Bastian terus menghubungi Alika, tapi wanita itu sama sekali tidak menjawab teleponnya. Tangan pria itu bermain di ponsel dan mengetik beberapa pesan untuk sang kekasih. Alika masih marah sampai tidak mengangkat panggilan masuk dari Bastian.
Pria itu menyimpan ponsel di nakas, wajahnya kesal penuh amarah. Kalau bukan karena sang ibu memintanya pulang, mungkin Alika tidak akan semarah itu. Sungguh buat hatinya menjadi kacau dan kalut.
Bastian semakin kesal saat mendengar suara ibunya lantang memanggil. Terdengar kursi berderit saat pria itu beranjak dari duduknya. Gegas ia membuka pintu karena sejak tadi ketukan pintu dan suara ibunya sangat mengganggu.
“Ada apa, Bu?” tanya Bastian.
“Cepat ganti baju, kita ke Dokter Kandungan.”
Bastian melongok karena ia kira tidak jadi mengantar Sandrina. Sang ibu langsung menunggu di ruang tamu, sedangkan Bastian masih berdiri mematung di ambang pintu.
Tidak seperti bertemu dengan Alika, kali ini Bastian lebih cepat bersiap karena ia hanya menggunakan celana pendek dan sendal biasa untuk mengantar Sandrina.
Saat berhadapan dengan sang istri, Bastian tak henti melirik dan menggerutu dalam hati.
“Nggak usah lihat aku seperti itu, yang mau ngajak kamu itu Ibu, bukan aku.” Sandrina sadar sat Bastian sepertinya menyalahkan dirinya dari tatapan pria itu.
Bastian langsung memalingkan wajah, ia gegas menuju mobil. Ajak tetapi suara sang ibu kembali membuatnya kesal.
“Ibu pasti ngajak kamu, lah. Kan kamu ayahnya, masa ibu ajak Ferdi?”
Tidak mau menjawab, Bastian kembali menuju mobilnya. Sementara, kedua wanita beda generasi itu tertawa melihat tingkah Bastian.
Klakson terus berbunyi saat Bastian tidak sabar menunggu kedua wanita itu masuk. Bu Hana hanya tertawa melihat tingkah sang anak yang sedang kesal.
“Ibu masih bisa dengar kok kalau kamu manggil. Nggak usah pakai klakson gede gitu,” oceh sang ibu sembari masuk mobil.
Sandrina hanya tersenyum melihat tingkah ibu dan anak itu. Dirinya menyandarkan tubuh di sofa mobil saat Bastian mulai melajukan kendaraannya. Entah mengartikan bagaimana hatinya saat ini. Sandrina hanya berharap bisa membuat Bastian mencintainya setelah kehamilan ini.
***
Alika menaruh kembali ponsel di nakas, sesekali ia melirik apa ada panggilan masuk lagi dari Bastian. Dokter Kandungan di salah satu rumah sakit besar itu menjadi tidak fokus saat beberapa pasien datang dan berkonsultasi.
Seharusnya ia tidak datang hari ini karena untuk berpikir pun Alika tidak bisa. Pertengkarannya dengan Bastian membuatnya berpikir semalaman dan tidak tidur sama sekali.
“Sus, tolong bilang pasien kalau saya ada tindakan. Seperti saya kurang enak badan, butuh 30 menit untuk tidur sebentar,” ujar Alika pada salah satu Suster yang mendampinginya.
“Baik, Dok.”
Suster itu bergegas menemui beberapa pasien yang sudah menunggu antrian di luar. Mereka bisa mengerti karena memang sering saat melakukan praktik akan ada panggilan untuk lahiran dan operasi dadakan.
Alika menyandarkan tubuh di sofa, kepalanya terasa pening. Baru kali ini ia memikirkan hal yang tidak biasa. Setiap mereka bertengkar, pasti sang kekasih akan datang dan mengunjunginya tanpa memedulikan waktu. Akan tetapi, kali ini tidak sama sekali sejak malam ia meminta berpisah. Hanya panggilan telepon saja yang sejak tadi berdering.
