Bahu Mira ada yang menepuk dari belakang. Mira menoleh kebelakang, ia melihat seorang wanita yang sudah baya tengah tersenyum padanya.Wajahnya teduh menenangkan. Mira tak mengenalnya, ia baru kali pertama bertemu dengannya."Maaf ibu siapa?" tany Mira sambil mengerutkan keningnya."Sebaiknya jangan berkendara ketika hati sedang emosi, akan sangat berbahaya," Ibu itu menasehati Mira.Mira tersenyum, ia tahu akan hal itu. Tapi, apa pedulinya dengan semua ini, toh apa pun yang terjadi padanya tak akan ada yang peduli. Bahkan hidup dan matinya pun sudah tak ada yang perduli lagi. jadi untuk apa ia harus takut akan terjadi sesuatu yang tak diinginkan."Aku tak perduli dengan hidup dan matiku, toh tidak akan ada yang menangisi kepergianku!" sarkas Mira."Jangan begitu Nak! Tak baik berputus asa. Ikut dengan Ibu yuk!" ajak wanita baya itu. Ia menggandeng lembut lengan Mira, mengajaknya pergi dari halaman rumah Mira yang luas dan rimbun oleh pepohonan yang ia tanam dengan kedua tangannya sen
Mata Mira berbinar cerah ketika melihat taman belakang Carolina. Di sana banyak tanaman hias berupa bunga-bunga cantik yang langka."Wah indah banget! Bunganya cantik-cantik," Senyum Mira merekah seperti bunga yang baru mekar."Kamu suka?" tanya Carolina."Suka! Suka sekali!" Mira begitu antusias menjawab pertanyaan Carolina. "Anggrek Cataleya juga ada di sini. Anggrek Hartinah, Anggrek Hitam, Anggrek Larat, Anggrek Bulan, Anggrek Pensil juga ada. Wah ada Ghost Orchid juga, keren!" Mira terus berkeliling sambil terus meneriakan satu persatu nama tanaman yang ia temui."Ibu suka koleksi bunga?" tanya Mira tanpa berpaling dari menatap bunga-bunga yang nampak begitu mengagumkan baginya yang penyuka berbagai jenis bunga.Tapi, Mira lebih suka jenis mawar."Iya. Putra Ibu yang membawakannya. Dia juga berencana untuk membangun rumah kaca untuk Ibu," Carolina menghampiri Mira."Benarkah?" Mira begitu senang mendengarnya.Ia juga pernah mengungkapkan keinginannya untuk membuat rumah kaca pad
Tak terasa senja pun tiba, matahari perlahan meninggalkan peraduannya membenamkan diri dalam pekatnya malam. Mira yang merasa cukup lama berada di rumah Carolina pun berpamitan. "Maaf sudah menganggu Ibu terlalu lama, keasyikan mengobrol sampai lupa diri. Begitu sadar sudah senja," Mira tersenyum canggung merasa tak enak hati. "Tak apa. Ibu senang ada teman ngobrol, kalau tidak sibuk sering-seringlah mampir untuk main ke mari," pinta Carolina pada Mira. "Kalau Ibu tak keberatan dengan senang hati," Mira tersenyum bahagia, kali ini ia punya teman curhat selain Dara. "Kalau begitu, aku pamit ya Bu," Mira menyodorkan tangannya untuk bersalaman, lalu mencium tangan Carolina takzim. Carolina senang dengan prilaku Mira yang sopan dan santun, ia bergumam dalam hatinya, "seandainya kamu tak berjodoh dengan Alan ..., ish. Apaan sih kok malah mendoakan yang tidak baik sih." Mira pulang ke rumahnya, ia lihat sudah sepi. Rupanya acara pernikahan kedua Alan sudah usai. Mira mengucap salam lir
Mira merasa lelah dengan semua ini, ia membersihkan tubuhnya dengan berendam di bath tub dengan menambahkan aroma esensial yang menenangkan. Ia menenangkan diri, matanya terpejam. Satu jam sudah ia berendam, akhirnya Mira menyudahinya. Mira mengenakan baju tidur panjangnya. Mira memutuskan untuk tidur dan tidak makan malam bersama mereka, terlalu malas baginya berkumpul satu meja dengan orang-orang yang telah menyakiti hatinya. Ia putuskan besok akan menemui pengacara yang telah ia tunjuk dan bersiap untuk melayangkan gugatan cerainya. Mira memejamkan matanya menyambut mimpi yang semoga indah tak seperti kenyataan hidupnya yang harus di madu dan satu atap dengan madunya itu. Pagi pun datang, Mira yang terlalu malas untuk beranjak dari tempat tidurnya, ia kembali menarik selimut bulunya hingga sebatas dada. dan kembali bergelung selimut memeluk bantal gulingnya dan memejamkan matanya. Gedoran di pintu membuyarkan mimpinya, Mira mendengus kesal. 'siapa juga yang pagi-pagi begini me
