Dimas membuat Ferdi terus berpikir untuk merebut hati Sandrina kali ini. Lagi pula Bastian juga tidak akan marah jika ia mendekati mantan istrinya itu karena sang kakak memiliki kekasih yang sulit ia tinggalkan.
Hal itu mempermudah dirinya untuk kembali mendekati Sandrina karena ternyata dirinya masih sangat mencintai mantan kekasihnya itu. Kesalahannya membuat ia menyesal sekian lama. Meninggalkan Sandrina dan memilih wanita yang jauh berbeda darinya.
Dengan senyum tipis, Ferdi pamit pada Dimas. Ia melambaikan tangan saat sang teman sedang melayani beberapa tamu. Dimas menanggung melihat Ferdi berjalan ke luar kafe.
Sebelum pulang, Ferdi memiliki ide untuk membelikan beberapa barang atau makanan kesukaan Sandrina. Ia masih ingat dengan hal kecil yang menandai kebiasaan mantan kekasihnya.
Ferdi membuka pesan masuk, ternyata sejak tadi sang ibu terus berusaha meneleponnya. Ia menarik napas, tangannya membuka cepat pesan masuk dari ibunya.
[Cepat pulang, ibu mau bicara.]
Pesan singkat itu kembali membuat Ferdi cenat cenut. Saat rahasianya terbongkar, ia memilih kabur dan menghindari banyak pertanyaan dari sang ibu. Namun, pada akhirnya ia pun harus menyerah dengan pesan yang singkat padat dan jelas.
“Agh!” Ferdi bergumam kesal dan langsung melangkah lagi ke mobil, lalu kembali pulang.
Sepanjang perjalanan, Ferdi tak henti memikirkan Sandrina—kakak iparnya. Wajah wanita itu jauh berbeda saat masih bersamanya. Acara pernikahan Bastian awal permulaan mereka dipertemukan kembali. Denyut jantung Ferdi berdetak tak karuan melihat Sandrina begitu cantik dengan kebaya putih yang melekat di tubuhnya.
“Sial!”
Lagi, Ferdi merutuki dirinya sendiri karena kebodohannya kala meninggalkan wanita secantik Sandrina kala itu. Andai saja ia tak terbawa nafsu, mungkin dirinya sudah bersanding dengan sang kekasih. Bukan malah sang kakak yang tak mencintai wanita idamannya.
***
Ferdi masih berdiri mematung di halaman rumah anak kakak. Walau tahu dirinya akan di sidang sang ibu, hal itu tidak menjadi masalah jika ada kesempatan dirinya kembali pada Sandrina.
Melihat Sandrina, ia langsung gegas masuk rumah. Akan tetapi, langkahnya terhenti saat sang ibu berdiri sembari menghalangi Ferdi untuk menghampiri Sandrina.
“Tetap di sini dan dengarkan ibu.”
“Apalagi, Bu? Ibu mau penjelasan tentang aku dan Sandrina?”
“Oh, tidak penting. Ibu hanya mau bicara, jangan mendekati kakak ipar kamu lagi. Jauh-jauh dari Sandrina karena jika kamu terlalu dekat akan membuat Bastian cemburu,” tutur sang ibu.
“Loh, memangnya Bastian suka?”
“Ibu nggak peduli, ya. Awas saja kamu berani mendekati kakak ipar kamu. Salah sendiri, berlian kok kamu buang.”
Ferdi diam mendengar apa yang dikataka sang ibu. Batin seorang ibu memang benar, tahu jika Ferdi ada niat mendekati Sandrina kembali. Cepat-cepat Bu Hana mengultimatum sang anak untuk mencari kebahagiaan sendiri.
Netra Ferdi tak lepas dari Sandrina yang berjalan masuk ke kamar Bastian dengan membawakan minuman. Andai saja ia tak melepaskan wanita itu, mungkin saat ini ia sedang bahagia dengan pernikahannya.
***
Sandrina menaruh secangkir jahe hangat di meja untuk Bastian. Pria itu menoleh, lalu kembali menatap layar laptopnya. Kali ini ia bekerja di rumah karena merasa kurang enak badan.
