Lisa baru saja menyelesaikan yoga rutinnya setiap pagi ketika notifikasi tagihan kartu kredit yang melonjak membuatnya terkejut dan heran.
Tagihannya hampir mencapai limit. Seingat Lisa, Bagus tidak pernah menggunakan kartu kreditnya sebar-bar ini. Apalagi semalam Lisa sudah memberinya uang tunai yang lumayan banyak.
Dia juga sudah mengirim kulkas dan TV ke rumah ibunya. Tidak ada alasan untuk Bagus berbelanja sebanyak ini. Didorong oleh rasa bingung dan heran, Lisa menelepon Bagus.
Semakin bingung ketika pria yang umurnya lebih muda darinya itu tidak mengaktifkan telepon sama sekali. Pesan-pesannya pun tidak ada yang terbaca. Ada apa dengan Bagus?
Lisa menghela napas. Sudahlah, toh mereka akan bertemu nanti malam.
Ia meletakkan ponsel kembali ke atas meja dengan helaan napas cemas.
Sementara di dalam mal, Nayna dan Vina sudah memegang kantong belanjaan yang sangat banyak sampai tangan mereka bahkan tidak cukup untuk membawa semuanya.<
“Hasil penyelidikan tentang perempuan pelakor itu sudah ada, Nay.”Vina mengeluarkan amplop cokelat dari dalam tasnya sesaat setelah dia membuka pintu kos.“Duduk dulu, Vin. Kamu baru pulang kerja.” Nayna menyusun piring-piring yang baru saja dicucinya ke rak piring di samping kulkas.Vina duduk di atas kasur yang tak lagi empuk itu. “Namanya Lisa Widyananta, umur 30 tahun dan punya bisnis gym. Suaminya adalah Rama Widyananta, usianya 32 tahun dan menjalankan bisnis restoran yang punya banyak cabang di seluruh Indonesia.”Nayna diam mendengarkan. Dalam hati penasaran, mengapa perempuan bernama Lisa itu masih mencari kesenangan di luar sana ketika hidupnya sudah nyaris sempurna?“Suaminya sibuk banget mengurus cabang restorannya di mana-mana dan sering ke luar kota. Mungkin karena itu, Lisa sampai memelihara berondong laknat macam Bagus.”Nayna mengabaikan. “Di mana alama
Rama Widyananta tidak terlihat seperti laki-laki narsis yang buruk atau pria kaya yang angkuh dan pemain wanita. Padahal Nayna mengharapkan sikap yang kurang ajar dan menjengkelkan darinya.Pria dengan potongan rambut yang rapi, bertubuh sedang—tidak tinggi dan tidak pendek—garis bibirnya menunjukkan kesan ramah dan sorot matanya memancarkan sikap yang tulus.Kulitnya sedikit kecokelatan, lebih tepatnya cokelat manis. Nayna mengamati mata hitam yang berkilat percaya diri saat menatapnya. Tak ada amarah maupun kejengkelan di sana, tak jua rasa rendah diri dan penyesalan.Nayna menyambut uluran tangan kokoh itu, digenggamnya tangan besar dan kasar itu dengan kuat. Hatinya bertanya-tanya, apakah lelaki ini tahu tentang perselingkuhan istrinya?Tapi dia tidak terlihat seperti orang yang punya maslah yang sangat berat. Nayna tebak dia belum tahu apa-apa.“Ayna.” Pelan. Datar, dan dingin.Rama melepaskan jabatan tangan mere
Nayna kembali ke ruangan—tanpa tubuh yang gemetar—dan duduk di kursinya. Rama masih berdiri di tempatnya semula, tidak bergeser sedikit pun, tapi Nayna yakin lelaki itu sedang mengamatinya.“Kenapa Anda tidak duduk, Pak Rama?” Nayna menyendok pastanya dan memperhatikan apakah ada lada hitam atau tidak.“Anda bisa makan dengan nyaman tanpa memedulikan keberadaan saya.”Nayna memperlihatkan cara makan yang pelan dan elegan. Dengan garpu, dia putar pastanya membentuk gulungan lalu memasukkannya ke dalam mulut. Ekspresinya datar dan seolah tidak tertarik pada cita rasa makanan itu.Dia kunyah pastanya dengan pelan, tanpa suara dan seolah sedang memikirkan banyak hal. Pandangannya terpaku pada dinding sebelum akhirnya menoleh pada Rama yang masih berdiri sopan.“Anda masih sangat muda untuk memiliki restoran semewah ini.” Untuk pertama kalinya, Nayna memperlihatkan senyum sejak datang ke tempat ini.