Alan meninju tepat di pelipis Mira, hingga ia terhuyung kesamping dan ambruk akibat kepalanya terlalu pusing akibat mendapatkan tinju dari Alan. Mira bersimpuh di lantai kamarnya dengan memegangi kepalanya yang terasa menggenyer akibat pukulan Alan, Mira tersenyum sinis ke arah Alan. "Inikah kamu yang sesusungguhnya Mas?" tanya Mira sembari tersenyum sinis. "Mira, maafkam aku," sesal Alan. Alan berjongkok di hadapan Mira, ia mengulurkan tangannya hendak menyentuk kepala Mira, tapi, Mira tepis. "Jangan sentuh aku, Mas!" "Mira, sungguh maafkan aku!" "Maaf katamu Mas? Semudah itu kamu mengutarakannya? Tidakkah kamu berpikir akibat dari perbuatanmu padaku? Aku bisa melaporkanmu atas tindak kekerasan dalam rumah tangga," "Kamu tega Mira?" "Kenapa tak tega? Kamu saja tega memukulku tanpa belas kasih!" Mira berusaha untuk berdiri, ia tak mempedulikan rasa pening di kepalanya. Mira menyambar tas sling merek terkenal milik sebuah perusahaan brand ternama berlogo GC. Miya yang ada di
"My Love?" Mira merasa heran dengan nama kontak yang ada di layar ponselnya, ia tak pernah menyimpan kontak yang bernama My Love. "Ada apa?" tanya Dara heran ketika melihat sahabatnya beberapa kali mengernyitkan dahinya. "Tidak!" jawab Mira berbohong. "Jangan bohong, aku tahu siapa kamu!" sentak Dara. "Kapan aku bisa menyembunyikan rahasia darimu?" ucap Mira berpura-pura sedih. Lalu ia menyodorkan ponselnya pada Dara. "My Love?" tanya Dara, lalu tawanya pecah. Ia menganggap Mira tengah membuat lelucon yang lucu. "Kenapa tertawa?" tanya Mira. "Siapa dia, Alan?" tanya Dara, sambil tersenyum mengejek. "Bukan!" jawab Mira sambil menggelengkan kepalanya. "Lalu?" "Aku juga tidak tahu siapa dia?" Ponsel Mira kembali berdering, masih kontak yang sama. Dara meminta Mira untuk mengangkatnya. "Angkat!" perintah Dara. Mira mengankat telepon itu, "halo!" "Temani aku sarapan!" perintah orang tersebut. "Aku tidak bisa!" jawab Mira tegas. "Jangan menolak, kamu lupa ya kalau masih ber
Akhirnya Miya masak sendiri makanan untuk suaminya Alan sambil terus menggerutu. "Sialan Mira! Kenapa juga pintunya pakai di kunci segala. Ibu juga malah ikut-ikutan tidur, huh dasar orang-orang tak berguna!" gerutunya. Akhirnya setelah ia penuh perjuangan dalam menyelesaikan masakannya, akhirnya terhidanglah sebuah masakan yang menurutnya begitu sempurna. "Wah cantik juga telor ceploknya, dan mie rebus ini juga matang sempurna," Miya memandang masakannya dengan penuh kekaguman. Dengan senyum yang merekah, Miya memanggil suaminya untuk makan. "Sayang, ayo makan!" ajak Miya. "Sudah siap makanannya, sayang?" tanya Alan, ia merangkul bahu Miya penuh kasih sayang. "Sudah, mari kita turun. Nanti keburu dingin tidak enak!" ajak Miya. Alan dan Miya menuruni anak tangga dengan bergandengan tangan, mereka terlihat begitu mesra. Bak sepasang kekasih yang baru saja jadian. Alan menarik kursi meja makan dan duduk, begitu pun dengan Miya, ia duduk di samping Alan. Miya menyendokan makanan
Mira pergi keluar rumah meninggalkan mereka yang sedang memperebutkan uang jatah harian. Mira mengendarai mobil mewahnya menembus padatnya jalanan kota Metropolitan.Mira menuju ke cafenya sebelum melanjutkan perjalanannya ke kantor pengacaranya. Ia ingin mengecek cafe miliknya."Pagi Bu," sapa para karyawan Cafe."Pagi," jawab Mira sambil tersenyum. Ia berusaha untuk profesional dengan tidak mencampur adukan urusan rumah tangganya dengan pekerjaan.Mira masuk ke dalam kantornya yang ada di lantai atas, ia meminta Jena untuk datang ke kantornya."Jena, nanti ke kantor!" perintah Mira pada gadis yang berkaca mata itu."Baik Bu," jawab Jena santun.Jena pun menyusul Mira naik ke atas dan mengetuk pintu kantor milik bosnya.Tok! ... Tok!"Masuk!" jawab Mira dari dalam kantornya."Permisi Bu," Jena menyodorkan sebuah map berwarna biru terang ke hadapan Mira.Lalu Mira pun memeriksanya. Di dalam map itu ada tertulis laporan bulanan dan bahan-bahan yang harus di beli. Dulu, pekerjaan itu ya