Share

Bertemu Kembali

"Kita mau kemana, Ma?" tanya Kania saat kami sedang dalam perjalanan. Rencananya aku akan membawa Kania pergi ke rumah Ibu dan Ayah.

Biasanya aku akan membawa dia ikut serta ke kantor. Tapi hari ini banyak sekali pekerjaan dan juga ada pertemuan dengan beberapa klien penting. Jadi aku tidak mungkin membawa Kania pergi.

"Kita mau ke rumah Nenek dan Kakek dong. Kamu senang nggak?" tanyaku balik yang dibalas anggukan kepala oleh Kania. 

"Senang dong. Nanti aku mau ajak kakek buat mancing ikan," jawab Kania lagi sambil bersorak hore. 

Di belakang rumah Ibu dan Ayah, memang terdapat kolam ikan kecil. Ayah sengaja membuat kolam itu agar bisa memelihara ikan. Jadi kalau Ayah dan Ibu ingin makan ikan bakar. Mereka bisa langsung mengambilnya di sana. Katanya lebih segar dan enak. Semenjak itulah Kania suka sekali pulang ke sana. Karena dia akan ikut mengambil ikannya.

"Nanti bilang sama Kakek, sisain ikannya buat mama satu ya," ucapku sambil fokus menyetir. Untung saja ada Nisa yang menangani pekerjaanku dulu. Jadi aku masih mempunyai waktu untuk mengantar Kania ke rumah Ayah.

"Tadi kenapa nenek marahin Mama?" tanya Kania tiba-tiba. Aku sampai tidak tahu harus menjawab apa.

"Kapan?"

"Tadi. Pas Mama nyuruh aku masuk ke mobil," jelas Kania lagi. Ternyata dia mendengar pertengkaran kami tadi pagi. Suara Ibu Mas Dito emang sangat besar dan lantang. Pantas saja jika Kania bisa mendengarnya.

"Itu bukan marahin, Sayang. Nenek cuma bicara sedikit besar, jadi kayak orang lagi marah-marah," jawabku memberi pengertian pada Kania. Aku sangat takut jika nanti di rumah Ayah, dia menceritakan kejadian tadi.

Karena selama ini, aku tidak pernah menceritakan bagaimana rumah tanggaku pada Ibu dan Ayah. Aku terlalu malu untuk bercerita bagaimana kondisiku gini. Karena Ayah dan Ibu sudah pernah melarangku untuk tidak menerima lamaran Mas Heri dulu. Jadi untuk sekedar bercerita atau meminta saran saja. Aku sungkan.

Setelah menempuh perjalanan sekitar dua puluh menit. Akhirnya aku sampai juga di pekarangan rumah Ibu dan Ayah. Mereka memang memiliki dua rumah. Yang satu adalah rumah di mana tempat aku tinggal bersama Mas Dito. Yang satu lagi rumah yang mereka tempati sekarang. Bedanya, rumah di sini terlihat lebih asri dan nyaman. Karena Ayah suka menanam tanaman hias.

"Assalamualaikum, Bu," ucapku ketika baru saja sampai di depan rumah.

"Waalaikumsalam," sahut Ibu dari dalam. Terdengar suara kunci yang diputar, lalu tidak lama kemudian pintu terbuka. 

"Ih cucu nenek datang. Ayo masuk dulu, kebetulan hari ini nenek bikin donat," ucap Ibu antusias menyambut kedatangan kami. 

Ibu langsung menggendong Kania dan membawanya masuk. Sedangkan aku membawa beberapa mainan Kania dan tas miliknya. Yang berisi susu dan juga perlengkapan pakaian.

"Bu aku titip Kania dulu ya. Soalnya aku mau pergi ke kantor," ucapku ketika sudah ada di dalam.

"Memangnya suami kamu kemana. Biasanya juga tinggal sama Ayahnya kan?" tanya Ibu sambil menurunkan Kania dari gendongannya.

"Mas Dito hari ini ada kerjaan, Buk. Makanya aku bawa Kania kesini," jawabku berbohong. Aku memang tidak berani untuk mengatakan yang sebenarnya.

