Sandrina tersadar dari pingsannya. Bu Hana segera memberikannya teh hangat dan Bibi Asih membantu mengompres luka lebam di pipi Sandrina. Wajah cantik itu kini sedikit berbeda dengan pipi yang membiru akibat salah sasaran dari Bastian.
Bu Hana membantu Sandrina duduk, ia sebenarnya ingin tahu apa yang sebenarnya tidak ia ketahui tentang kedua anaknya juga menantu kesayangannya.
“Maafkan Bastian, dia tidak sengaja memukul kamu. Sebenarnya, apa yang tidak ibu ketahui. Apa sebelumnya kamu dan Ferdi sudah saling mengenal?” tanya Bu Hana.
Sandrina terkesiap, ia berpikir apa yang terjadi saat dirinya pingsan hingga Bu Hana bertanya seperti itu.
“San, kenapa kamu tidak menjawab ibu?” Lagi, pertanyaan sang mertua membuat Sandrina terbangun dari lamunannya.
Sandrina gugup, sebelumnya tidak ada yang tahu tentang hubungan Ferdi dengannya sebelum ia menikah dengan Bastian.
“A—aku—“ Sandrina menatap ibu mertuanya lekat.
“Katakan saja pada Ibu kalau kau dan Ferdi pernah saling berhubungan. Dan jangan-jangan, anak kau akui sebagai anakku adalah anak Ferdi,” ujar Bastian yang tiba-tiba datang.
“Cukup, Mas. Ini anak kamu, aku dan Ferdi memang pernah saling berhubungan. Tapi, tidak sejauh yang kamu pikirkan.” Sandrina memberanikan diri berteriak pada Bastian.
Bu Hana mulai pucat, wanita itu tidak menyangka jika menantunya adalah wanita yang sempat ia tolak sebelum melihatnya.
“Ka—kamu, pernah berpacaran dengan Ferdi?” tanya Bu Hana.
“Iya, tapi Ferdi meninggalkan aku tanpa kejelasan. Aku pun tidak tahu jika pria yang di jodohkan Ayahku adalah saudara kandung Ferdi,” ujar Sandrina.
Bastian terus saja menatap penuh kebencian pada Sandrina. Apa yang dipikirkan pria itu adalah kalau bukan kehadiran Sandrina, dirinya akan tetap bersama dengan Alika. Menikah dengan Sandrina adalah keputusan sang ayah yang membuat wasiat sebelum ia meninggal.
“Kenapa kamu tidak cerita, San.”
“Untuk apa, Bu. Aku sudah melupakannya sebelum menikah dengan Mas Bastian.”
Bastian melangkah pergi dari ruang itu. Ia pun mencari Ferdi, tapi pria itu tak terlihat batang hidungnya. Jika Ferdi sebelumnya menikahi Sandrina, mungkin dirinya tak akan terperangkap dalam pernikahan dengan wanita yang tak disukainya.
Bu Hana menggenggam tangan Sandrina. “Apa kamu wanita yang berada di kelab malam saat ayah Bastian mencari Ferdi?”
Sandrina mengerutkan dahi. Ia yakin yang di maksud sang ibu adalah Resti, selingkuhan Ferdi yang bekerja sebagai DJ di sebuah kelab malam dan juga wanita penghancur hubungannya.
“Bukan aku, aku tidak pernah pergi ke tempat itu. Bahkan aku, sibuk menjaga ibuku saat ia sakit.”
“Kalau bukan kamu, lalu siapa?”
“Ferdi menjalin hubungan denganku cukup lama. Kami LDR, Bu karena Ferdi ke luar kota untuk bekerja di sana. Setelah itu, kami hanya saling telepon dan bertemu sebentar.”
Bu Hana tidak menyangka kejadian seperti itu. Ia sudah cukup pusing dengan keadaan di mana Bastian selalu meminta sang ibu mengurus perceraiannya.
“Aku tidak akan menyerah, Bu. Mas Bastian adalah suamiku. Tidak ada wanita lain yang bisa merebutnya dariku, termaksud Alika.”