Nayna menatap heran pada dua kantong makanan yang Rama ulurkan padanya.“Ini bungkusan yang Anda minta.” Ia mengangkat kantong di tangan kanan. “Lalu ini makanan baru, menu spesial di restoran kami.” Kemudian kantong di genggaman kirinya.Nayna diam dan menatap kantong di tangan kiri Rama bingung.“Saya tidak enak membungkuskan makanan yang sudah dingin.”“Kenapa Anda melakukannya?”Rama menatapnya bingung.Nayna berharap Rama akan menjawab bahwa semua keramahtamahan dan kebaikan itu hanyalah sebatas kebaikan antar pelanggan dan pemilik restoran. Bukan kebaikan antar sesama manusia.Nayna benci orang yang terlalu baik.Nyatanya Rama tidak menjawab sama sekali. Hanya mengulurkan kedua kantong itu tanpa melepas senyumnya.Mau tak mau Nayna menerima dengan perasaan yang berkecamuk. Tanpa mengucapkan terima kasih dan pamit, ia melangkah dingin ke luar restoran
Rama baru saja hendak membuka pintu ketika sebuah kotak kecil di sudut teras menarik perhatiannya.Kotak itu dibungkus rapi dengan kertas kado berwarna merah muda dihiasi pita hitam di kedua sisi atas. Rama menunduk dan mengambilnya, bertanya-tanya siapa yang sudah salah alamat mengirimkan kado ke rumahnya, karena jelas-jelas tidak ada satu pun orang di rumah ini yang sedang berulang tahun.Rama menengok sekitar dan tak menemukan siapa pun. Malam sudah sangat gelap, hanya lampu halaman rumahnya yang menerangi. Mau tak mau ia akhirnya membawa masuk kado yang sepertinya salah alamat itu.Teleponnya bergetar ketika ia memasuki ruang tengah. Nama ‘Istri Sayang’ tertera jelas pada layar panggilan.Meski tak bisa melihat wajah sang penelepon, Rama tetap mengangkat panggilan itu dengan senyum semringah. “Halo, Sayang? Belum pulang ya?”Binar matanya dipenuhi cinta, sarat akan kerinduan dan kasih sayang yang dalam. Rama bisa m
“Itu suami kamu?”Meski tahu, tapi Bagus tetap bertanya. Bibirnya dihiasi senyum kemenangan.“Sudah pasti! Ngapain kamu sentuh aku di saat dia lagi menelepon?! Kamu mau kita ketahuan?” Lisa memberondong Bagus kesal, membelakangi lelaki itu sambil memasang kembali tali bathrobe-nya.Bagus maju untuk memberikan pelukan mesra dari belakang. “Aku kangen kamu, Lis. Sejak suami kamu datang, kita cuma main-main sebentar dan nggak pernah bermalam lagi.”“Aku nggak bisa gegabah, Gus. Meski dia sangat mencintai aku, tapi dia penuh perhitungan. Dia akan curiga jika menemukan hal yang ganjil sedikit saja.”“Karena itulah kebohongan ada, Sayang. Kamu bisa bohong kapan aja, dia pasti bakal percaya sama kamu.”Lisa menghela napas kasar. Seharusnya sekarang dia berada di rumah karena suaminya sudah pulang. Tidak perlu lagi mencari kesenangan di luar untuk sementara waktu.Namun, Bagus malah
Rama mematung. Mulutnya terkunci rapat-rapat. Ditatapnya Nayna yang sedang lahap memakan semua isi dalam piringnya. Sorot matanya tetap kosong dan tidak tertebak.“Apa maksud Anda?”Rama bahkan tidak pernah mengatakan bahwa dirinya sudah menikah. Wanita di hadapannya ini sangat misterius. Setiap ucapannya selalu mengundang tanya dan semua tingkahnya tidak bisa ditebak.“Anda terlihat seperti itu.”“Seperti apa?” Senyum ramah di bibir Rama hilang seketika.“Seperti orang yang mendapati istrinya selingkuh, tapi tidak berani meminta penjelasan.”Dada Rama berdenyut cepat. Sesak dan tahu-tahu dia menjadi kesal.“Kenapa Anda bisa menyimpulkan seperti itu?”Nayna mengabaikan sekian detik, mengunyah pelan pastanya lalu membalas tatapan Rama.“Saya tidak menyimpulkan, hanya menebak.” Nayna menyeringai dan Rama tidak mampu menebak arti ekspresi wanita i
Belum pernah Lisa segelisah ini ketika memasuki rumahnya sendiri. Ia merasa was-was dan ketakutan seperti masuk ke kandang singa.Pukul delapan malam. Rama pasti sudah pulang dan mungkin saat ini sedang menunggunya. Ia telah menyusun banyak alasan untuk menyangkal video itu dan merayu sang suami.Ia melangkah perlahan menyusuri ruang tengah. Jantungnya berdebar tidak karuan. Sepatu hak tingginya Iepas sebelum sampai di kamar sebab kedua kakinya sudah gemetar.Rama memang mencintainya, tapi lelaki itu bukanlah pria yang mudah dirayu dan dimanipulasi. Rama selalu mengambil keputusan besar meski risiko kehilangannya juga sangat besar.Lisa sudah bersiap membuka pintu kamar. Menarik napas berulang kali dan menahan rasa mual yang menggulung-gulung perutnya.“Kamu sedang apa?”Lisa terperanjat. Suara dingin yang tiba-tiba terdengar dari belakang itu mengejutkannya sampai dia hampir terjatuh dan menubruk pintu.Napasn