Share

SOSOK AYAH

“Pak.. Kenapa Pak Setya ada di sini?” tanya Eveline gugup. Keringat dingin yang membasahi kulit kepalanya sudah mulai terasa.

Ada rasa panik dan takut yang tiba-tiba menggerayangi kulit Eveline.

Eveline penasaran mengapa tiba-tiba gurunya menghampiri siswi yang sakit. Karena apa yang dilakukan Pak Setya adalah bukan hal yang biasa.

“Kenapa memangnya? Kalau murid saya ada yang sakit, apa saya nggak boleh jenguk? Penyakit maag kamu kambuh saat pelajaran saya. Tentu saja secara nggak langsung saya juga bertanggung jawab,” jawab Pak Setya ringan. Kedua kakinya mulai membawanya berkeliling ruangan UKS yang luasnya hanya setengah dari ruang kelas.

Langkah kakinya tenang dan lamban.

Diperhatikannya satu persatu poster kesehatan dan alat-alat kesehatan yang di tata rapi di sebuah almari kecil. Tangannya mulai memeriksa apakah setiap alat berfungsi dengan baik atau tidak.

“Terima kasih, Pak. Tapi, Pak Setya nggak perlu repot-repot. Sebentar lagi juga sakit maag saya sembuh,” ucap Eveline lagi.

Sret.

Tap ..

Tap ..

Tiba-tiba, Pak Setya membalikkan badannya dan melangkah mendekati ranjang yang ditiduri Eveline. Menatap wajah gadis cantik yang lemah terkulai di atas tempat tidur.

Pak Setya mendudukkan dirinya di kursi yang semula digunakan Mas Saga. Kursi yang ada di samping ranjang Eveline.

“Saya sama sekali nggak kerepotan, kok. Justru saya senang kalau kamu minta bantuan sama saya,” jawab Pak Setya tiba-tiba.

Ucapan itu terdengar begitu aneh. Tidak biasanya seorang guru akan sebegitu baik dan perhatian kepada muridnya yang sedang sakit. Di samping perasaan curiga dan was-was, Eveline berusaha tetap menghargai setiap niat baik Pak Setya.

“Kamu mau saya belikan sesuatu? Kebetulan saya mau keluar sebentar beli rokok. Siapa tahu, kamu mau titip makanan. Kamu nggak perlu buru-buru ke kelas. Saya akan tetap masukkan nama kamu ke dalam presensi kehadiran. Saya juga akan bebaskan kamu dan teman-teman kamu dari tugas matematika minggu ini. Sampai kamu sembuh,” papar Pak Setya.

Entah apa yang merasuki Pak Setya hingga dia bisa mengatakan hal itu.

Eveline bukanlah anak ratu yang harus diperlakukan spesial seperti itu.

Dilihatnya, sesekali Pak Setya menampilkan senyum lembut yang hangat. Sikapnya yang halus, membuat Eveline sekelebat teringat akan ayahnya yang hobi mabuk-mabukkan.

Sangat berbeda dengan perangai Pak Setya yang sangat peduli. Bahkan, Eveline merasa dirinya diperlakukan lebih dari seorang murid. Lebih seperti anaknya sendiri. Anak kesayangan yang tidak diizinkan untuk terluka atau sakit sedikit pun.

Seketika itu, hati Eveline menjadi sedikit hangat. Rasa curiga dan was-was kepada Pak Setya seketika berkurang.

“Nggak perlu, Pak. Saya baik-baik saja, kok. Nanti saya akan kembali ke kelas kalau perut saya sudah mendingan,” jawab Eveline.

Pak Setya melipat kedua tangannya. Matanya seketika sayu.

“Andai saja kamu jadi anak saya. Saya pasti bisa melindungi kamu 24 jam. Pasti kamu nggak akan sakit seperti ini,” ucap Pak Setya lagi.

Ucapan Pak Setya semakin membingungkan. Membuat Eveline tertegun.

Entah apa yang tiba-tiba terjadi, wajah Pak Setya berubah menjadi murung. Wajahnya yang tadi terlihat lembut dan teduh, seperti ada kekhawatiran yang melanda pikirannya.

Eveline mencoba menerka apakah beban pikiran Pak Setya ada kaitannya dengan Eveline atau tidak.

“Pak ... Pak Setya baik-baik saja?” tanya Eveline memecah lamunan Pak Setya.

Guru matematika itu langsung mengerjap-ngerjapkan matanya dan mengusap wajahnya. Lamunannya seketika buyar.

"Ah. Maaf," celetuk Pak Setya.

Eveline hanya bisa mengangguk sekali.

“Bagi saya, kamu istimewa. Lebih istimewa dari anak mana pun. Padahal, saya juga punya anak perempuan seusia kamu. Tapi, setelah saya melihat kamu di hari pertama mengajar kelas satu, saya seperti merasakan ikatan yang lebih dari seorang anak. Saya merada kalau kamu itu spesial. Lebih dari anak saya," jelas Pak Setya.

Penjelasannya memang terdengar setengah aneh dan setengah sangat tidak masuk akal. Bisa-bisanya dia mengatakan hal itu di saat Pak Setya sudah memiliki anak. Tentu saja ucapan Pak Setya akan terasa kurang pantas.

