Hari ini Roy menghadiri acara peresmian cabang restoran Lisa. Lisa adalah istrinya yang sudah empat tahun ini dinikahi oleh Roy. Namun, mungkin Tuhan belum memberikan mereka kesempatan untuk bisa memiliki buah hati, hingga sampai saat ini Lisa tak kunjung hamil juga. Meski demikian, itu tidak membuat Lisa dan Roy menjadi patah semangat. Mereka tentu saja terus berusaha agar mendapatkan keturunan.
Tapi, sepertinya akhir-akhir ini Lisa sudah mulai menyerah dan lelah. Ia jarang sekali mau jika diajak oleh Roy untuk datang menemui dokter kandungan untuk berkonsultasi. Roy yang sabar tidak pernah memakasakan kehendaknya pada Lisa. Berbagai macam usaha melalui pengobatan medis dan tradisional awalnya justru berawal dari desakan Lisa yang ingin terus berusaha agar bisa hamil. Lisa takut jika ia tak bisa juga memberikan keturunan untuk Roy maka Roy akan kecewa dan mungkin meninggalkannya. Meski hal itu selalu dikatakan Roy tidak akan pernah ia lakukan pada Lisa.
“Sayang, sini, dong. Jangan bengong aja di sana sendirian,” panggil Lisa pada suaminya itu saat ia sudah selesai berbincang dengan rekan bisnisnya yang lain.
“Iya, Sayang. Kamu udah selesai bicara sama Miranda?” tanya Roy pada Lisa dan langsung melingkarkan tangannya ke pinggang ramping sang istri.
Semua mata tentu menatap mereka dengan iri. Bagaimana tidak, mereka adalah pasangan pebisnis yang terkenal sangat romantis di mana pun mereka berada. Tidak ada yang tidak akan berdecak kagum pada pasangan itu. apalagi Lisa mempunya paras yang sangat cantik dan tubuh yang ramping serta terkesan bahenol. Roy sendiri adalah pria tampan yang memiliki wajah mirip dengan pria-pria yang berasal dari negara Turki karena memang ada darah Turki yang mengalir di dalam tubuhnya.
“Maaf, ya Roy. Tadi aku lama ngobrolnya sama Miranda. Soalnya dia juga mau nyoba nih bisnis kuliner kaya aku. Jadi aku kasih lah sedikit trik dan saran.” Lisa menjelaskan pada Roy tentang keadaan yang tadi sempat terjadi.
“Oke, Honey. Aku ke toilet sebentar, ya.”
“Kamu mau ngapain?”
“Mau pipis. Kamu mau ikut? Yuk, biar bisa pegangin,” canda Roy pada Lisa dengan senyum menggoda.
“Apaan sih, Roy. Nanti deh di rumah, aku service yang puas kamunya,” jawab Lisa sambil membalas senyuman Roy dengan sebuah kerlingan mata.
Memang seperti itu lah Roy dan Lisa sehari-hari jika berbicara. Roy hanya bersikap dingin dan terkesan seperti sombong pada orang lain, terutama pada wanita. Namun, jika pada Lisa ia akan bersikap sangat manja dan mesum. Ya, tentu saja itu sangat bisa dimaklumi karena memang Lisa adalah istrinya. Jadi, hal itu adalah wajar dan sah-sah saja tentunya.
Lisa memandang suaminya hingga punggung Roy sudah tak terlihat lagi oleh ekor matanya. Kemudian ia melanjutkan berkeliling menyapa para tamu undangannya yang datang pada acara peresmian cabang Restoran yang ia adakan itu. Lisa memang bisa dikatakan suskes sebagai seorang wanita karir yang berkecimpung di dunia perkulineran. Dan Roy memang memberikan Lisa kebebasan untuk melakukan hobby-nya itu. Roy tak ingin Lisa merasa sedih dan terpuruk jika hanya diam di rumah saja karena terlalu fokus memikirkan belum memiliki anak.
