Share

Dua

Sandrina tersadar dari pingsannya. Bu Hana segera memberikannya teh hangat dan Bibi Asih membantu mengompres luka lebam di pipi Sandrina. Wajah cantik itu kini sedikit berbeda dengan pipi yang membiru akibat salah sasaran dari Bastian.

Bu Hana membantu Sandrina duduk, ia sebenarnya ingin tahu apa yang sebenarnya tidak ia ketahui tentang kedua anaknya juga menantu kesayangannya.

“Maafkan Bastian, dia tidak sengaja memukul kamu. Sebenarnya, apa yang tidak ibu ketahui. Apa sebelumnya kamu dan Ferdi sudah saling mengenal?” tanya Bu Hana.

Sandrina terkesiap, ia berpikir apa yang terjadi saat dirinya pingsan hingga Bu Hana bertanya seperti itu.

“San, kenapa kamu tidak menjawab ibu?” Lagi, pertanyaan sang mertua membuat Sandrina terbangun dari lamunannya.

Sandrina gugup, sebelumnya tidak ada yang tahu tentang hubungan Ferdi dengannya sebelum ia menikah dengan Bastian.

“A—aku—“ Sandrina menatap ibu mertuanya lekat.

“Katakan saja pada Ibu kalau kau dan Ferdi pernah saling berhubungan. Dan jangan-jangan, anak kau akui sebagai anakku adalah anak Ferdi,” ujar Bastian yang tiba-tiba datang.

“Cukup, Mas. Ini anak kamu, aku dan Ferdi memang pernah saling berhubungan. Tapi, tidak sejauh yang kamu pikirkan.” Sandrina memberanikan diri berteriak pada Bastian.

Bu Hana mulai pucat, wanita itu tidak menyangka jika menantunya adalah wanita yang sempat ia tolak sebelum melihatnya.

“Ka—kamu, pernah berpacaran dengan Ferdi?” tanya Bu Hana.

“Iya, tapi Ferdi meninggalkan aku tanpa kejelasan. Aku pun tidak tahu jika pria yang di jodohkan Ayahku adalah saudara kandung Ferdi,” ujar Sandrina.

Bastian terus saja menatap penuh kebencian pada Sandrina. Apa yang dipikirkan pria itu adalah kalau bukan kehadiran Sandrina, dirinya akan tetap bersama dengan Alika. Menikah dengan Sandrina adalah keputusan sang ayah yang membuat wasiat sebelum ia meninggal.

“Kenapa kamu tidak cerita, San.”

“Untuk apa, Bu. Aku sudah melupakannya sebelum menikah dengan Mas Bastian.”

Bastian melangkah pergi dari ruang itu. Ia pun mencari Ferdi, tapi pria itu tak terlihat batang hidungnya. Jika Ferdi sebelumnya menikahi Sandrina, mungkin dirinya tak akan terperangkap dalam pernikahan dengan wanita yang tak disukainya.

Bu Hana menggenggam tangan Sandrina. “Apa kamu wanita yang berada di kelab malam saat ayah Bastian mencari Ferdi?”

Sandrina mengerutkan dahi. Ia yakin yang di maksud sang ibu adalah Resti, selingkuhan Ferdi yang bekerja sebagai DJ di sebuah kelab malam dan juga wanita penghancur hubungannya.

“Bukan aku, aku tidak pernah pergi ke tempat itu. Bahkan aku, sibuk menjaga ibuku saat ia sakit.”

“Kalau bukan kamu, lalu siapa?”

“Ferdi menjalin hubungan denganku cukup lama. Kami LDR, Bu karena Ferdi ke luar kota untuk bekerja di sana. Setelah itu, kami hanya saling telepon dan bertemu sebentar.”

Bu Hana tidak menyangka kejadian seperti itu. Ia sudah cukup pusing dengan keadaan di mana Bastian selalu meminta sang ibu mengurus perceraiannya.

“Aku tidak akan menyerah, Bu. Mas Bastian adalah suamiku. Tidak ada wanita lain yang bisa merebutnya dariku, termaksud Alika.”

“Bagus, Nak. Bastian suamimu, rebut dia walau harus berjuang dengan sekuat tenaga.”