Tidak mudah kali ini untuk berpikir jernih dengan masalah yang menimpanya. Apalagi Bastian kini adalah suami orang. Janji untuk setia selalu terucap dari bibir sang kekasih, tapi sebagai wanita ia pun tak bisa percaya begitu saja.
Ia kembali mengingat saat Bastian melamarnya. Alika menolak dengan alasan pekerjaan, tapi sejujurnya ia belum siap untuk berkomitmen.
“Kalau kamu mau, kita berjuang bersama, aku tidak mau menikah dengan wanita itu. Sebaiknya aku kenalkan dengan keluargaku. Lalu, kita menikah.” Bastian berharap Alika mau menerimanya karena jalan satu-satunya hanya itu untuk menolak perjodohan dengan Sandrina.
Alika membuang napas kasar. Ia kembali tersadar dari lamunannya. Alasan utama ia menolak Bastian karena perbedaan agama di antara mereka.
30 menit sudah berlalu, Alika kembali dengan aktivitasnya. Satu persatu pasien datang setelah antreannya di panggil. Beberapa menit cukup untuknya kembali fokus setelah ia memikirkan hal yang membuatnya gagal fokus.
Alika meneguk air putih untuk meredakan kering di tenggorokan. Setelah itu Suster memanggil antrean berikutnya untuk masuk. Dokter Alika kembali bersiap untuk memeriksa pasien. Namun, netranya tidak percaya saat dua pasangan suami istri masuk dan satu wanita tua bersama mereka.
Hati Alika menurut melihat pria yang dicintainya datang bersama dengan sang istri. Seseorang yang telah membuatnya galau sepanjang hari ini berada di hadapannya. Jantungnya terus bergetar tak karuan. Begitu juga Bastian yang juga tidak menyangka jika Dokter Kandungan sang istri adalah kekasihnya sendiri.
Kedua pasang kekasih itu pura-pura tidak saling mengenal. Apalagi Bastian yang merasa tidak enak dengan Alika karena kehamilan Sandrina—istrinya. Alika sedang marah dan pasti akan tambah marah dengan keadaan seperti itu.
“Dok,” sapa Sandrina.
“Eh, iya. Silakan.” Alika menjawab gugup.
Sandrina tidak curiga dengan Alika karena ia hanya pernah mendengar namanya di sebut sang suami, tapi belum tahu wajah kekasih Bastian itu. Saat melihat nama Alika di meja, ia sedikit berpikir, tapi kembali berpikir positif karena nama itu banyak kemungkinan sama.
“Menantu saya hamil, Dok. Ini tespacknya.” Bu Hana antusias memberikan tespack itu pada Alika.
Perubahan wajah Alika bisa terbaca oleh Bastian. Namun, ia tidak bisa melakukan apa pun dalam kondisi seperti itu.
“Silakan berbaring,” ujar Alika.
Alika melakukan USG untuk memastikan kandungan Sandrina. Walau hatinya merasa perih, ia tetap harus bisa menjaga sikap demi nama baik rumah sakit dan dirinya. Toh, Sandrina belum tahu dirinya siapa jadi Alika masih bisa santai.
Kandungan Sandrina masih kecil dan baru berusia 5 Minggu. Bu Hana semringah saat melihat ada janin di dalam rahim sang menantu. Wanita tua itu membantu Sandrina turun, sedangkan seperti biasa Bastian tetap cuek dengan sang istri.
“Usia kandungan masih sangat kecil dan rentan. Hindari hubungan dengan suami, jangan terlalu lelah dan minum vitamin rutin,” tutur Alika sembari melirik ke arah Bastia.
Bastian bersiap ke luar saat Alika sudah selesai meresepkan vitamin untuk Sandrina. Setelah mereka keluar, Alika menutup wajah dengan tangan. Berapa sakitnya mengetahui kekasihnya menghamili istrinya. Tidak ada yang salah memang, tapi janjinya untuk cepat melepaskan sang istri tidak terbukti. Ucapan Bastian tidak bisa ia percaya, mengaku tak mencintai tapi malah menghamili.