Sebagai istri yang baik, Sandrina menyediakan jahe hangat untuk sang suami yang sedang tak enak badan.
“Di minum jahenya.” Sandrina masih berdiri di samping Bastian.
“Aku nggak minta itu,” jawab Bastian singkat.
“Memang kamu nggak minta, tapi aku buat untuk kamu. Biar kamu cepat sehat,” jawab Sandrina lagi.
Bastian menatap kesal Sandrina yang sering memaksanya untuk memakan atau meminum apa pun yang dibuatnya. Ia tidak mengerti mengapa sang istri tetap melayaninya walau berulang kali kalimat kasar terlontar dari bibirnya.
“Kamu itu nggak malu, sudah jelas aku menolak kamu. Masih saja kamu seperti ini. Harus bicara seperti apa, sih, biar kamu sadar kalau aku nggak cinta sama kamu!” Bastian tersenyum sinis melihat Sandrina yang kuat berdiri walau baru saja pria itu menolaknya.
“Seribu kali kamu menolak, aku akan tetap bertahan karena kamu suamiku. Jatuh cinta boleh berulang kali, tapi menikah untuk seumur hidup.”
Bastian sedikit terkesiap mendengar ucapan Sandrina. Kuat mental wanita itu menghadapi seorang pria kaku dan dingin seperti Bastian. Walau berat, pria itu meneguk jahe hangat yang tersedia di mejanya. Terlihat Sandrina menyunggingkan senyum melihat sang suami mau meminum jahe hangat buatannya.
“Cepat ke luar, untuk apa masih di sini?” Bastia mengusir Sandrina. Ia tak mau wanita itu berlama-lama di kamarnya.
“Iya, aku akan keluar. Tapi, sebelum itu kami harus mendengarkan aku. Alika atau wanita mana pun tidak akan bisa menggantikan posisi aku di rumah ini sebagai Nyonya rumah. Ingat, itu, Mas.” Sandrina kali ini sangat tepat dalam bersikap.
Bastian tergelak mendengar ucapan dari mulut wanita yang dikira cupu ternyata suhu. Untuk memastikan Sandrina sehat, ia bangkit lalu menempelkan tangannya di dahi. Suhu tubuh normal, tapi bagaimana bisa sikapnya menjadi tegas seperti sekarang.
“Jangan harap!”
“Aku akan buktikan, kamu bisa jatuh cinta sama aku.”
Sandrina begitu percaya diri dengan apa yang dikatakannya. Mengingat pesan ibu mertuanya, berjuang demi apa yang menjadi milik kita dan orang lain tidak bisa merebutnya. Senyum tipis menghiasi bibir Sandrina, tak lama ia beranjak ke luar kamar. Ia berdiri dengan memegangi dada yang sejak tadi terasa berdetak tak karuan.
Napasnya naik turun, ia terus merasa hatinya tak karuan saat bersama dengan Bastian. Apalagi kini ia sedang mengandung anak dari pria dingin itu. Senyumnya tak lepas dari bibir wanita itu, tapi puas begitu saja saat Ferdi kini berada di hadapannya.
Sadrina tidak mau bertegur sapa dengan Ferdi, ia memilih menghindari matan kekasihnya karena muak jika mengingat perbuatannya. Ferdi mengejarnya sampai ke dapur, lalu gegas menghampiri Sandrina.
Sandrina tidak mau memedulikan Ferdi yang sudah ada di sampingnya. Dirinya fokus merapikan dapur dan mencuci piring karena asisten rumah tangga mereka sedang izin ke luar hari itu.
“Sebenci itu kamu sama aku?” tanya Ferdi.
Tangan Sandrina mengelap beberapa meja dan sudut dapur, ia tidak mau menjawab apa pun yang terlontar dari mulut Ferdi.
“San, aku minta maaf. Aku khilaf, semua salahku. Aku akui itu, tapi maafkan aku.” Ferdi kembali mendekat dan berbicara.
Sandrina tersenyum sinis, melihat Ferdi dari dekat pun ia tidak sudi.
“Aku sudah memaafkan kamu, tapi tolong jangan datang dan mendekati aku lagi.”
