Lisa tidak ingin lagi membaca rentetan pesan yang mempermainkan akal sehatnya itu. Genggamannya pada ponsel semakin menguat. Dengan napas yang memburu penuh amarah, ia lempar benda elektronik itu ke dinding lift, melampiaskan seluruh api yang bercokol di dadanya.Dia tidak pernah dipermainkan seperti ini. Lisa bersumpah akan melenyapkan Nayna secepatnya!Ponsel dengan logo apel yang tergigit itu akhirnya hancur. Cukup sudah teror itu menghancurkan kendali dirinya. Kali ini dia tidak akan tinggal diam lagi.“Aku akan menghancurkan kamu untuk kedua kalinya, Nayna!”Sedang nama yang menjadi objek sumpah itu bersandar di balik dinding yang tidak terlihat di lantai tiga. Mengamati Rama yang masih berdiri kaku di tengah lorong dengan sorot mata yang kelewat bingung. Ada kecemasan dan ketakutan dalam bola matanya yang selalu menatap ramah itu.“Maaf, kamu harus menderita dulu, Rama.”Nayna memaku kakinya di atas lantai, semata untuk menghentikan dirinya agar tak menghampiri lelaki itu. Kedua
Meskipun ide itu terdengar cemerlang, tapi Rama masih memegang prinsipnya bahwa kesalahpahaman Lisa akan semakin menjadi-jadi jika dia malah mengundang Ayna ke rumah mereka secara pribadi. Lisa akan mengira jika mereka memang dekat.“Saya menghargai niat Anda, Ayna, tapi saya akan menyelesaikannya sendiri.”“Baiklah. Kapan pun Anda berubah pikiran, saya siap bertemu dengan istri Anda kapan saja.”Rama mengangguk, masih sibuk dengan pikirannya ketika Nayna berdiri.“Ini adalah hari terakhir saya bertemu dengan Anda, karena Anda akan pergi besok.”“Tidak, saya akan tetap di sini menyelesaikan semuanya.”Nayna memberikan anggukan setuju. “Anda juga masih punya utang tiga hari melayani saya.”“Saya akan mengingatnya.”Rama tidak lagi memberikan respons. Segala keramahannya berganti dengan kekalutan. Mata hangatnya berubah penuh kecemasan. Ia tidak m
Malam ini Rama berusaha pulang lagi. Berharap Lisa akan melunak dan mau mendengarkan penjelasannya.Diketuknya pintu rumah untuk kesekian kalinya. Bel bahkan sudah ia pencet puluhan kali. Sampai akhirnya Bik Sumi membuka pintu dengan ekspresi menyesal dan tidak enak.Bahu Bik Sumi melemas dengan kedua tangan yang saling meremas. “Maaf, Pak. Ibu bilang saya nggak boleh bukain pintu untuk Bapak. Tapi, saya nggak enak biarin Bapak terus ngetuk dan mencet bel begini.”Rama menarik napas dalam-dalam. “Nggak papa, Bik. Ini bukan kemauan Bibik.” Ia mengintip ke dalam. “Mana Lisa?”“Ibu belum pulang.”Rama melirik arlojinya. “Sudah jam sepuluh. Kenapa Lisa belum pulang?”“Saya juga nggak tahu, Pak. Ibu nggak bilang apa-apa.” Perempuan paruh baya berdaster merah jambu dengan motif kembang mawar itu masih menunduk takut-takut.“Ya sudah. Bibik boleh balik ke kamar.&rd
Rama termenung sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Bik Sumi yang duduk di sampingnya merasa khawatir. Seharusnya Rama tidak perlu membelanya sampai membuat Lisa marah.“Saya nggak papa, Pak. Kita putar balik saja ya, takutnya Ibu bener-bener marah.”Rama melirik Bik Sumi sekilas, memberikan senyum yang menandakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. “Ini bukan salah Bibik. Lisa memang sudah marah sama saya sebelum ini.”Bik Sumi merasa tidak enak terkait dirinya yang menyembunyikan paket untuk Rama tempo hari, tapi ada daya, dia tidak punya pilihan lain selain menuruti kata-kata Lisa.“Luka saya nggak papa kok, Pak. Benar kata Ibu, tinggal dioles salep. Besok bakal sembuh.”“Nggak bisa. Bibik celaka karena Lisa. Saya nggak bisa membiarkan luka Bibik begitu saja.”Bik Sumi langsung meremas tangan gugup. “Bu-bukan Ibu kok yang mencelakai saya.”Kening Rama mengernyit tidak suka. “Saya lihat sendiri. Dia melempar gelas berisi teh panas itu ke kaki Bibik. Saya nggak habis pikir kenapa