Mau kamu apa, sih, Bas. Kamu bilang tidak akan lama dan tidak mencintai dia, tapi kamu malah menghamilinya. Apa kamu sengaja menyakiti aku?
Sebuah pesan masuk membuat Alika gegas membukanya.
[Maafkan aku, kehamilan istriku bukan karena kemauanku, tapi saat itu aku sedang mabuk dan melakukan hal itu. Maaf kalau kamu kecewa]
Alika membanting ponsel di meja, percuma menjelaskan karena dirinya terlali sakit untuk bisa memaafkan.
***
Bastian membantu Sandrina beranjak dari lantai walau dengan tangan satu terinfus. Ia panik karena sejak tadi sang istri memegangi perutnya. Bastian mencoba mengelus perut Sandrina agar lebih tenang.“Bu, periksa ke Dokter Kandungan saja,” ujar Bastian.“Enggak apa-apa, Mas. Ini hanya keram sedikit saja nanti hilang,” tolak Sandrina.“Kamu bilang enggak ada masalah, memang kamu bisa lihat anak kamu di dalam? Aku enggak mau tahu, nanti aku temani kamu ke Dokter Kandungan,” ucap Bastian memaksa lagi.“Bas, biar ibu saja. Kamu tetap di kamar, istirahat.” Bu Hana memerintahkan Bastian untuk tak pergi ke mana-mana.Bastian malah mencemaskan Sandrina, bukan dirinya. Melihat sang istri kesakitan ia merasa sangat bersalah karena tak bisa melakukan apa pun. Seperti yang di katakan sang ibu, Sandrina pun di ajak ke Dokter Kandungan.Sepertinya Sandrina, ia menatap sekeliling. Ia merasa betapa bodohnya selama ini telah menyia-nyiakan wanita seperti Sandrina. Matanya tertutup oleh cinta buta pada
Kondisi Bastian belum stabil, ia masih tertidur akibat obat bius yang diberikan oleh Dokter. Sandrina begitu cemas dengan kondisi sang suami yang menghawatirkan. Sepetinya Bastian mencoba mengingat beberapa kenangannya. Namun, bukan pulih malah membuat ia merasa kesakitan hingga pingsan.“Fer, Nit, kian pulang saja. Istirahat,” ujar sang ibu.“Ibu bagaimana,” tanya Ferdi.“Ibu menemani Sandrina. Kalian pulang saja, bagaimana?”“Kalau itu yang ibu mau, kita istirahat dan nanti gantian saja.”Bu Hana setuju, Ferdi langsung mengajak Anita pulang karena ia merasa sang istri sudah sangat lelah. Anita pun terlihat memang sangat pucat, mungkin efek kurang tidur sampai membuat mata panda di kantung mata.“Kamu mau makan dulu apa nanti di rumah?” tanya Ferdi.“Di rumah saja, aku lelah,” ujar Anita.Ferdi pun langsung mengikuti langkah sang istri untuk pulang. Sudah beberapa hari ia mengurusi masalah sang kakak dan lupa dengan kebahagiaannya sendiri. Apalagi sampai lupa dengan kesehatan Anita y
Dimas memegangi pipinya yang terkena hantam Bastian. Sementara, Bastian sudah sejak tadi sudah tak tenang mendengar penjelasan Dimas.Bastian benar-benar kecewa dengan Alika. Wanita itu sudah membuat hidupnya kacau. Apalagi saat dia datang dan mengaku hamil anaknya. Tangis Alika pecah saat Dimas menceritakan semua. Kekhilafan dirinya hingga bisa hamil anaknya Dimas.“Berengsek!” teriak Bastian.Ferdi menahan sang kakak yang begitu emosi. Bastian geram karena ulah Alika juga murka dengan apa yang mereka berdua lakukan. Ferdi menahan Bastian kembali karena ia hampir saja menghantam Dimas.“Aku tidak salah karena ingin bertanggungjawab saat itu. Hamil atau tidaknya Alika, tapi dari menolak. Awalnya aku tidak tahu kalau Ferdi tak bercerita tentang ulah Alika. Dari sana, aku curiga dan memutuskan menemui Alika. Dia berlari hingga jatuh dan keguguran.”“Bohong, dia bohong!” pekik Alika histeris.“Cukup, jangan mengelak Alika!” Dimas tak kalah bersuara.Bastian memegangi kepalanya yang teras