“Mana bisa aku menjauhi kamu, selama ini aku salah. Aku baru menyadari kalau aku sangat mencinta kamu.”
Hadiah tamparan berhasil membuat Ferdi bergeming.
“Itu hadiah untuk kamu, agar kamu sadar kalau kamu itu laki-laki tidak tahu malu!”
Sandrina segera melangkah meninggalkan Ferdi yang memegangi pipinya yang terasa perih. Namun, bukan hal itu saja yang membuatnya sakit, tapi tamparan Sandrina membuat ia tak terima diperlakukan seperti itu.
“Awas saja kamu, kupastikan kamu akan kembali padaku!”
***
Bastian membantu Sandrina beranjak dari lantai walau dengan tangan satu terinfus. Ia panik karena sejak tadi sang istri memegangi perutnya. Bastian mencoba mengelus perut Sandrina agar lebih tenang.“Bu, periksa ke Dokter Kandungan saja,” ujar Bastian.“Enggak apa-apa, Mas. Ini hanya keram sedikit saja nanti hilang,” tolak Sandrina.“Kamu bilang enggak ada masalah, memang kamu bisa lihat anak kamu di dalam? Aku enggak mau tahu, nanti aku temani kamu ke Dokter Kandungan,” ucap Bastian memaksa lagi.“Bas, biar ibu saja. Kamu tetap di kamar, istirahat.” Bu Hana memerintahkan Bastian untuk tak pergi ke mana-mana.Bastian malah mencemaskan Sandrina, bukan dirinya. Melihat sang istri kesakitan ia merasa sangat bersalah karena tak bisa melakukan apa pun. Seperti yang di katakan sang ibu, Sandrina pun di ajak ke Dokter Kandungan.Sepertinya Sandrina, ia menatap sekeliling. Ia merasa betapa bodohnya selama ini telah menyia-nyiakan wanita seperti Sandrina. Matanya tertutup oleh cinta buta pada
Kondisi Bastian belum stabil, ia masih tertidur akibat obat bius yang diberikan oleh Dokter. Sandrina begitu cemas dengan kondisi sang suami yang menghawatirkan. Sepetinya Bastian mencoba mengingat beberapa kenangannya. Namun, bukan pulih malah membuat ia merasa kesakitan hingga pingsan.“Fer, Nit, kian pulang saja. Istirahat,” ujar sang ibu.“Ibu bagaimana,” tanya Ferdi.“Ibu menemani Sandrina. Kalian pulang saja, bagaimana?”“Kalau itu yang ibu mau, kita istirahat dan nanti gantian saja.”Bu Hana setuju, Ferdi langsung mengajak Anita pulang karena ia merasa sang istri sudah sangat lelah. Anita pun terlihat memang sangat pucat, mungkin efek kurang tidur sampai membuat mata panda di kantung mata.“Kamu mau makan dulu apa nanti di rumah?” tanya Ferdi.“Di rumah saja, aku lelah,” ujar Anita.Ferdi pun langsung mengikuti langkah sang istri untuk pulang. Sudah beberapa hari ia mengurusi masalah sang kakak dan lupa dengan kebahagiaannya sendiri. Apalagi sampai lupa dengan kesehatan Anita y
Dimas memegangi pipinya yang terkena hantam Bastian. Sementara, Bastian sudah sejak tadi sudah tak tenang mendengar penjelasan Dimas.Bastian benar-benar kecewa dengan Alika. Wanita itu sudah membuat hidupnya kacau. Apalagi saat dia datang dan mengaku hamil anaknya. Tangis Alika pecah saat Dimas menceritakan semua. Kekhilafan dirinya hingga bisa hamil anaknya Dimas.“Berengsek!” teriak Bastian.Ferdi menahan sang kakak yang begitu emosi. Bastian geram karena ulah Alika juga murka dengan apa yang mereka berdua lakukan. Ferdi menahan Bastian kembali karena ia hampir saja menghantam Dimas.“Aku tidak salah karena ingin bertanggungjawab saat itu. Hamil atau tidaknya Alika, tapi dari menolak. Awalnya aku tidak tahu kalau Ferdi tak bercerita tentang ulah Alika. Dari sana, aku curiga dan memutuskan menemui Alika. Dia berlari hingga jatuh dan keguguran.”“Bohong, dia bohong!” pekik Alika histeris.“Cukup, jangan mengelak Alika!” Dimas tak kalah bersuara.Bastian memegangi kepalanya yang teras