Dan di sinilah Lisa berada. Di restoran bergaya Eropa dengan nuansa yang damai dan menenangkan. Jauh berbeda dengan tujuan pertemuan ini. Dalam gandengan lengan Rama, ia berjalan menuju meja yang arahnya berseberangan dengan jendela, sehingga ia bisa melihat pemandangan gedung-gedung pencakar langit serta lampu kerlap-kerlip yang menerangi kota dari lantai tiga. Tidak main-main, Rama bahkan membawanya ke restoran bertingkat lima dan sudah mereservasi satu meja dengan posisi strategis untuk membahas hal-hal penting. Rama menarik kursi untuk Lisa dan memegang kedua bahunya ketika Lisa menjatuhkan diri pada kursinya, kemudian berbisik lembut di telinga wanita itu. “Dia akan datang 20 menit lagi, jadi kita bisa menikmati waktu kita dulu.” Ah, hampir saja Lisa menyemprot Rama karena membawanya ke tempat yang sangat mewah dan romantis ini hanya untuk pertemuan dengan perempuan kampungan macam Nayna. Kemarin malam, Lisa nyaris menolak ajakan gila Rama. Bertemu dengan Nayna? Kenapa dia h
"Kapan dia akan datang?"Lisa melemaskan jari-jarinya seolah sudah siap untuk berperang dengan Nayna. Dua puluh menit sudah berlalu, tapi wanita itu belum jua datang. Lisa sudah tidak sabar melihat pakaian udik macam apa yang akan dipakai Nayna kali ini.Rama melirik arlojinya dan ikut heran. "Kita tunggu sebentar lagi."Lisa mengangguk sambil membaca pesan yang dikirimkan orang-orang suruhannya 15 menit yang lalu.'Kami sudah ada di depan restoran. Kami akan menangkap orang yang ada di foto itu.'Lisa mendapatkan foto Nayna dari Bagus. Foto tanpa make up serta foto pernikahannya yang full make up. Untuk berjaga-jaga barangkali Naya datang dengan riasan ala ondel-ondel agar orang suruhannya bisa mengenali wanita itu.Lisa turut membaca pesan balasannya. 'Bagus. Amati baik-baik. Kalau kalian melihat dia, langsung singkirkan.'Mungkin saja sekarang Nayna sedang diatasi oleh orang-orang suruhannya. Barangkali perempuan itu sedang mengemis untuk diampuni. Yang jelas, dia tidak akan sampai
Nayna tidak pernah berniat menjerumuskan dirinya dan Rama ke dalam lubang yang akan menenggelamkannya. Malam itu tidak seinchi pun dia menyentuh kulit Rama. Ketika dua pegawai hotel berseragam kombinasi merah dan hitam sudah membaringkan tubuh Rama di atas ranjang, Nayna meminta mereka menggantikan pakaian Rama sementara dia masuk ke kamar mandi untuk menghindar. Setelah keluar dari kamar mandi, Rama sudah memakai bathrobe hotel. Meski begitu, bagian dadanya tetap terekspos. Sesaat setelah dada yang bidang itu terlihat olehnya, Nayna langsung memalingkan wajah. “Kami sudah menggantikannya, ada yang Ibu butuhkan lagi?” Nayna mengangguk kemudian mengeluarkan lipstik dari dalam tasnya. “Kalian bisa menambahkannya di dadanya?” Dua pegawai hotel itu terdiam heran melihat lipstik yang diulurkan Nayna. Ketika Nayna memberikan tatapan tegas, barulah mereka mengambilnya. “Usapkan di kulit dadanya sedikit demi sedikit, seperti bekas—“ Nayna sedikit ragu untuk menyebutkan kata selanjutnya.
Dia bukan Nayna yang Lisa temui di rumah wanita itu, bukan pula Nayna yang datang ke hotel bersama sahabatnya untuk melabrak dirinya. Sama sekali bukan.Nayna yang ini berbahaya. Dengan mata memerah dan melotot tajam padanya, raut dingin dan mata yang dipenuhi ancaman serta dendam yang membara. Lisa merinding. Ada rasa aneh seperti perasaan takut yang menjalar ke dadanya.“Kamu nggak bisa menyentuh saya lagi.” Lisa mematung. Sekujur tubuhnya membeku kendati rasa sakit di kaki dan punggungnya masih menyengat.“Kamu mengira saya nggak bisa menghancurkan kamu? Jangan salah paham. Suami kamu sudah ada dalam genggaman saya. Malam ini juga saya bisa membocorkan semua kelakukan bejat kamu ke dia.”Napas Lisa tertahan ketika bibir Nayna semakin menipis, bergetar seolah menahan diri untuk tidak mengeluarkan semua cacian yang ada dalam kepalanya.“Jangan mempercayai cerita saya. Siapa bilang saya nggak tidur dengan suami kamu?” Raut wajah yang mengeras itu berubah menjadi sangat dingin, kemudi