Saat sampai di rumah, Bastian di kagetkan dengan kedatangan Alika yang sudah menunggunya sejak tadi. Wanita itu sempat menghilang, tapi datang kembali dan membuat pria itu begitu terkejut.Sepintas ia menoleh ke arah Sandrina yang sudah merenggut. Ingin rasanya langsung menenangkan sang istri. Akan tetapi, ada Alika yang sejak tadi menatapnya.“Sayang, aku nungguin kamu. Kamu baru pulang?” Alika langsung mendekat dan menyingkirkan Sandrina.“Kamu jangan kasar sama Sandrina dia sedang hamil.” Sergah Bastian.Alika menganga mendengar Sandrina di bela Bastian. Kesal mendengar hal itu, Alika pun menarik Bastian untuk berdiri di sampingnya.“Heh, kamu itu jangan bikin ulah. Terjadi sesuatu sama calon cucu saya, saya buat hidup kamu menderita,” ancam Bu Hana.“Bu, sudah. Biar aku bicara dengan Alika dulu.”“Aku hamil, kamu ikutan hamil. Jangan-jangan kamu hamil bohongan untuk menarik simpati Bastian,” cecar Alika.“Heh, kamu tuh yang hamil pura-pura. Coba cek saja kalau memang kamu benar ha
Bastian memukul kaca mobil dengan kesal, ia merasa kali ini sangat mencemaskan Sandrina. Namun, ia masih bingung bagaimana bisa ia begitu mencemaskan sang istri. Apalagi dulu dirinya sangat mencintai Alika.“Apa yang di perbuat Sandrina sampai aku merasa sangat takut kehilangan dia!”Sandrina terlihat menghampirinya, Bastian pura-pura biasa kembali. Bastian kembali cemas saat sang istri seperti memegangi keningnya.“Kamu sakit?” tanya Bastian.“Harusnya aku yang tanya sama kamu, kamu sakit atau otak kamu habis kepentok apa? Tiba-tiba menjadi baik sama aku. Lalu, mengakui aku di depan umum,” ujar Sandrina.“Eh, itu, aku hanya enggak suka lihat kamu di perlakukan seperti pesuruh. Kamu ini istri aku, jadi tidak ada yang boleh memperlakukan kamu seperti itu. Lagi pula kamu lagi hamil, mengerti?”Sandrina langsung memeluk sang suami. Tidak peduli di tempat umum, sedangkan Bastian merasa risi mendapat perlakuan dari Sandrina. Ia berusaha melepaskan tangan sang istri dari tubuhnya.“Aduh, ka
“Pergi kamu!” teriak Alika.Alika begitu syok saat ia mengalami keguguran. Hal itu membuat dirinya gagal dinikahi Bastian jika pria itu tahu sudah tak ada janin di dalam kandungannya. Alika menyalahkan Dimas yang tiba-tiba saja menandatangani surat untuk melakukan operasi.“Lik, harusnya kamu sadar, kamu seorang dokter kandungan dan pasti tahu kalau bayi itu enggak akan bisa terselamatkan dan harus di keluarkan. Lagi pula, untuk apa kamu pertahankan kalau kamu tak meminta pertanggung jawaban aku?” tanya Dimas.Alika bergeming, Dimas tidak tahu kalau ia mempergunakan kandungannya untuk menipu Bastian dan keluarganya. Jika ia keguguran, maka tidak ada pernikahan yang akan terjadi di antara keduanya.“Itu bukan urusan kamu.” Alika kembali emosi dengan apa yang ditanyakan Dimas.“Itu menjadi urusan aku. Itu anak aku, kan?” tanyanya lagi.Alika memalingkan wajah, tidak mungkin ia menjawab anaknya Bastian. Pria itu tidak akan mungkin percaya dan malah akan bertanya pada Bastian. Apalagi ked