Bu Hana sudah kembali pulang setelah senang melihat hasil pemeriksaan sang menantu. Rumah itu kembali sepi, hanya tinggal dua orang yang saling diam tanpa kata. Apalagi Bastian yang terlihat jelas tidak mau menunjukkan simpati sama sekali pada Sandrina. Pria itu duduk di balkon sembari menyesap rokok.
Sandrina memperhatikan dari kejauhan karena tidak berani mendekat, ada asap rokok yang bisa merusak dirinya. Apalagi ia sedang hamil, harus menjauhi berbagai hal yang membahayakan.
Sejak pulang dari rumah sakit, Bastian terlihat sangat cemas. Sandrina sebagai seorang istri pun bisa merasakan apa yang sedang dialami Bastian. Pria itu gelisah, dan seperti ada yang membuatnya tidak fokus.
Bastian terbangun dari lamunannya, ia gegas bangkit untuk menemui Alika. Tapi, ia terkesiap melihat Sandrina berdiri tidak jauh dari tempatnya duduk. Merasa diawasi, Bastian menyenggol dengan sengaja hingga Sandrina hampir terjatuh.
“Kamu nggak punya hati, aku sampai hampir jatuh,” ujar Sandrina.
“Apa peduliku? Apa yang terjadi denganmu, bukan urusanku.” Bastian berkata ketus.
“Aku istrimu.”
“Memang, tapi itu hanya sebatas ucapan saat ijab kabul, ingat, aku tidak pernah mau menikah dengan kamu kalau bukan karena wasiat.” Lagi, ucapan Bastian membuat luka di hati Sandrina.
Akan tetapi, demi bersabar meluluhkan hati sang suami, Sandrina rela menerima cercaan demi cercaan dari mulut pedas Bastian. Ia selalu mengingat pesan ibu mertuanya, kita sabar saja, semua pasti akan kembali pada tempatnya. Termaksud, Bastian yang akan kembali ke rumah yang semestinya.
“Iya, karena wasiat. Tapi, apa wanita lain itu bisa menerima kondisi kamu dalam kemiskinan? Bisa?” Sandrina memberanikan diri untuk mengatakan hal yang sangat berat baginya.
Menurut perjanjian dalam wasiat itu, Bastian harus menikah dengan Sandrina. Apa pun yang terjadi, jika Bastian menceraikan sang istri, maka harta akan jatuh ke tangan Sandrina.
“Siap hidup menggembel, Tuan Bastian?”
Sebelumnya Sandrina tidak pernah melawan, tapi setelah tahu suaminya berhubungan dengan wanita lain, ia akan membuat suaminya menyesal. Ia akan berusaha untuk merebut hati sang suami.
“Kamu mengancam aku?” Bastian meninggikan suara.
Sandrina takut melihat Bastian meninggikan suaranya. Namun, demi membuat Bastian percaya jika dirinya tidak bisa dianggap remeh, Sandrina berusaha untuk kuat dan merebut hati Bastian.
“Aku tidak mengancam kamu, aku sudah siapkan makan malam. Lebih baik kita makan,” ujar Sandrina mengalihkan pembicaraan.
“Aku nggak lapar,” ujar Bastian.
Sandrina tidak mau kalah, ia menarik Bastian ke meja makan, tapi pria itu menolak dan tanpa sengaja mendorong tubuh Sandrina hingga terjatuh di lantai.
“Aduh,” rintih Sandrina.
Bastian cemas melihat Sandrina yang terjatuh di lantai. Akan tetapi, ia gengsi untuk menolong sang istri. Ia masih bergeming melihat sang istri merintih kesakitan.
“Jangan manja, bangun saja sendiri.”
Sandrina berusaha bangkit, tapi ia tak kuat karena merasa nyeri di bagian perut bawah. Ia terus memohon agar Bastian mau membantunya, tapi pria itu malah bersikap acuh.
“Aku bukannya manja, tapi aku nggak bisa bangun. Mas, tolong aku,” pinta Sandrina memohon.
Bastian tidak peduli pada sang istri, ia malah pergi masuk kamarnya. Sementara, Sandrina masih tertatih untuk menjangkau sofa.
“Memang tidak punya hati nurani.” Sandrina bergumam sendiri.
