Bu Hana membantu mengoles obat pada wajah Sandrina. Wanita tua itu masih saja mengomel karena ulah Bastian wajah menantu kesayangannya menjadi lebam.
“Tenang saja, sudah ibu telepon suruh pulang. Setelah ini kita ke Dokter Kandungan.”
“Iya, Bu.”
Terdengar deru mobil memasuki halaman rumah. Suara kendaraan itu sudah sangat dihafal Sandrina, ia gegas ingin menyongsong sang suami.
“San, biar ibu saja. Kamu di sini istirahat.” Bu Hana langsung menghampiri sang anak.
Bastian berdiri di depan rumah saat sang ibu sudah menunggunya di ambang pintu. Pria dengan rambut cepak itu mengembuskan napas sebelum ia mendapat beberapa wejangan dari ibunya.
“Kamu itu nggak punya pikiran, punya perasan nggak kamu?”
Benar dugaan Bastian, sang ibu mulai memberikan ceramah padanya. Kali ini pasti akan panjang sampai ia lelah.
“Ibu ngomong apa, sih?”
Bastian berjalan melewati sang ibu. Netranya melirik ke arah Sandrina yang duduk di sofa. Tidak biasa wanita itu tak sibuk mengambilkannya teh saat pulang dari mana pun dirinya datang.
Bu Hana mengejar Bastian yang sudah dulu masuk rumah. Wanita itu menjewer telinga sang anak hingga Bastian meringis kesakitan. Sementara, Sandrina tertawa tipis melihat suaminya seperti anak kecil di marahi.
“Ibu, sudah. Itu Mas Bas kesakitan,” ujar Sandrina.
“Biarin saja, biar dia tahu rasanya kesakitan. Bisanya menyakiti istri saja. Kamu itu punya hati nggak, lihat memar di wajah istrimu.” Bu Hana me unjuk wajah Sandrina, seketika wanita di hadapan Bastian menunduk.
“Dia pun seperti itu karena membela kekasihnya, salah sendiri. Bukan salahku.” Bastian membantah ucapan sang ibu.
“Sudah, Bu. Aku nggak apa-apa, tapi jangan kaitkan aku lagi dengan Ferdi. Aku sudah tidak ada hubungan apa pun,” tutur Sandrina.
Mendengar penuturan Sandrina, Bastian seperti tidak suka. Lagi, sang istri terlihat membela adiknya. Kedua adik dan kakak itu sejak dulu memang tidak pernah akur. Bukan karena masalah besar, tapi karena mereka selalu berbeda pendapat.
“Memang apa urusannya kalau aku masih ada hubungan dengan Ferdi, bukannya aku tidak pernah Mas anggap?”
Bola mata Bastian hampir keluar mendengar ucapan Sandrina yang seperti mengejeknya.
“Alah!”
“Bas, ibu mau bicara.”
Lagi, Bu Hana mengikuti sang anak yang masuk kamar. Ia gemas dengan tingkah laku Bastian yang membuat Sandrina sakit hati terus menerus.
“Bas, kamu ini kenapa sih?”
“Bu, sudahlah. Aku malas membahasnya, lagi pula aku lelah.”
“Jangan ganti baju dulu, antarkan Sandrina ke Dokter Kandungan. Ibu juga mau melihat calon cucu Ibu,” ujar sang ibu.
“Kapan?”
“Sekarang. Masa harus Ferdi yang mengantar.”
“Ya, dia saja.”
Bu Hana berulang kali mengelus dada melihat sikap sang anak yang begitu menyebalkan. Akan tetapi, Sandrina selalu terlihat bahagia walau baru saja dirinya tahu jika selama ini Sandrina lebih dulu tersiksa oleh sikap anak keduanya.
“Aku sudah bilang nggak cinta sama dia. Aku punya pilihanku sendiri. Ayah dan Ibu saja yang memaksa menikahi Sandrina.”
“Nggak cinta, kok hamil.”
Wajah Bastian kini berubah memerah mendengar ucapan spontan sang ibu. Ia mengusap wajah kasar, bagaimana pun memang ia mengatakan hal yang sesungguhnya kalau saat itu dirinya sedang mabuk dan tidak sadarkan diri.
Entah apa yang membuat ia melakukan hal itu, saat terbangun dari tidur sudah melihat Sandrina di samping dan masih terlelap.