Rasa cinta Roy pada Lisa sangat besar dan mungkin Roy tidak akan pernah berpaling dari sisi Lisa sampai kapan pun. Meski mereka tidak akan pernah ditakdirkan memiliki keturunan. Seperti itu lah besar cinta Roy pada istrinya itu. Wanita yang sudah ia kenal dan cintai sejak mereka masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas dulu. Roy sudah berjanji akan selalu mencintai Lisa apa pun yang terjadi di kemudian hari, dan berjanji untuk tetap setia pada ikatan cinta dan rumah tangga mereka.
Roy memasuki toilet pria dan segera menuntaskan hajatnya di sana. Sebenarnya, Roy memang tidak terlalu suka menghadiri acara yang seperti ini. Namun, ia tidak bisa mengambil resiko dengan membuat Lisa kecewa dan sedih jika ia tidak datang hari ini. Bagaimana pun juga, Roy selalu berusaha membuat Lisa bahagia bersamanya. Setelah selesai buang air kecil, dan membasuh tangannya di keran menggunakan sabun, Roy menatap wajahnya dari pantulan cermin.
“Apa aku sudah terlalu tua untuk memiliki anak? Tapi, usiaku baru tiga puluh lima tahun,” gumam Roy sendiri di depan cermin itu.
Setelah berkata seperti itu Roy keluar dari toilet dan kembali ke ruangan di mana tadi ia berbincang dengan istrinya. Mata Roy berkeliling mencari di mana keberadaan Lisa dan tidak ia temui di mana pun. Akhirnya Roy memutuskan untuk mengambil sebuah anggur di dalam gelas yang terletak di atas meja hidangan. Ia menyesap sedikit dan kembali mencari keberadaan Lisa. Belum sempat Roy mengetahui di mana keberadaan Lisa, sebuah tangan terasa hangat menyentuh punggungnya. Namun, Roy tahu bahwa itu bukan lah tangan Lisa, istri tercinta yang sedang ia cari. Roy memutar badannya dan melihat ke arah pemilik tangan itu. Seorang wanita muda yang cantik dan berpakaian seksi berdiri tepat di depannya saat ini.
Roy sama sekali tidak tertarik dengan kecantikan dan keseksian wanita itu. Justru ia mengernyitkan keningnya menahan rasa heran karena ia sama sekali tidak mengenal wanita itu.
“Siapa Anda, Nona? Apakah kita saling kenal?” tanya Roy heran.
“Maaf, aku pikir Anda adalah rekanku. Dari belakang kalian terlihat sangat mirip,” jawab wanita itu dengan ekspresi salah tingkahnya.
“Oh. Oke kalau begitu,” ucap Roy kembali bersikap cuek dan dingin seperti biasanya.
Roy memutar lagi tubuhnya dan memutar kedua bola matanya terus menelusuri ruangan. Wanita yang dicari belum juga ia temukan. Entah ke mana Lisa saat ini dan Roy sudah merasa bosan harus berdiri lama-lama seorang diri di sini. Roy rasanya ingin kembali ke kantornya dan mengurus pekerjaan yang ia tinggalkan sejak pagi. Roy memiliki perusahaan yang bergerak dalam dunia perbusanaan. Banyak sekali desaigner terkenal yang merancang busana untuk perusahaannya. Baik itu busana formal, harian, casual, dan bahkan sampai ke bikini juga pakaian dalam wanita dan pria.
“Maaf, siapa namamu?” tanya wanita tadi membuyarkan konsentrasi Roy mencari Lisa di ruangan yang padat oleh para wanita dan beberapa pria itu.
“Apa kamu bertanya padaku?” tanya Roy balik saat memperhatikan tidak ada orang lain di sekitar mereka saat ini. Dan ternyata wanita tadi masih berdiri di belakang Roy tanpa ia sadari, karena memang sibuk mencari keberadaan Lisa.
“Hanya ada kita berdua di sini. Menurutmu?”
“Aku Roy. Suami Lisa, pemilik Restoran ini. Apa mungkin kamu teman istriku?” tanya Roy menebak.