Sandrina sudah berhasil duduk di sofa, ia mengelus-elus perut yang terasa sakit. Bastian memang sangat kejam, ia tega membiarkan sang istri yang sedang kesakitan.
***
Ferdi kembali galau di kafe Dimas, ia memesan beberapa minuman yang ia minum sendiri. Penolakan Sandrina membuat dirinya kacau, ia pikir mantan kekasihnya itu akan kembali padanya. Namun, tanpa di duga, ia mendapat penolakan sangat keras. Apalagi tamparan yang mengenai pipinya malam itu.
“Sudah coba jadi pebinor?” tanya Dimas asal.
“Saran lu sesat,” ujar Ferdi.
“Lu di tolak?”
“Nggak harus gua jelasin, kan?”
Dimas tertawa, lalu duduk di samping Ferdi. Melihat temannya galau, ia hanya terkekeh karena selama ini Ferdi tak pernah gagal dalam percintaan. Malah ia mematahkan hati Sandrina dulu.
“Gua kenali cewek lain aja, mau? Dokter cantik,” ujar Dimas.
Ferdi tidak menggubris ucapan Dimas. Ia kini terus memandang foto Sandrina di ponselnya. Andai saja ia tak menyia-nyiakan sang kekasih, tentunya ia tak akan selalu ini.
“Kayanya gua mau minta Bastian menyerahkan Sandrina buat gua. Dari pada dia dianggurin.”
“Loh, kata lu dia lagi hamil, kalau nggak cinta, bagaimana bisa hamil?”
Sepertinya sangat jelas, Ferdi pernah mendengar kalau sang kakak tidak menyukai Sandrina. Apa mungkin dia sudah berubah pikiran dan mulai menerima Sandrina menjadi istrinya?
Ferdi terus memutar otak, yang ia pikir sang kakak masih menjalin hubungan dengan kekasih gelapnya. Ferdi beranjak dari tempat duduk, ia gegas menemui sang kakak untuk membicarakan hal penting.
“Mau ke mana?” tanya Dimas.
“Minta Bastian menyerahkan Sandrina. Dari pada di sia-siakan.”
Dimas menahan tangan sang sahabat. Ia tidak mau Ferdi bersikap gegabah dalam mengambil keputusan yang salah. Apalagi Sandrina akan semakin membencinya.
“Jangan gegabah, pakai cara pintar, Bro. Cara halus.”
“Gua harus bagaimana?”
Dimas meminta Ferdi mendekat, pemilik kafe itu membisikkan sesuatu. Ferdi hanya menganggukkan kepala. Ia tak mau melihat sang teman galau, sepertinya itu pun tidak membantu banyak.
“Susah, Bro.”
Ferdi seperti menyerah dengan keadaan. Untuk menggapai cinta Sandrina begitu sulit baginya. Ia harus berusaha demi cintanya, maka dari itu ia harus berusaha dengan cara yang diajarkan Dimas.
"Redup."
Dimas menoleh saat mendengar ada yang memanggilnya. Pria itu menoleh, ternyata ada wanita cantik yang menunggunya. Ferdi melihatnya dengan netra menyipit, seperti mengenalnya, tapi lupa di mana. Wanita itu berjalan mendekati meja Dimas dan Ferdi.
“Alika, wah kebetulan kamu datang,” ujar Dimas.
“Alika?”
Nama itu tidak asing, ia pernah melihat wanita di hadapannya bersama Bastian. Ferdi Kembali Berpikir apa wanita itu adalah kekasih sang kakak yang membuat Bastian berpaling dari Sandrina? Ini sangat kebetulan.