“Makanya, taat sama Gusti Allah. Jangan mabuk-mabukan, tapi ibu berterima kasih deh, kalau nggak mabuk seperti itu, nggak akan punya cucu cepat.”
Lagi, penuturan sang ibu membuat Bastian sakit kepala. Bagaimana jika Alika tahu dirinya menghamili Sandrina. Bisa kacau semua urusannya. Bu Hana melenggag ke luar kamar kembali menemui menantu kesayangannya.
Bastian membanting ponsel ke kasur, berulang kali ia menjambak rambutnya yang tak gatal. Dalam hidupnya baru kali ini ia merasa tidak bisa melakukan apa pun dengan tenang. Apalagi saat mengingat Sandrina menatapnya dengan lekat. Seolah-olah, ia tidak bisa berkedip dan berpaling.
“Kenapa aku ini! Sial, sial, sial!”
Bastian terus bergumam kesal mengingat betapa bodohnya saat menerima begitu saja permintaan sang ayah untuk menikahi Sandrina.
***
Sudah tiga gelas kopi dan dua bungkus rokok yang menemani Ferdi dalam kegalauan sore itu. Sengaja ia datang ke kafe di mana salah satu temannya mengisi acara di tempat penuh dengan muda mudi yang sedang kasmaran.
Dimas mengambil gelas kopi ke empat yang akan di sesap Ferdi. Sejak tadi ia memperhatikan teman lamanya itu duduk hanya ditemani kopi dan rokok.
“Nggak biasanya, lagi galau apa bagaimana sultan ini?” Dimas terkekeh memperhatikan wajah Ferdi yang semakin kacau.
“Nggak ada dalam kamus gua galau, tapi kali ini memang gua akui hal itu. Gila aja, gua pikir amanlah, Abang gua nikah sama Sandrina karena gua yakin Bastian nggak suka sama dia. Eh, nyatanya, Sandrina hamil, Bro.”
“Ya, kalau Sandrina hamil, kenapa? Kan ada suaminya, apa jangan-jangan, lu nanam benih juga?” tanya Dimas yang kini menjadi serius.
Ferdi menepuk pundak Dimas cukup keras sampai dia meringis kesakitan. Tidak ada perasaan bersalah Ferdi saat membuat temannya itu kesakitan.
“Gila, pakai hati gua rasa ini. Bukannya lu bilang nggak asik pacaran sama Sandrina, makanya lu selingkuh, kan?”
Ucapan Dimas memang seluruhnya adalah kebenaran. Ferdi merasa bosan karena pacaran jarak jauh dan saat bertemu, mencium bibir saja Sandrina menolak. Pertemuannya dengan wanita selain Sandrina membuatnya melupakan kekasih yang telah lama ia pacari itu.
“Ya, gua nggak bakal tahu kalau akan kejadian seperti ini. Pas dengar dia hamil, dunia gua runtuh, Bro.”
“Ya, sama saja kaya dia saat tahu lu selingkuh. Dunianya pasti lebih kacau dan hancur. Untung saja masih segel,” cerocos Dimas.
Ferdi lagi-lagi membenarkan omongan Dimas. Rasanya seperti menjaga jodoh kakak sendiri dan menyerahkannya saat Bastian sudah siap menikahinya. Semua tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ia sempat berharap Sandrina mau kembali padanya, tapi kenyataannya mantan kekasihnya itu menolak dengan cepat.
“Lu mau jadi pebinor?”
Ferdi bergeming memikirkan ucapan Dimas yang membuat otaknya bekerja sangat cepat.
