Share

Lima

Bastian terus menghubungi Alika, tapi wanita itu sama sekali tidak menjawab teleponnya. Tangan pria itu bermain di ponsel dan mengetik beberapa pesan untuk sang kekasih. Alika masih marah sampai tidak mengangkat panggilan masuk dari Bastian.

Pria itu menyimpan ponsel di nakas, wajahnya kesal penuh amarah. Kalau bukan karena sang ibu memintanya pulang, mungkin Alika tidak akan semarah itu. Sungguh buat hatinya menjadi kacau dan kalut.

Bastian semakin kesal saat mendengar suara ibunya lantang memanggil. Terdengar kursi berderit saat pria itu beranjak dari duduknya. Gegas ia membuka pintu karena sejak tadi ketukan pintu dan suara ibunya sangat mengganggu.

“Ada apa, Bu?” tanya Bastian.

“Cepat ganti baju, kita ke Dokter Kandungan.”

Bastian melongok karena ia kira tidak jadi mengantar Sandrina. Sang ibu langsung menunggu di ruang tamu, sedangkan Bastian masih berdiri mematung di ambang pintu.

Tidak seperti bertemu dengan Alika, kali ini Bastian lebih cepat bersiap karena ia hanya menggunakan celana pendek dan sendal biasa untuk mengantar Sandrina.

Saat berhadapan dengan sang istri, Bastian tak henti melirik dan menggerutu dalam hati.

“Nggak usah lihat aku seperti itu, yang mau ngajak kamu itu Ibu, bukan aku.” Sandrina sadar sat Bastian sepertinya menyalahkan dirinya dari tatapan pria itu.

Bastian langsung memalingkan wajah, ia gegas menuju mobil. Ajak tetapi suara sang ibu kembali membuatnya kesal.

“Ibu pasti ngajak kamu, lah. Kan kamu ayahnya, masa ibu ajak Ferdi?”

Tidak mau menjawab, Bastian kembali menuju mobilnya. Sementara, kedua wanita beda generasi itu tertawa melihat tingkah Bastian.

Klakson terus berbunyi saat Bastian tidak sabar menunggu kedua wanita itu masuk. Bu Hana hanya tertawa melihat tingkah sang anak yang sedang kesal.

“Ibu masih bisa dengar kok kalau kamu manggil. Nggak usah pakai klakson gede gitu,” oceh sang ibu sembari masuk mobil.

Sandrina hanya tersenyum melihat tingkah ibu dan anak itu. Dirinya menyandarkan tubuh di sofa mobil saat Bastian mulai melajukan kendaraannya. Entah mengartikan bagaimana hatinya saat ini. Sandrina hanya berharap bisa membuat Bastian mencintainya setelah kehamilan ini.

***

Alika menaruh kembali ponsel di nakas, sesekali ia melirik apa ada panggilan masuk lagi dari Bastian. Dokter Kandungan di salah satu rumah sakit besar itu menjadi tidak fokus saat beberapa pasien datang dan berkonsultasi.

Seharusnya ia tidak datang hari ini karena untuk berpikir pun Alika tidak bisa. Pertengkarannya dengan Bastian membuatnya berpikir semalaman dan tidak tidur sama sekali.

“Sus, tolong bilang pasien kalau saya ada tindakan. Seperti saya kurang enak badan, butuh 30 menit untuk tidur sebentar,” ujar Alika pada salah satu Suster yang mendampinginya.

“Baik, Dok.”

Suster itu bergegas menemui beberapa pasien yang sudah menunggu antrian di luar. Mereka bisa mengerti karena memang sering saat melakukan praktik akan ada panggilan untuk lahiran dan operasi dadakan.

Alika menyandarkan tubuh di sofa, kepalanya terasa pening. Baru kali ini ia memikirkan hal yang tidak biasa. Setiap mereka bertengkar, pasti sang kekasih akan datang dan mengunjunginya tanpa memedulikan waktu. Akan tetapi, kali ini tidak sama sekali sejak malam ia meminta berpisah. Hanya panggilan telepon saja yang sejak tadi berdering.

Tidak mudah kali ini untuk berpikir jernih dengan masalah yang menimpanya. Apalagi Bastian kini adalah suami orang. Janji untuk setia selalu terucap dari bibir sang kekasih, tapi sebagai wanita ia pun tak bisa percaya begitu saja.