“Kebetulan sekali! Aku adalah sahabat baik Lisa. Perkenalkan namaku Ella. Tapi, Lisa nggak pernah cerita kalau dia punya suami yang tampan seperti kamu,” jawab wanita yang ternyata bernama Ella itu dengan wajah antusias dan kemudian berubah menjadi redup seperti kecewa pada suatu hal.
Roy memperhatikan ekspresi Ella dengan seksama dan mengernyitkan dahinya mendengar ucapan Ella yang terakhir.
“Tidak pernah cerita punya suami? Sahabat Lisa yang mana wanita ini? Kenapa Lisa nggak pernah cerita sama aku tentang sahabatnya yang ini?” tanya Roy dalam hatinya sambil terus memperhatikan Ella, dan tiba-tiba yang diperhatikan menjadi salah tingkah dan gerogi.
“Mami ….”Suara igauan dari Ane menyadarakan Lukman pada khayalannya tentang Lisa. Ia tidak tahu apakah Lita marah dan tersinggung pada ucapannya tadi atau tidak.“Maaf. Aku … aku tiba-tiba teringat istriku,” ucap Lukman penuh nada sesal.“I-iya. Nggak apa-apa. Makasih udah anterin aku sampai depan hotel. Kalau gitu aku permisi.” Lita menjawab dengan sedikit gugup juga.“Sama-sama. Btw, apa kamu jadi test DNA besok?” tanya Lukman sebelum Lita benar-benar turun dari dalam mobilnya.“Jadi. Aku juga penasaran dengan kebenarang itu. Setidaknya, dengan hasil test DNA itu nanti semuanya akan sangat jelas. Iya atau tidaknya informasi yang aku kantongi saat ini.”“Kamu benar. Yang penting semuanya diperiksa dulu, kan?”“Iya. Tapi ….”“Tapi apa?”“Aku kan baru di kota ini. Jadi … aku nggak tau ke mana harus pergi untuk melakukan test itu nanti. Eh, bukannya kamu dokter? Tadi, anak kembarmu itu bilang gitu. Gimana kalau di rumah sakit tempat kamu kerja aja?” tanya Lita kemudian dengan suara yan
Lita masih tertegun tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut anak seusia Ane. Anak itu terdengar sangat dewasa dan pembawannya juga tenang ketika mengatakan semua itu. Bahkan, Lita menjadi ragu bahwa ia adalah anak yang baru berusia sekita enam atau tujuh tahunan.“Maafkan anakku, Nona. Dia masih anak-anak dan nggak ngerti dengan apa yang baru aja dia katakan,” ucap Lukman segera ketika melihat perubahan pada raut wajah Lita.Ia mengira mungkin saja Lita tersinggung dengan ucapan bocah itu. Karena tentu saja, itu adalah hal yang seharusnya diucapkan oleh orang dewasa dan makna dari kalimat itu tentu sangat besar. Tidak main-main tentunya.“Nggak masalah. Aku nggak apa-apa dengan hal itu. Tapi … apa yang membuat Lisa bisa meninggal secepat ini? Aku nggak memiliki Riwayat penyakit dalam yang parah, seharusnya Lisa juga gitu. Karena dia adalah kembaranku. Setidaknya, itu yang aku dengar dan ketahui tentang hubungan kami yang bahkan belum pernah bertemu satu sama yang
Lukman tidak dapat mempercayai penglihatannya saat ini. Di depannya jelas ada wanita yang tampak sangat mirip dengan Lisa – istri tercinta yang sudah tiada dan bahkan sekarang ia dan ketiga anaknya sedang berada di makam Lisa.“Papi … itu bukannya Mami?” tanya Ane dengan suara nyaring pada Lukman dan tak lupa telunjuknya menunjuk kepada wanita itu.“Sayang … jangan asal bicara. Nanti tantenya tersinggung,” gumam Lukman dengan suara yang sedikit ia keraskan agar Ane bisa mendengarnya dengan jelas.“Iya. Meski pun memang mirip, aku rasa dia bukan Mami. Mami jelas udah ada di syurga saat ini,” sela Andi pula dengan pemikirannya yang bak orang dewasa.“Aku setuju dengan Andi. Mereka hanya mirip dan memang di dunia ada tujuh orang yang saling mirip satu sama yang lainnya bukan?” Ana pun ikut menimpali percakapan itu.Sementara, wanita yang sedang mereka bicarakan sudah berada di depan makam Lisa dan menatap ketiga anak Lukman itu dengan senyum yang mengambang. Ia tampak menyukai anak-anak