***
Dimas menegur Ferdi yang sejak tadi terdiam menatap Alika tanpa berkedip. Dimas berpikir jika temannya terpesona dengan wanita di depannya. Akan tetapi, dugaannya salah. Ferdi bukan terpesona, melainkan dia sedang berpikir apa wanita di hadapannya adalah kekasih sang kakak atau sekadar mirip nama.“Kalian sudah saling kenal?” tanya Dimas.“Belum.” Ferdi cepat menjawab.Dimas memperkenalkan mereka berdua. Keduanya bersalaman, sama halnya dengan Ferdi, Alika pun seperti sangat familier dengan wajah pria di depannya. Alika seperti pernah melihatnya dan ia malah lupa melihatnya di mana.Dimas memesankan minuman untuk Alika, tapi ia pamit sebentar untuk memeriksa dapur. Sementara, Ferdi dan Alika bingung harus bicara apa. Keduanya masih duduk sembari menyaksikan live musik. Sesekali Ferdi memerhatikan Alika, setelah itu ia semakin penasaran apa dia wanita yang membuat Bastian jatuh cinta.“Dari mana?” Pertanyaan basa
Ferdi sama dengan Bastian, pria itu pun terkesiap melihat sang kakak bersama dengan wanita yang sangat ia suka. Begitu juga Alika, hawa panas menyelimuti hatinya melihat Bastian bersama dengan sang istri.Sandrina menatap Ferdi, ia mengenali Alika sebagai Dokter Kandungan yang memeriksa dirinya. Akan tetapi, ia tidak tahu jika wanita itu adalah kekasih sang suami.“Kalian datang ke sini juga? Tumben?” Ferdi menyapa untuk mengurangi rasa gugup.Wajah Bastian sudah tidak bersahabat melihat sang kekasih kini bersama dengan Ferdi. Sejak tadi ia mencoba menghubungkan, ternyata Alika bersama Ferdi dan seperti sedang bersenang-senang.“Nggak usah basa-basi.” Bastian menarik Sandrina menjauh, tapi langkah terhenti saat Ferdi kembali memanggilnya.“Ka, tenang saja. Aku nggak akan mengganggu istrimu lagi, kenalkan calon istriku.”Wajah Alika langsung memerah, sama halnya dengan Bastian yang sejak tadi menatap dengan
“Aw!”Bastian menjerit kala Sandrina menendang keperjakaannya. Peria itu langsung melepas cengkeramannya dan terduduk sembari memegangi yang sakit. Sementara, Sandrina masih menatap bengis pria yang menjadi suaminya itu.“Sakit, kan?”Sandrina kembali tersenyum melihat Bastian yang tak bisa menjawab karena ia sedang merasakan nyeri di sesuatu yang paling berharga baginya. Sang istri tak peduli betapa sakitnya Bastian, sedangkan suaminya itu bersumpah akan membuat Sandrina menyesali perbuatannya kali ini.“Awas, ka—kamu!” Bastian mengucapkan kalimat terbata-bata juga hanya bisa menunjuk Sandrina dengan telunjuknya.“Rasakan, rasa sakit itu nggak sebanding dengan sakitnya hati aku saat suami bercinta denganku, mulutmu masih memanggil namanya!”Akhirnya Sandrina bisa mengutarakan apa yang ia rasakan kali ini. Walau pernikahan mereka berjalan karena perjodohan, bukan berarti Bastian bisa mela
Wajah Bastian memerah mendengar ucapan Sandrina. Entah apa yang merasuki sang istri hingga bisa berbicara seperti itu. Apalagi mengenai hal sensitif mengenai pria. Bastian menggebrak meja, tapi Sandrina tak kaget sama sekali.Sandrina masih terlihat santai, berbeda dengan ia yang dulu. Ia semakin kuat menghadapi Bastian yang berlaku seenaknya pada dirinya.Semenjak kehamilannya, Sandrina bertekad untuk mengembalikan Bastian pada kodratnya. Pria yang seharusnya menjadi suami dan ayah yang bertanggung jawab. Bukan pria yang masih bermain-main dengan wanita lain padahal tahu dirinya akan menjadi seorang ayah.“Anggap saja tidak terjadi sesuatu malam tadi.”“Terserah kamu, aku tidak peduli. Aku mau merapikan baju, ibu akan memesankan aku taxi jam 13.00.”“Sampai kapan?”“Mungkin sampai anak ini lahir.” Sandrina menjawab singkat.Bastian dibuat melongok dengan jawaban asal sang istri. Selama