“Bagus, Nak. Bastian suamimu, rebut dia walau harus berjuang dengan sekuat tenaga.”
Sandrina kini seperti mendapat kekuatan untuk mempertahankan harga dirinya sebagai seorang istri. Sejak menikah dengan Bastian, hidupnya seperti dalam neraka. Hinaan dan cacian tak lepas dari kesehariannya. Belum lagi saat Bastian sedang menelepon mesra sang kekasih.
***
Bastian memarkirkan mobil di sebuah kafe. Pria itu gegas masuk karena sudah telah dua jam dan Alika sejak tadi tak henti meneleponnya. Ia melihat wanita cantik dengan rambut ikal hitam yang membuatnya sangat cantik. Tangan Alika mengaduk-aduk kesal gelas di depannya.
Netra Alika tertuju pada pria berbaju hitam di depannya. Senyum manis Bastian tak bisa membuat senyum di bibir Alika kembali.
“Maaf, ada hal yang membuat aku sulit keluar,” ujar Bastian.
“Pasti si cewek kampung itu, kan?” Alika merajuk.
“Iya, ada Ibu. Jadi, aku pergi diam-diam.”
Bastian menggenggam tangan Alika, ia menatap netra kekasihnya itu dengan sendu. Pria itu berharap melihat kembali senyum di bibir tipisnya. Alika adalah salah satu Dokter di rumah sakit swasta.
“Aku sudah mengambil libur, sedangkan kamu seolah-olah tidak menghargai usaha aku untuk mencari waktu bersama kamu.”
“Maaf, ada saja ulah Sandrina yang membuat aku sulit untuk ke luar. Apalagi ibu datang tiba-tiba,” tutur Bastian.
Bastian kembali membujuk Alika dengan berbagai janji. Tidak lama senyum itu mengembang di bibir tipis sang kekasih. Akhirnya, luluh juga hati Alika yang beberapa menit sulit di taklukkan.
“Kita belanja, mau?” tanya Bastian lagi.
“Boleh,” jawab Alika dengan senyum mengembang.
Saat Bastian menawarkan untuk berbelanja, Alika seolah-olah melupakan kemarahannya dan juga status Bastian yang suami orang. Mereka berpindah ke sebuah mal tidak jauh dari kafe itu.
Bastian berulang kali melihat panggilan di ponselnya. Ia kembali menaruh di saku karena melihat nama sang ibu di layar benda pipih itu. Sudah pasti Sandrina mengatakan hal yang membuat dirinya di telepon.
“Sayang, sepertinya aku nggak lama. Ibu terus menelepon, nggak masalah, kan?”
Alika menghentikan langkah, ia menoleh ke Bastian yang sejak tadi tidak tenang.
Pasalnya ia tahu jika sang ibu marah, semua akan hancur. Apalagi harta yang menjadi miliknya terpaksa berpindah ke panti jompo sesuai wasiat yang dituliskan sang ayah.
Bagaikan memakan buah simalakama, jika tidak pulang saat itu juga, ibunya pasti murka. Namun, sebaliknya jika ia kembali pulang, Alika lah yang akan mengamuk. Bahkan, bisa membuat dirinya tidak bisa tidur berhari-hari.
“Kamu itu bagaimana, sih. Kamu lupa, saat meminta izin menikah dengan wanita kampung itu. Kamu bilang, seluruh waktumu nggak akan hilang untuk aku. Tapi apa nyatanya, hari beberapa jam ketemu saja sudah mau pulang. Mau kamu apa, sih, Bas?”
“Ya, aku tahu. Aku nggak akan lupa hal itu, Sayang. Ya, ini ibu yang memanggil, dia sedang di rumah.”
Alika kembali masam mendengar penjelasan Bastian. Tidak mungkin ia menjelaskan semua harta akan hilang jika ia bercerai dan memilih dirinya. Kepalanya semakin mumet, belum lagi mengingat Ferdi yang masih berkeliaran di rumahnya.
“Terserah kamu, silakan pergi dan jangan harap bisa bertemu aku lagi!”