Lukman membawa ketiga bayi besarnya itu menuju ke sebuah pemakaman elite yang terlihat sangat indah dan rapi tentunya. Di sana adalah makam Lisa yang sudah meninggalkan dirinya lima tahun yang lalu. Lukman tidak pernah merasa kesepian karena Lisa sudah meninggalkan ketiga anak bayi besar itu untuk ia rawat, jaga, dan sayangi sepanjang hidupnya.Ana, Ane, dan Andi tampak sibuk dengan dunia mereka masing-masing. Andi duduk di kursi penumpang di sebelah kemudi Lukman. Sementara Ana dan Ane duduk di kursi belakang yang sedang asik dengan tablet mereka masing-masing.“Apa yang sedang kalian lakukan? Main game?” tanya Lukman dan melirik kedua gadisnya itu melalui kaca tengah.“Bukan, Pi. Aku sedang melihat style penyanyi luar negeri ini, yang terbaru. Aku mau melukisnya nanti." Ana menyahut dan menampilkan layar tabletnya ke arah Lukman dan tentu saja tidak dapat diliat dengan jelas oleh lelaki itu.“Bagus banget, Sayang. Kamu mau jadi desaigner, ya?” tanya Lukman lagi kepada Ana dengan nad
Lima tahun setelah kepergian Lisa ….“Papi … Ane mana?” Sebuah suara bocah terdengar memanggil ke arah Lukman.“Papi nggak tau, Sayang. Tadi ada di sini. Kenapa?” sahut Lukman pada gadis kecil berusia enam tahun itu.“Dia pinjam buku cerita aku, tapi robek. Liat nih!” jawab gadis bernama Ana itu dengan menunjukkan sebuah buku dongeng yang sampulnya sudah robek setengah kepada Lukman.Lukman menghela napasnya dengan berat. Ia tahu bahwa Ane tidak akan pernah bisa menjaga barangnya dengan baik. Berbeda memang dengan Ana yang selalu perfect dalam segala hal. Meski pun mereka masih terbilang sangat kecil, Ana sudah memperlihatkan sisi kedewasaannya pada saudaranya yang lain.Ia selalu menjadi yang paling unggul di antara kedua saudara kembarnya yang lain. Ana selalu sempurna dalam segala hal dan tidak suka ada kesalahan atau kekurangan sedikit pun pada benda-benda yang dimilikinya. Namun, Ane yang selalu menjadi biang rusuh akan selalu merusak segalanya dan membuat Ana marah.“Nanti Papi
Dua tahun sudah berlalu sejak pernikahan Lisa dan Lukman. Kini mereka sudah tinggal di sebuah rumah yang sederhana tetapi punya lahan yang cukup luas. Ketika membuka jendela kamar, maka hamparan laut biru membentang di pelupuk mata. Lisa selalu suka memandang ke luar jendelanya baik di pagi hari, siang, sore, apalagi malam hari. Sementara Lukman membuka sebuah klinik Kesehatan yang selalu ramai dikunjungi pasien. Meski pun ia tidak pernah menetapkan harga untuk biaya pengobatannya, Lukman sudah cukup merasa bahagia dengan kehidupannya sekarang. Baginya, asalkan Lisa bisa bahagia maka dia juga akan merasa bahagia untuk hal itu. Siang ini, tumben sekali tidak ada pasien yang datang berkunjung ke kliniknya itu. Jadi, Lukman memutuskan untuk segera pulang dan makan masakan istri tercinta. Sudah lama sejak mereka makan siang bersama di rumah bersama tiga orang anak yang berusia sama. Mereka seperti kembar tiga yang selalu ada di mana pun Lisa berada. “Sayang … di mana Ane, Ana, dan Andi?