“Kalau anak Pak Setya dengar ucapan Bapak tadi, dia pasti sakit hati. Bapak harus bersyukur karena sudah memiliki anak yang baik dan sehat. Bagaimana pun dia, Bapak harus menyayanginya,” tukas Eveline sembari mengusap wajahnya yang mengantuk. Berbicara dengan Pak Setya, rasanya seperti memaparkan sebuah dongeng pengantar tidur.

“Saya sayang kok sama anak saya. Dia anak yang manis dan pintar. Ya, walau pun kadang dia susah diatur. Saya tetap bangga sama dia. Kadang, saya menyesal karena sering memarahinya. Tapi, bagaimana lagi? Dia hobi berkata kasar dan melawan omongan saya. Mungkin saya yang belum pandai memahami anak di usia kalian. Usia remaja,” jawab Pak Setya lagi.

Dahi Eveline mengerut.

“Jangan terlalu sering menyalahkan anak seusia kami, Pak. Kadang, orang dewasa lah yang belum bisa membaca apa yang kami maksud. Mereka sulit mengetahui apa yang kami inginkan. Pada akhirnya, situasi harus berakhir dengan pertengkaran. Saya harap Bapak bisa lebih bersabar. Saya nggak mau kalau bapak berubah menjadi seperti orang tua saya. Hanya bisa marah-marah setiap hari,” lanjut Eveline.

Eveline yang biasanya pendiam dan pemalu. Secara mengejutkan bisa memaparkan semua hal itu dengan gamblang. Seperti seorang ahli yang bisa membantu meringankan masalah orang lain.

Di saat seharusnya Pak Setya yang menasehati Eveline, justru hal yang sebaliknya terjadi. Pak Setya yang kini menjadi murid Eveline, anak remaja awal yang masih belajar banyak tentang kehidupan.

“Wah, kenapa obrolan kita berat sekali, ya. Hahahaha, saya nggak nyangka kamu bisa leluasa bahas masalah seperti ini,” gurau Pak Setya.

“Hehehe, iya Pak. Mungkin karena saya mengalami hal yang nggak biasa di rumah. Jadi, saya punya banyak kata-kata yang bisa saya sampaikan,” jawab Eveline singkat.

Pak Setya menyunggingkan sebuah senyuman sembari menatap Eveline yang terkekeh.

“Anggaplah saya ini ayah kamu. Yaaa .. Seperti ayah tiri kamu yang baik hati. Saya juga akan berusaha keras untuk melindungi kamu,” tukas Pak Setya dengan serius.

Eveline tertawa mendengar ucapan Pak Setya. Entah apa yang terjadi, guru matematikanya menghampirinya hanya untuk mengatakan bahwa dia akan melindungi Eveline. Seperti ada maksud tersembunyi. Tapi, hati baik Eveline tak keberatan menerima niat baik itu dengan hati yang terbuka lebar.

“Siap, Pak Guru! Hahahaha ... Terima kasih, Pak. Seumur hidup saya belum pernah menemui sosok laki-laki dewasa yang akan sebaik ini kepada saya. Sosok yang bisa mengisi peran seorang ayah untuk saya,” ucap Eveline. Matanya sedikit berkaca-kaca.

Ada rasa haru di hati Eveline.

Meski pun obrolannya dengan Pak Setya tak menentu, hatinya terasa diisi oleh orang yang menyayanginya sebagai seorang anak kesayangan. Memang itulah yang selalu dirindukan oleh Eveline sejak dahulu.

“Kalau begitu, kamu lanjutkan saja istirahatnya di sini. Saya keluar sebentar dan mau langsung ke kelas. Kalau kamu masih sakit, kamu boleh izin di mata pelajaran saya minggu depan. Pastikan tubuhmu pulih terlebih dahulu,” Pak Setya lagi-lagi menunjukkan kepeduliannya.

Eveline menganggukkan kepalanya. Tidak lupa senyumannya juga turut menghiasi wajah pucatnya yang lesu.

Pak Setya beranjak dari kursinya. Bersiap meninggalkan Eveline seorang diri di ruang UKS.

"Saya tingga dulu, ya," pamit Pak Setya.

Tap ..

Tap ..

Suara langkah kaki yang hampir sama dengan langkah Pak Setya terdengar mendekati ruang UKS.

Suara sepatu terdengar semakin jelas dengan hentakan sepatu pantofel yang khas.

“Eh, Pak Setya?” sapa Bu Latri, salah satu guru BK di sekolah itu. Sosok wanita berwibawa itu tiba-tiba memasuki ruang UKS dengan beberapa carik kertas di tangannya.

“Bu Latri, jadwal piket di UKS, ya?” tanya Pak Setya lembut.

“Iya, Pak. Kebetulan Bu Widia lagi cuti. Jadi saya yang gantikan,” jawab Bu Latri.

“Oh, kalau begitu, saya titip murid saya ya, Bu. Dia lagi sakit perut. Saya cuma bisa jenguk sebentar karena kelas saya masih belum selesai. Tolong jaga Eveline baik-baik ya, Bu,” kata Pak Setya memohon.

Eveline masih mendengarkan percakapan dua guru itu dengan mulut terkunci.

“Siap, Pak. Jangan khawatir,” jawab Bu Latri singkat.

Pak Setya segera meninggalkan ruangan UKS dengan sebuah senyuman yang dilemparkan kepada Eveline sebelum dirinya benar-benar pergi. Sebuah senyuman yang menandakan ucapan sampai jumpa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status