Bastian tercengang mendengar ucapan Alika. Seperti yang sudah dibayangkan saat menikah dengan Sandrina, hubungan mereka tidak akan membuat drama FTV. Ini bukan pilihan, tapi suatu keharusan memilih antara harta dan cinta.
“Kamu diam? Berarti kamu nggak mau mempertahankan aku! Oke, baiklah!”
Bastian bergeming saat punggung Alika menghilang dari pandangannya. Ia tak bisa membohongi hatinya, memilih pun ia tak akan bisa.
"Apa harus melawan ibuku?"
***
Bastian membantu Sandrina beranjak dari lantai walau dengan tangan satu terinfus. Ia panik karena sejak tadi sang istri memegangi perutnya. Bastian mencoba mengelus perut Sandrina agar lebih tenang.“Bu, periksa ke Dokter Kandungan saja,” ujar Bastian.“Enggak apa-apa, Mas. Ini hanya keram sedikit saja nanti hilang,” tolak Sandrina.“Kamu bilang enggak ada masalah, memang kamu bisa lihat anak kamu di dalam? Aku enggak mau tahu, nanti aku temani kamu ke Dokter Kandungan,” ucap Bastian memaksa lagi.“Bas, biar ibu saja. Kamu tetap di kamar, istirahat.” Bu Hana memerintahkan Bastian untuk tak pergi ke mana-mana.Bastian malah mencemaskan Sandrina, bukan dirinya. Melihat sang istri kesakitan ia merasa sangat bersalah karena tak bisa melakukan apa pun. Seperti yang di katakan sang ibu, Sandrina pun di ajak ke Dokter Kandungan.Sepertinya Sandrina, ia menatap sekeliling. Ia merasa betapa bodohnya selama ini telah menyia-nyiakan wanita seperti Sandrina. Matanya tertutup oleh cinta buta pada
Kondisi Bastian belum stabil, ia masih tertidur akibat obat bius yang diberikan oleh Dokter. Sandrina begitu cemas dengan kondisi sang suami yang menghawatirkan. Sepetinya Bastian mencoba mengingat beberapa kenangannya. Namun, bukan pulih malah membuat ia merasa kesakitan hingga pingsan.“Fer, Nit, kian pulang saja. Istirahat,” ujar sang ibu.“Ibu bagaimana,” tanya Ferdi.“Ibu menemani Sandrina. Kalian pulang saja, bagaimana?”“Kalau itu yang ibu mau, kita istirahat dan nanti gantian saja.”Bu Hana setuju, Ferdi langsung mengajak Anita pulang karena ia merasa sang istri sudah sangat lelah. Anita pun terlihat memang sangat pucat, mungkin efek kurang tidur sampai membuat mata panda di kantung mata.“Kamu mau makan dulu apa nanti di rumah?” tanya Ferdi.“Di rumah saja, aku lelah,” ujar Anita.Ferdi pun langsung mengikuti langkah sang istri untuk pulang. Sudah beberapa hari ia mengurusi masalah sang kakak dan lupa dengan kebahagiaannya sendiri. Apalagi sampai lupa dengan kesehatan Anita y
Dimas memegangi pipinya yang terkena hantam Bastian. Sementara, Bastian sudah sejak tadi sudah tak tenang mendengar penjelasan Dimas.Bastian benar-benar kecewa dengan Alika. Wanita itu sudah membuat hidupnya kacau. Apalagi saat dia datang dan mengaku hamil anaknya. Tangis Alika pecah saat Dimas menceritakan semua. Kekhilafan dirinya hingga bisa hamil anaknya Dimas.“Berengsek!” teriak Bastian.Ferdi menahan sang kakak yang begitu emosi. Bastian geram karena ulah Alika juga murka dengan apa yang mereka berdua lakukan. Ferdi menahan Bastian kembali karena ia hampir saja menghantam Dimas.“Aku tidak salah karena ingin bertanggungjawab saat itu. Hamil atau tidaknya Alika, tapi dari menolak. Awalnya aku tidak tahu kalau Ferdi tak bercerita tentang ulah Alika. Dari sana, aku curiga dan memutuskan menemui Alika. Dia berlari hingga jatuh dan keguguran.”“Bohong, dia bohong!” pekik Alika histeris.“Cukup, jangan mengelak Alika!” Dimas tak kalah bersuara.Bastian memegangi kepalanya yang teras