***
Dimas membuat Ferdi terus berpikir untuk merebut hati Sandrina kali ini. Lagi pula Bastian juga tidak akan marah jika ia mendekati mantan istrinya itu karena sang kakak memiliki kekasih yang sulit ia tinggalkan. Hal itu mempermudah dirinya untuk kembali mendekati Sandrina karena ternyata dirinya masih sangat mencintai mantan kekasihnya itu. Kesalahannya membuat ia menyesal sekian lama. Meninggalkan Sandrina dan memilih wanita yang jauh berbeda darinya. Dengan senyum tipis, Ferdi pamit pada Dimas. Ia melambaikan tangan saat sang teman sedang melayani beberapa tamu. Dimas menanggung melihat Ferdi berjalan ke luar kafe. Sebelum pulang, Ferdi memiliki ide untuk membelikan beberapa barang atau makanan kesukaan Sandrina. Ia masih ingat dengan hal kecil yang menandai kebiasaan mantan kekasihnya. Ferdi membuka pesan masuk, ternyata sejak tadi sang ibu terus berusaha meneleponnya. Ia menarik napas, tangannya membuka cepat pesan masuk dari ibunya. [Cepa
Bastian terus menghubungi Alika, tapi wanita itu sama sekali tidak menjawab teleponnya. Tangan pria itu bermain di ponsel dan mengetik beberapa pesan untuk sang kekasih. Alika masih marah sampai tidak mengangkat panggilan masuk dari Bastian.Pria itu menyimpan ponsel di nakas, wajahnya kesal penuh amarah. Kalau bukan karena sang ibu memintanya pulang, mungkin Alika tidak akan semarah itu. Sungguh buat hatinya menjadi kacau dan kalut.Bastian semakin kesal saat mendengar suara ibunya lantang memanggil. Terdengar kursi berderit saat pria itu beranjak dari duduknya. Gegas ia membuka pintu karena sejak tadi ketukan pintu dan suara ibunya sangat mengganggu.“Ada apa, Bu?” tanya Bastian.“Cepat ganti baju, kita ke Dokter Kandungan.”Bastian melongok karena ia kira tidak jadi mengantar Sandrina. Sang ibu langsung menunggu di ruang tamu, sedangkan Bastian masih berdiri mematung di ambang pintu.Tidak seperti bertemu dengan Al
Bu Hana sudah kembali pulang setelah senang melihat hasil pemeriksaan sang menantu. Rumah itu kembali sepi, hanya tinggal dua orang yang saling diam tanpa kata. Apalagi Bastian yang terlihat jelas tidak mau menunjukkan simpati sama sekali pada Sandrina. Pria itu duduk di balkon sembari menyesap rokok.Sandrina memperhatikan dari kejauhan karena tidak berani mendekat, ada asap rokok yang bisa merusak dirinya. Apalagi ia sedang hamil, harus menjauhi berbagai hal yang membahayakan.Sejak pulang dari rumah sakit, Bastian terlihat sangat cemas. Sandrina sebagai seorang istri pun bisa merasakan apa yang sedang dialami Bastian. Pria itu gelisah, dan seperti ada yang membuatnya tidak fokus.Bastian terbangun dari lamunannya, ia gegas bangkit untuk menemui Alika. Tapi, ia terkesiap melihat Sandrina berdiri tidak jauh dari tempatnya duduk. Merasa diawasi, Bastian menyenggol dengan sengaja hingga Sandrina hampir terjatuh.“Kamu nggak punya hati, aku sampai ham
Dimas menegur Ferdi yang sejak tadi terdiam menatap Alika tanpa berkedip. Dimas berpikir jika temannya terpesona dengan wanita di depannya. Akan tetapi, dugaannya salah. Ferdi bukan terpesona, melainkan dia sedang berpikir apa wanita di hadapannya adalah kekasih sang kakak atau sekadar mirip nama.“Kalian sudah saling kenal?” tanya Dimas.“Belum.” Ferdi cepat menjawab.Dimas memperkenalkan mereka berdua. Keduanya bersalaman, sama halnya dengan Ferdi, Alika pun seperti sangat familier dengan wajah pria di depannya. Alika seperti pernah melihatnya dan ia malah lupa melihatnya di mana.Dimas memesankan minuman untuk Alika, tapi ia pamit sebentar untuk memeriksa dapur. Sementara, Ferdi dan Alika bingung harus bicara apa. Keduanya masih duduk sembari menyaksikan live musik. Sesekali Ferdi memerhatikan Alika, setelah itu ia semakin penasaran apa dia wanita yang membuat Bastian jatuh cinta.“Dari mana?” Pertanyaan basa
