, karena kamu sudah repot-repot menyiapkan ini."

"Nggak repot, Gus. Ini sudah menjadi kewajiban saya."

Pria tampan itu terpaku melihatku agak lama, "jangan lupakan kamu juga wajib taat apa kata suami. Jangan dekat-dekat pria lain yang bukan mahram, meskipun itu Dosen kamu sendiri."

"I-Iya, Gus."

"Ingat baik-baik, Kayshilla!" Suaranya terdengar sangat dingin.

Apakah dia benar-benar marah? Lalu bagaimana kedekatannya dengan Ayrani? Gus Aaraf dengan mudahnya protes saat aku dekat dengan pria lain, tetapi aku bisa apa saat suamiku itu masih dekat dengan wanita lain?

"Kamu dengar 'kan, Kay?" tanyanya lagi yang sontak membuyarkan lamunanku.

"Iya, Gus. Saya minta maaf, besok-besok saya akan jaga jarak."

Pria tampan itu mengangguk, "bagus kalau kamu paham. Sekarang ayo kita makan."

Tanganku langsung mengambil piring dan menyendokkan nasi untuknya, Tugasku adalah melayani pria dengan sifat berubah-ubah di depanku ini. Tidak peduli bagaimana dia memperlakukanku, tetapi yang pasti aku harus selalu patuh

Usai makan aku berjalan mengikuti Gus Aaraf menuju kamar. Pria tampan itu duduk di sofa dengan memangku laptop, sedangkan langkahku menuju lemari guna mengambilkan baju ganti. Dia belum ganti baju sejak menjemput ku dari kampus.

Sesekali ujung netra melirik ke arahnya, tampak jemarinya sesekali menekan pelipis seolah sedang ada yang mengganggu pikiran.

"Mau saya pijit kepalanya, Gus?"

Gus Aaraf menoleh, "nggak usah! Cuma pusing sedikit, kok."

Aku mengangguk dan lantas keluar kamar menuju dapur. Tujuanku adalah membuatkan kopi untuknya, semoga saja bisa membuat Gus Aaraf sedikit membaik.

"Diminum kopinya, Gus." Aku meletakkan cangkir berisi kopi panas itu di nakas sebelah sofa.

Dia langsung meraihnya dan lantas menyesap kopi tersebut. Kemudian tangannya mengembalikan cangkir ke posisi semula dan jemarinya kembali menekan pelipis.

"Saya pijitin kepalanya, ya, Gus."

"Memangnya kamu bisa?!"

"Bisa, kok. Gus coba rasakan dulu, pasti suka sama pijatan saya."

Matanya tampak berpikir untuk beberapa saat, "ya sudah kalau begitu. Kepalaku juga tumben pusing banget," keluhnya.

Aku lantas mengulas senyum dan langsung mengambil posisi untuk memijat kepala suamiku. Tebakanku adalah Gus Aaraf tengah memikirkan kata-kata Abah tadi pagi, pasti ia masih dilema bagaimana menghadapi ketidaksetujuan Abahnya.

Kasihan juga Gus Aaraf, pasti ia punya mimpi. Namun, Abah tidak berpihak kepadanya. Aku ingin sekali mengatakan kalau pundakku siap dijadikan sandaran saat dirinya lelah, tetapi aku takut hanya penolakan yang ia lontarkan.

"Tidur saja setelah ini, Gus, biar pikirannya tenang. Tapi ganti baju dulu."

Gus Aaraf hanya mengangguk.

"Mau saya kasih minyak aroma terapi nggak, Gus? Mungkin bisa bikin rileks."

"Diam lah, Kay! Kamu ini cerewet banget!"

Bibirku sontak mengatup rapat. Padahal niatku hanya ingin perhatian, tetapi suamiku merespon beda. Lagian salahku juga terlalu memancingnya. Beberapa menit kemudian Gus Aaraf tampak menutup mata, dengan perlahan juga aku membenarkan letak selimut.

Kakiku melangkah menuju ranjang dan merebahkan diri di sana. Aku juga akan tidur, lelah juga lantaran kegiatanku di kampus tadi.

***

Waktu terus bergulir, saat ini jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Semua makanan sudah tersaji di meja makan, juga Abah dan Umik yang sudah duduk di kursinya masing-masing.

"Suamimu masih lama, Nduk?"

"Tadi masih mengaji, Mik. Kay panggil saja, ya, biar kita bisa segera makan malam."

Wanita paruh baya itu mengulas senyum, sehingga aku lantas bangkit dan beranjak menuju kamar guna memanggil Gus Aaraf.

Namun, saat tanganku baru saja membuka pintu, ternyata suamiku tengah berbincang dengan seseorang di seberang telepon. Gelagatnya tampak gelisah, bahkan ia tidak menyadari kehadiranku.