Saat sampai di rumah, Bastian di kagetkan dengan kedatangan Alika yang sudah menunggunya sejak tadi. Wanita itu sempat menghilang, tapi datang kembali dan membuat pria itu begitu terkejut.Sepintas ia menoleh ke arah Sandrina yang sudah merenggut. Ingin rasanya langsung menenangkan sang istri. Akan tetapi, ada Alika yang sejak tadi menatapnya.“Sayang, aku nungguin kamu. Kamu baru pulang?” Alika langsung mendekat dan menyingkirkan Sandrina.“Kamu jangan kasar sama Sandrina dia sedang hamil.” Sergah Bastian.Alika menganga mendengar Sandrina di bela Bastian. Kesal mendengar hal itu, Alika pun menarik Bastian untuk berdiri di sampingnya.“Heh, kamu itu jangan bikin ulah. Terjadi sesuatu sama calon cucu saya, saya buat hidup kamu menderita,” ancam Bu Hana.“Bu, sudah. Biar aku bicara dengan Alika dulu.”“Aku hamil, kamu ikutan hamil. Jangan-jangan kamu hamil bohongan untuk menarik simpati Bastian,” cecar Alika.“Heh, kamu tuh yang hamil pura-pura. Coba cek saja kalau memang kamu benar ha
Bastian memukul kaca mobil dengan kesal, ia merasa kali ini sangat mencemaskan Sandrina. Namun, ia masih bingung bagaimana bisa ia begitu mencemaskan sang istri. Apalagi dulu dirinya sangat mencintai Alika.“Apa yang di perbuat Sandrina sampai aku merasa sangat takut kehilangan dia!”Sandrina terlihat menghampirinya, Bastian pura-pura biasa kembali. Bastian kembali cemas saat sang istri seperti memegangi keningnya.“Kamu sakit?” tanya Bastian.“Harusnya aku yang tanya sama kamu, kamu sakit atau otak kamu habis kepentok apa? Tiba-tiba menjadi baik sama aku. Lalu, mengakui aku di depan umum,” ujar Sandrina.“Eh, itu, aku hanya enggak suka lihat kamu di perlakukan seperti pesuruh. Kamu ini istri aku, jadi tidak ada yang boleh memperlakukan kamu seperti itu. Lagi pula kamu lagi hamil, mengerti?”Sandrina langsung memeluk sang suami. Tidak peduli di tempat umum, sedangkan Bastian merasa risi mendapat perlakuan dari Sandrina. Ia berusaha melepaskan tangan sang istri dari tubuhnya.“Aduh, ka
“Pergi kamu!” teriak Alika.Alika begitu syok saat ia mengalami keguguran. Hal itu membuat dirinya gagal dinikahi Bastian jika pria itu tahu sudah tak ada janin di dalam kandungannya. Alika menyalahkan Dimas yang tiba-tiba saja menandatangani surat untuk melakukan operasi.“Lik, harusnya kamu sadar, kamu seorang dokter kandungan dan pasti tahu kalau bayi itu enggak akan bisa terselamatkan dan harus di keluarkan. Lagi pula, untuk apa kamu pertahankan kalau kamu tak meminta pertanggung jawaban aku?” tanya Dimas.Alika bergeming, Dimas tidak tahu kalau ia mempergunakan kandungannya untuk menipu Bastian dan keluarganya. Jika ia keguguran, maka tidak ada pernikahan yang akan terjadi di antara keduanya.“Itu bukan urusan kamu.” Alika kembali emosi dengan apa yang ditanyakan Dimas.“Itu menjadi urusan aku. Itu anak aku, kan?” tanyanya lagi.Alika memalingkan wajah, tidak mungkin ia menjawab anaknya Bastian. Pria itu tidak akan mungkin percaya dan malah akan bertanya pada Bastian. Apalagi ked