“Aku tau kalau kamu terlalu banyak pikiran akhir-akhir ini, sampai kamu lupa kalau hari ini ulang tahunmu. Iya kan?” tanya Lukman dengan serius.“Hmm … sepertinya gitu. Aku benar-benar lupa kalau hari ini ulang tahunku. Kamu malah ingat dan kasih aku kejutan seperti ini. Makasih banyak, Sayang. Aku percaya kamu selalu memberikan aku kebahagiaan tak terbatas,” jawab Lisa dengan mata berkaca-kaca dan memandang lekat pada bola mata Lukman.“Aku nggak bisa menjanjikan apa pun untuk kamu. Tapi … aku bisa pastikan selama aku bisa maka aku akan memberikan segala yang terbaik untuk kamu dan kebahagiaan kamu,” ungkap Lukman sekali lagi dan membuat hati Lisa merasa tenang.“Makasih, Sayang. Akhirnya aku benar-benar bisa hidup dengan bahagia.”“Memangnya, siapa yang bilang kalau kamu nggak bisa hidup bahagia?”“Nggak ada. Itu cuma ketakutan yang sempat mengisi hati dan pikiranku dulu,” jawab Lisa dan tersenyum tipis.“Sekarang, nggak ada lagi yang harus kamu takutkan. Selama ada aku, semuanya ak
“Siapa yang datang jam segini?” tanya Lukman dan merasa heran.“Mana aku tau, Sayang. Kamu yang buka atau aku?” Lisa menaikkan bahunya lalu bertanya juga pada Lukman.“Aku aja. Kamu di sini aja, ya. Siapa tau itu mantan mertua kamu yang dalam incaran polisi,” jawab Lukman dan mulai waspada.“Apa aku telpon 116 aja sekarang?”“Jangan dulu. Kita nggak tau siapa yang berdiri di depan pintu saat ini. Jangan gegabah, Sayang.”Lukman berkata kepada Lisa karena sebenarnya sejak tadi dia juga merasa tidak nyaman dan seperti ada hal besar yang akan terjadi. Namun, karena tidak ingin membuat Lisa merasa khawatir, tentu saja Lukman tidak menyampaikan hal itu kepada sang istrinya. Apalagi Lisa sedang dalam masa pemulihannya. Hal-hal tidak penting seperti itu hanya akan memperburuk kesehatannya lagi.Lisa memperhatikan Lukman yang berjalah keluar dari kamar dan berharap semoga yang datang bukan lah orang jahat. Ia mengikuti perintah Lukman dan tetap berdiri di dalam kamar mereka dengan menahan ras
Tiga hari lamanya Lisa dirawat secara insentif di rumah sakit hingga akhirnya diperbolehkan untuk pulang dan bisa melakukan pengobatan dengan rawat jalan saja. Hal itu dikarenakan kondisi Lisa yang memang benar-benar sudah memungkinkan dan mengalami kemajuan yang sangat pesat pasca perawatan di rumah sakit besar itu.Lukman membawa Lisa pulang ke apartemennya dan mereka merasa sangat lega karena akhirnya bisa kembali pulang. Hal itu juga membuat keluarga Lukman yang sudah pulang ke negaranya menjadi sangat senang. Mereka mengatakan sangat menyesal tidak bisa menemani Lisa sampai Lisa diperbolehkan untuk pulang.“Sayang … makasih kamu udah rawat aku selama aku sakit,” ucap Lisa sungguh-sungguh dengan menggenggam tangan Lukman dengan erat.“Jangan bilang makasih, dong Sayang. Itu memang udah jadi tanggung jawab aku sebagai suami kamu,” balas Lukman dengan tatapan mesra dan juga melempar senyum pada Lisa.“Kamu adalah pria terhebat dan juga suami terbaik di dunia,” ungkap Lisa dan langsu