Sandrina kini seperti mendapat kekuatan untuk mempertahankan harga dirinya sebagai seorang istri. Sejak menikah dengan Bastian, hidupnya seperti dalam neraka. Hinaan dan cacian tak lepas dari kesehariannya. Belum lagi saat Bastian sedang menelepon mesra sang kekasih.

***

Bastian memarkirkan mobil di sebuah kafe. Pria itu gegas masuk karena sudah telah dua jam dan Alika sejak tadi tak henti meneleponnya. Ia melihat wanita cantik dengan rambut ikal hitam yang membuatnya sangat cantik. Tangan Alika mengaduk-aduk kesal gelas di depannya.

Netra Alika tertuju pada pria berbaju hitam di depannya. Senyum manis Bastian tak bisa membuat senyum di bibir Alika kembali.

“Maaf, ada hal yang membuat aku sulit keluar,” ujar Bastian.

“Pasti si cewek kampung itu, kan?” Alika merajuk.

“Iya, ada Ibu. Jadi, aku pergi diam-diam.”

Bastian menggenggam tangan Alika, ia menatap netra kekasihnya itu dengan sendu. Pria itu berharap melihat kembali senyum di bibir tipisnya. Alika adalah salah satu Dokter di rumah sakit swasta.

“Aku sudah mengambil libur, sedangkan kamu seolah-olah tidak menghargai usaha aku untuk mencari waktu bersama kamu.”

“Maaf, ada saja ulah Sandrina yang membuat aku sulit untuk ke luar. Apalagi ibu datang tiba-tiba,” tutur Bastian.

Bastian kembali membujuk Alika dengan berbagai janji. Tidak lama senyum itu mengembang di bibir tipis sang kekasih. Akhirnya, luluh juga hati Alika yang beberapa menit sulit di taklukkan.

“Kita belanja, mau?” tanya Bastian lagi.

“Boleh,” jawab Alika dengan senyum mengembang.

Saat Bastian menawarkan untuk berbelanja, Alika seolah-olah melupakan kemarahannya dan juga status Bastian yang suami orang. Mereka berpindah ke sebuah mal tidak jauh dari kafe itu.

Bastian berulang kali melihat panggilan di ponselnya. Ia kembali menaruh di saku karena melihat nama sang ibu di layar benda pipih itu. Sudah pasti Sandrina mengatakan hal yang membuat dirinya di telepon.

“Sayang, sepertinya aku nggak lama. Ibu terus menelepon, nggak masalah, kan?”

Alika menghentikan langkah, ia menoleh ke Bastian yang sejak tadi tidak tenang.

Pasalnya ia tahu jika sang ibu marah, semua akan hancur. Apalagi harta yang menjadi miliknya terpaksa berpindah ke panti jompo sesuai wasiat yang dituliskan sang ayah.

Bagaikan memakan buah simalakama, jika tidak pulang saat itu juga, ibunya pasti murka. Namun, sebaliknya jika ia kembali pulang, Alika lah yang akan mengamuk. Bahkan, bisa membuat dirinya tidak bisa tidur berhari-hari.

“Kamu itu bagaimana, sih. Kamu lupa, saat meminta izin menikah dengan wanita kampung itu. Kamu bilang, seluruh waktumu nggak akan hilang untuk aku. Tapi apa nyatanya, hari beberapa jam ketemu saja sudah mau pulang. Mau kamu apa, sih, Bas?”

“Ya, aku tahu. Aku nggak akan lupa hal itu, Sayang. Ya, ini ibu yang memanggil, dia sedang di rumah.”

Alika kembali masam mendengar penjelasan Bastian. Tidak mungkin ia menjelaskan semua harta akan hilang jika ia bercerai dan memilih dirinya. Kepalanya semakin mumet, belum lagi mengingat Ferdi yang masih berkeliaran di rumahnya.

“Terserah kamu, silakan pergi dan jangan harap bisa bertemu aku lagi!”

Bastian tercengang mendengar ucapan Alika. Seperti yang sudah dibayangkan saat menikah dengan Sandrina, hubungan mereka tidak akan membuat drama FTV. Ini bukan pilihan, tapi suatu keharusan memilih antara harta dan cinta.

“Kamu diam? Berarti kamu nggak mau mempertahankan aku! Oke, baiklah!”

Bastian bergeming saat punggung Alika menghilang dari pandangannya. Ia tak bisa membohongi hatinya, memilih pun ia tak akan bisa.

"Apa harus melawan ibuku?" 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status