Alika menarik napas dalam, sudah pasti pria di hadapannya tak bisa menjawab atau memang tak bisa memilih. Harusnya sejak lama mereka berpisah, tapi diri mu ya terllau mencintai Bastian hingga rela menunggu sang kekasih menduda.Bastian terus memutar otak, apalagi saat ia mengingat perkataan sang istri. Kalau ia meninggalkan Sandrina, sudah pasti harta akan jatuh ke tangan calon anaknya karena sesuai perjanjian, jika Bastian menceraikan Sandrina tiba-tiba dan memilih wanita lain, jika sudah memiliki anak, otomatis harta itu jatuh ke darah dagingnya. Jika tidak, akan menjadi milik Sandrina.Pria itu memukul tembok dengan emosi, bagaimana hidupnya begitu sulit dan harus ada pilihan. Lagi, ucapan Sandrina terngiang di kepalanya. Belum tentu Alika menerimanya saat ia jatuh miskin. Dia seorang Dokter dan mudah mendapatkan pria yang ia mau, termaksud sang adik.“Aku tahu kamu tak akan bisa memilih karena kamu memang sudah mencintai wanita itu. Lebih baik kamu per
Bastian pamit pulang sebentar pada Alika karena banyak pekerjaan yang harus ia kerjakan. Ia pulang untuk mengambil laptop di rumah dan berjanji akan kembali lagi tidak lama.Sesampainya di rumah, ia berteriak memanggil nama sang istri. Akan tetapi, Sandrina tak juga muncul di hadapannya. Bastian menepuk menepuk kening karena ia lupa jika Sandrina sepertinya sudah berada di rumah sang ibu. Pantas saja tak ada jawaban atau wajah sang istri yang selalu muncul saat kedatangannya.“Kenapa aku ini,” gumam Bastian.Pria itu terduduk di meja makan, ia membuka tudung nasi. Ada beberapa lauk dan juga sambal. Tidak ketinggalan ada sebuah surat dari Sandrina seperti biasa.Mas, aku ke rumah ibu dulu. Ada sayur dan lauk untuk makan sore ini. Di kulkas pun sudah kupenuhi telur dan susu untuk kamu makan. Akan tetapi, kalau kamu rindu aku bisa datang atau menelepon. Dari aku, istri yang tak pernah di anggap.Bastian meremas kertas itu da
Sang ibu memberikan teh hangat pada Ferdi. Keduanya duduk memandang langit di halaman rumah. Sebelumnya, Bu Hana memang ingin bicara berdua dengan anak keduanya itu.Ferdi sepertinya paham apa yang akan dibicarakan sang ibu.“Apa ibu akan membicarakan masalah Bastian dan Sandrina?” tanya Ferdi.Bu Hana mengangguk, memang ia akan membicarakan anak pertamanya itu. Karena Sandrina akan pindah bersamanya, ia pun memohon agar Ferdi mencari kontrakan.“Sepertinya kamu tahu yang akan ibu bicarakan,” tutur Bu Hana.Ferdi mengangguk, memang ia tahu jika sang ibu memintanya ke luar dari rumah. Akan tetapi, pria itu malah ingin tetap di rumah itu.“Bu, mencari kontrakan atau kosan susah, aku pun jarang di rumah. Apa harus pindah?” tanya Ferdi.“Tapi ada Sandrina di sini, Ibu tak mau membuat dirinya tidak nyaman. Kasihan ia sedang hamil dan butuh perhatian ibu, apa kamu nggak mau membantu?” Bu
Bu Hana datang saat Sandrina mengatakan jika Bastian sakit. Ia terburu-buru datang karena panik. Untung saja Ferdi bisa mengantarnya hingga ke rumah sang kakak. Bu Hana langsung menghampiri Bastian yang sudah bisa duduk di sofa.“Nak, kamu baru sehari ditinggal Sandrina saja sudah sakit. Bagaimana dia tinggal lama dengan ibu. Bisa kelaparan setiap hari kamu,” oceh sang ibu.“Aku bukan anak kecil lagi, Bu. Bisa pesan online juga,” jawab Bastian.Sandrina terlihat membawakan teh untuk ibu dan Ferdi. Wanita itu duduk di samping sang suami. Walau belum menandatangani kontrak perjanjian mereka, Bastian mencoba belajar berlama-lama duduk di samping sang istri.Terlebih, jika melihat Ferdi yang menatap tidak biasa pada sang istri. Tidak tahu perasaan apa, ingin sekali tangannya memukul dan mencongkel matanya.“Bu, teh ibu yang ini. Itu buat Ferdi karena gulanya sedikit lebih banyak. Punya tidak memakai gula, kan?” Sandr