Ferdi sama dengan Bastian, pria itu pun terkesiap melihat sang kakak bersama dengan wanita yang sangat ia suka. Begitu juga Alika, hawa panas menyelimuti hatinya melihat Bastian bersama dengan sang istri.Sandrina menatap Ferdi, ia mengenali Alika sebagai Dokter Kandungan yang memeriksa dirinya. Akan tetapi, ia tidak tahu jika wanita itu adalah kekasih sang suami.“Kalian datang ke sini juga? Tumben?” Ferdi menyapa untuk mengurangi rasa gugup.Wajah Bastian sudah tidak bersahabat melihat sang kekasih kini bersama dengan Ferdi. Sejak tadi ia mencoba menghubungkan, ternyata Alika bersama Ferdi dan seperti sedang bersenang-senang.“Nggak usah basa-basi.” Bastian menarik Sandrina menjauh, tapi langkah terhenti saat Ferdi kembali memanggilnya.“Ka, tenang saja. Aku nggak akan mengganggu istrimu lagi, kenalkan calon istriku.”Wajah Alika langsung memerah, sama halnya dengan Bastian yang sejak tadi menatap dengan
“Aw!”Bastian menjerit kala Sandrina menendang keperjakaannya. Peria itu langsung melepas cengkeramannya dan terduduk sembari memegangi yang sakit. Sementara, Sandrina masih menatap bengis pria yang menjadi suaminya itu.“Sakit, kan?”Sandrina kembali tersenyum melihat Bastian yang tak bisa menjawab karena ia sedang merasakan nyeri di sesuatu yang paling berharga baginya. Sang istri tak peduli betapa sakitnya Bastian, sedangkan suaminya itu bersumpah akan membuat Sandrina menyesali perbuatannya kali ini.“Awas, ka—kamu!” Bastian mengucapkan kalimat terbata-bata juga hanya bisa menunjuk Sandrina dengan telunjuknya.“Rasakan, rasa sakit itu nggak sebanding dengan sakitnya hati aku saat suami bercinta denganku, mulutmu masih memanggil namanya!”Akhirnya Sandrina bisa mengutarakan apa yang ia rasakan kali ini. Walau pernikahan mereka berjalan karena perjodohan, bukan berarti Bastian bisa mela
Wajah Bastian memerah mendengar ucapan Sandrina. Entah apa yang merasuki sang istri hingga bisa berbicara seperti itu. Apalagi mengenai hal sensitif mengenai pria. Bastian menggebrak meja, tapi Sandrina tak kaget sama sekali.Sandrina masih terlihat santai, berbeda dengan ia yang dulu. Ia semakin kuat menghadapi Bastian yang berlaku seenaknya pada dirinya.Semenjak kehamilannya, Sandrina bertekad untuk mengembalikan Bastian pada kodratnya. Pria yang seharusnya menjadi suami dan ayah yang bertanggung jawab. Bukan pria yang masih bermain-main dengan wanita lain padahal tahu dirinya akan menjadi seorang ayah.“Anggap saja tidak terjadi sesuatu malam tadi.”“Terserah kamu, aku tidak peduli. Aku mau merapikan baju, ibu akan memesankan aku taxi jam 13.00.”“Sampai kapan?”“Mungkin sampai anak ini lahir.” Sandrina menjawab singkat.Bastian dibuat melongok dengan jawaban asal sang istri. Selama
Alika menarik napas dalam, sudah pasti pria di hadapannya tak bisa menjawab atau memang tak bisa memilih. Harusnya sejak lama mereka berpisah, tapi diri mu ya terllau mencintai Bastian hingga rela menunggu sang kekasih menduda.Bastian terus memutar otak, apalagi saat ia mengingat perkataan sang istri. Kalau ia meninggalkan Sandrina, sudah pasti harta akan jatuh ke tangan calon anaknya karena sesuai perjanjian, jika Bastian menceraikan Sandrina tiba-tiba dan memilih wanita lain, jika sudah memiliki anak, otomatis harta itu jatuh ke darah dagingnya. Jika tidak, akan menjadi milik Sandrina.Pria itu memukul tembok dengan emosi, bagaimana hidupnya begitu sulit dan harus ada pilihan. Lagi, ucapan Sandrina terngiang di kepalanya. Belum tentu Alika menerimanya saat ia jatuh miskin. Dia seorang Dokter dan mudah mendapatkan pria yang ia mau, termaksud sang adik.“Aku tahu kamu tak akan bisa memilih karena kamu memang sudah mencintai wanita itu. Lebih baik kamu per