Saat sampai di rumah, Bastian di kagetkan dengan kedatangan Alika yang sudah menunggunya sejak tadi. Wanita itu sempat menghilang, tapi datang kembali dan membuat pria itu begitu terkejut.Sepintas ia menoleh ke arah Sandrina yang sudah merenggut. Ingin rasanya langsung menenangkan sang istri. Akan tetapi, ada Alika yang sejak tadi menatapnya.“Sayang, aku nungguin kamu. Kamu baru pulang?” Alika langsung mendekat dan menyingkirkan Sandrina.“Kamu jangan kasar sama Sandrina dia sedang hamil.” Sergah Bastian.Alika menganga mendengar Sandrina di bela Bastian. Kesal mendengar hal itu, Alika pun menarik Bastian untuk berdiri di sampingnya.“Heh, kamu itu jangan bikin ulah. Terjadi sesuatu sama calon cucu saya, saya buat hidup kamu menderita,” ancam Bu Hana.“Bu, sudah. Biar aku bicara dengan Alika dulu.”“Aku hamil, kamu ikutan hamil. Jangan-jangan kamu hamil bohongan untuk menarik simpati Bastian,” cecar Alika.“Heh, kamu tuh yang hamil pura-pura. Coba cek saja kalau memang kamu benar ha
Bastian memukul kaca mobil dengan kesal, ia merasa kali ini sangat mencemaskan Sandrina. Namun, ia masih bingung bagaimana bisa ia begitu mencemaskan sang istri. Apalagi dulu dirinya sangat mencintai Alika.“Apa yang di perbuat Sandrina sampai aku merasa sangat takut kehilangan dia!”Sandrina terlihat menghampirinya, Bastian pura-pura biasa kembali. Bastian kembali cemas saat sang istri seperti memegangi keningnya.“Kamu sakit?” tanya Bastian.“Harusnya aku yang tanya sama kamu, kamu sakit atau otak kamu habis kepentok apa? Tiba-tiba menjadi baik sama aku. Lalu, mengakui aku di depan umum,” ujar Sandrina.“Eh, itu, aku hanya enggak suka lihat kamu di perlakukan seperti pesuruh. Kamu ini istri aku, jadi tidak ada yang boleh memperlakukan kamu seperti itu. Lagi pula kamu lagi hamil, mengerti?”Sandrina langsung memeluk sang suami. Tidak peduli di tempat umum, sedangkan Bastian merasa risi mendapat perlakuan dari Sandrina. Ia berusaha melepaskan tangan sang istri dari tubuhnya.“Aduh, ka
“Pergi kamu!” teriak Alika.Alika begitu syok saat ia mengalami keguguran. Hal itu membuat dirinya gagal dinikahi Bastian jika pria itu tahu sudah tak ada janin di dalam kandungannya. Alika menyalahkan Dimas yang tiba-tiba saja menandatangani surat untuk melakukan operasi.“Lik, harusnya kamu sadar, kamu seorang dokter kandungan dan pasti tahu kalau bayi itu enggak akan bisa terselamatkan dan harus di keluarkan. Lagi pula, untuk apa kamu pertahankan kalau kamu tak meminta pertanggung jawaban aku?” tanya Dimas.Alika bergeming, Dimas tidak tahu kalau ia mempergunakan kandungannya untuk menipu Bastian dan keluarganya. Jika ia keguguran, maka tidak ada pernikahan yang akan terjadi di antara keduanya.“Itu bukan urusan kamu.” Alika kembali emosi dengan apa yang ditanyakan Dimas.“Itu menjadi urusan aku. Itu anak aku, kan?” tanyanya lagi.Alika memalingkan wajah, tidak mungkin ia menjawab anaknya Bastian. Pria itu tidak akan mungkin percaya dan malah akan bertanya pada Bastian. Apalagi ked