"Kenapa, Ay?" katanya yang semakin membuat keningku mengerut.

"Nggak! Mas masih nggak setuju!" Aku semakin mengernyit bingung lantaran tidak tahu apa yang mereka bahas.

"Kita bisa membicarakan ini dulu, kenapa kamu pilih jalan ini? Aku bisa membawamu ke depan Abah dan Umik kalau mau! Jangan seperti ini, Ay."

Deg!

Kakiku hampir luruh dengan bola mata membola lebar. Netraku masih fokus menatap punggung suamiku saat ia menjauhkan ponselnya dari daun telinga. Gus Aaraf berbalik badan, ia terkejut melihatku yang berdiri di depan pintu.

Ah, beruntung aku tidak menangis!

"Ka-Kamu dari tadi, Kay?"

Aku mengangguk lirih dengan bibir yang memaksakan senyum, "saya disuruh Abah dan Umik untuk memanggil Gus makan malam. Ayo, Gus ... kita sudah ditunggu."

Aku membalikkan tubuh dan langsung meluruhkan air mata. Entah apa yang Gus Aaraf bicarakan, tetapi aku paham dari kata-katanya bahwa ia akan membawa wanita lain ke hadapan Abah.

Kalau memang begitu, maka aku akan hancur sebelum berjuang. Gus Aaraf sudah meleburkan semua harapanku, bahkan ia tidak memberiku kesempatan untuk memperjuangkan hakku.

"Maaf menunggu lama, Mik." Aku mendudukkan diri dengan kepala menunduk.

"Nggak papa, Nduk. Ayo kita makan dulu."

Aku tetap melayani Gus Aaraf layaknya istri yang patuh. Mengambilkan makanan dan minuman, bahkan dengan senyuman yang terus membungkus lukaku.

"Besok malam kalian ada acara, Aaraf?"

Gus Aaraf melihat ke arahku yang masih mengatupkan bibir, "tidak ada, Bah," jawabnya.

"Bagus kalau begitu. Besok malam kalian bisa ikut Abah dan Umik ke rumah Pamannya Ayrani untuk menghadiri lamarannya."

Aku tertegun, "Mbak Ayrani akan menikah, Bah? Dengan siapa?"

"Salah satu Kang Santri di pondok ini, Kay. Abah sendiri yang menjodohkannya. Tadi siang Abah dan Umik ke rumah Pamannya Ayrani untuk membicarakan ini, syukurlah beliau setuju."

Aku masih tertegun dengan keputusan Abah. Pantas saja Gus Aaraf tampak berbeda. Ternyata ini alasannya sikap suamiku berubah manis tadi.

Apa gara-gara Ayrani akan menikah lalu Gus Aaraf mulai menerima kehadiranku?

Apa karena dia tidak bisa bersatu dengan cinta pertamanya, makanya dia mulai lembut padaku?

Ah, sakit sekali mengetahui pendekatannya tadi hanya palsu. Suamiku mencoba dekat lantaran cinta pertamanya akan menikah, bukan dari hatinya sendiri.

"Kenapa Abah jodohkan dia? Kalau ternyata dia sudah punya pilihan bagaimana?" Gus Aaraf membuka suara yang tak ayal membuatku tersentak kaget.

"Pamannya sendiri yang bilang Ayrani belum ada calon, makanya Abah berani menjodohkan. Lagian dia akan pertukaran pelajar, dia juga sudah gadis. Akan lebih baik rasanya kalau didampingi suami demi keamanannya."

"Apa harus seperti itu, Bah?"

"Aaraf ...." Umik berusaha melerai meskipun Abah tampak tidak terpancing.

Ujung netraku melirik ke arah Gus Aaraf yang tengah memalingkan pandangan, "Abah memang suka sekali membuat keputusan sepihak yang terkesan memaksa," jawabnya dengan suara lirih dan lantas beranjak dari meja makan.

"Aaraf? Mau ke mana?!"

"Gus Aaraf tadi katanya pusing, Bah. Nanti Kay antarkan makanan ke kamarnya saja."

"Ya sudah kalau begitu, Nduk. Tapi kamu makan dulu, ya."

"Iya, Umik."

Aku mengangguk, samar-samar pendengaranku menangkap Abah yang tengah menghela napas berat.

"Ada-ada saja dia. Pasti pusing karena perusahaannya lagi."

Aku dan Umik tidak menyahut. Pikiranku sibuk meminta hati untuk tenang karena tahu penyebab pusing suamiku adalah Ayrani.

Yeah! Suamiku pusing lantaran memikirkan cara untuk mempertahankan cinta pertamanya!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Widuri Widuri
lanjutkan saya sudah tidak sabar menunggu endingnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status