Ia kembali mengingat saat Bastian melamarnya. Alika menolak dengan alasan pekerjaan, tapi sejujurnya ia belum siap untuk berkomitmen.

“Kalau kamu mau, kita berjuang bersama, aku tidak mau menikah dengan wanita itu. Sebaiknya aku kenalkan dengan keluargaku. Lalu, kita menikah.” Bastian berharap Alika mau menerimanya karena jalan satu-satunya hanya itu untuk menolak perjodohan dengan Sandrina.

Alika membuang napas kasar. Ia kembali tersadar dari lamunannya. Alasan utama ia menolak Bastian karena perbedaan agama di antara mereka.

30 menit sudah berlalu, Alika kembali dengan aktivitasnya. Satu persatu pasien datang setelah antreannya di panggil. Beberapa menit cukup untuknya kembali fokus setelah ia memikirkan hal yang membuatnya gagal fokus.

Alika meneguk air putih untuk meredakan kering di tenggorokan. Setelah itu Suster memanggil antrean berikutnya untuk masuk. Dokter Alika kembali bersiap untuk memeriksa pasien. Namun, netranya tidak percaya saat dua pasangan suami istri masuk dan satu wanita tua bersama mereka.

Hati Alika menurut melihat pria yang dicintainya datang bersama dengan sang istri. Seseorang yang telah membuatnya galau sepanjang hari ini berada di hadapannya. Jantungnya terus bergetar tak karuan. Begitu juga Bastian yang juga tidak menyangka jika Dokter Kandungan sang istri adalah kekasihnya sendiri.

Kedua pasang kekasih itu pura-pura tidak saling mengenal. Apalagi Bastian yang merasa tidak enak dengan Alika karena kehamilan Sandrina—istrinya. Alika sedang marah dan pasti akan tambah marah dengan keadaan seperti itu.

“Dok,” sapa Sandrina.

“Eh, iya. Silakan.” Alika menjawab gugup.

Sandrina tidak curiga dengan Alika karena ia hanya pernah mendengar namanya di sebut sang suami, tapi belum tahu wajah kekasih Bastian itu. Saat melihat nama Alika di meja, ia sedikit berpikir, tapi kembali berpikir positif karena nama itu banyak kemungkinan sama.

“Menantu saya hamil, Dok. Ini tespacknya.” Bu Hana antusias memberikan tespack itu pada Alika.

Perubahan wajah Alika bisa terbaca oleh Bastian. Namun, ia tidak bisa melakukan apa pun dalam kondisi seperti itu.

“Silakan berbaring,” ujar Alika.

Alika melakukan USG untuk memastikan kandungan Sandrina. Walau hatinya merasa perih, ia tetap harus bisa menjaga sikap demi nama baik rumah sakit dan dirinya. Toh, Sandrina belum tahu dirinya siapa jadi Alika masih bisa santai.

Kandungan Sandrina masih kecil dan baru berusia 5 Minggu. Bu Hana semringah saat melihat ada janin di dalam rahim sang menantu. Wanita tua itu membantu Sandrina turun, sedangkan seperti biasa Bastian tetap cuek dengan sang istri.

“Usia kandungan masih sangat kecil dan rentan. Hindari hubungan dengan suami, jangan terlalu lelah dan minum vitamin rutin,” tutur Alika sembari melirik ke arah Bastia.

Bastian bersiap ke luar saat Alika sudah selesai meresepkan vitamin untuk Sandrina. Setelah mereka keluar, Alika menutup wajah dengan tangan. Berapa sakitnya mengetahui kekasihnya menghamili istrinya. Tidak ada yang salah memang, tapi janjinya untuk cepat melepaskan sang istri tidak terbukti. Ucapan Bastian tidak bisa ia percaya, mengaku tak mencintai tapi malah menghamili.

Mau kamu apa, sih, Bas. Kamu bilang tidak akan lama dan tidak mencintai dia, tapi kamu malah menghamilinya. Apa kamu sengaja menyakiti aku?

Sebuah pesan masuk membuat Alika gegas membukanya.

[Maafkan aku, kehamilan istriku bukan karena kemauanku, tapi saat itu aku sedang mabuk dan melakukan hal itu. Maaf kalau kamu kecewa]

Alika membanting ponsel di meja, percuma menjelaskan karena dirinya terlali sakit untuk bisa memaafkan.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
LY90
tak mungkin bastian enggak tahu kekasih nya bertugas di situ ?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status