"Udah kerja suamimu?" tanya Ibu lagi sambil menatapku. Mungkin inilah insting seorang Ibu, dia akan tahu jika anaknya berbohong.

"Katanya sih udah, Bu. Makanya hari ini aku bawa Kania kesini," jawabku mengalihkan pandangan ke arah lain. Aku tidak bisa membalas tatapan Ibu.

"Baguslah kalau begitu. Kania tinggal sama nenek ya," seru Ibu lagi sambil mencubit gemas pipi Kania.

"Ya udah, Bu. Kalau gitu aku pergi dulu ya. Soalnya ini juga udah telat," pamitku. Aku meraih tangan Ibu dan menciumnya takzim. Setelah itu aku langsung melenggang pergi keluar untuk menuju ke kantor.

"Kamu hati-hati. Karena kalau lagi banyak pikiran sambil nyetir mobil itu bahaya," seru Ibu yang membuat langkahku hampir terhenti. 

Sepertinya Ibu tahu jika aku sedang ada masalah dengan Mas Dito. Tidak mungkin jika Ibu menyuruhku hati-hati jika tidak tahu masalahnya. Tapi Ibu tahu dari mana ya, karena setahuku. Aku tidak pernah menceritakan masalah ini kepada siapapun.

"Iya, Bu. Salam untuk Ayah, nanti sore aku jemput Kanianya," jawabku sambil membuka pintu mobil. 

"Huufftttt." Aku menghembus nafas kasar beberapa kali. Rasanya aku lelah sekali dalam beberapa hari ini. Padahal tidak ada pekerjaan berat yang aku lakukan.

Baru saja aku keluar dari pekarangan rumah Ayah dan Ibu. Aku melihat Bik Minah yang sedang jalan kaki sambil membawa beberapa kantong plastik di tangannya. Dengan cepat aku langsung menghentikan laju mobil. Karena kebutuhan sekali bertemu dengan Bi Minah di sini.

"Bik Minah. Ibu mau ke mana?" tanyaku menghampirinya yang kebetulan berhenti karena terhalang dengan mobilku.

"Eh Non Rosa. Ya ampun, Bibik nggak nyangka bakalan jumpa di sini," jawab Bi Minah membalas rangkulan tanganku.

"Sebelumnya maaf ya, Bik. Aku nggak tahu apa-apa tentang pemecatan itu. Aku pulang dari kantor tiba-tiba Bibik udah nggak ada," ucapku meminta maaf.

"Nggak apa-apa, Non. Bibik ngerti kok. Yang pecat juga bukan Non Rosa," jawab Bi Minah lagi yang semakin membuat hatiku terenyuh.

"Terus Bi Minah ini mau ke mana?" tanyaku sambil mengedarkan pandangan ke arah lain. Mencari rumah mana yang bi Minah tinggali.

"Loh memangnya Non Rosa nggak tahu. Bibi kan sekarang kerja di rumah Ibunya, Non." Jawaban Bik Minah membuatku sangat terkejut. Apa mungkin Bik Minah sudah menceritakan semuanya pada Ibu. Makanya Ibu sampai tahu jika aku sedang ada masalah.

"Aku nggak tahu, Bik. Kok bisa?" 

"Iya kemarin itu pas Bibik mau pulang kampung. Kebetulan jumpa sama orang tuanya Non Rosa. Jadi Bibik ceritakan aja semuanya, makanya Ayah dan Ibunya Non suruh tinggal sama mereka aja," jawab Bik Minah menjelaskan.

Dari jawaban Bi Minah barusan, aku semakin yakin jika Ibu dan Ayah tahu permasalahanku saat ini. Nanti sore aku akan menjelaskan semuanya pada mereka. Sekalian aku menjemput Kania pulang.

**

"Bu Rosa, kliennya sudah datang. Mereka sedang menunggu di ruang rapat," ucap Nisa ketika aku sedang menandatangani beberapa proposal.

"Iya ini saya segera ke sana," jawabku sambil menyimpan berkas ke atas meja. Nisa yang sudah keluar duluan segera aku susul.

Biasanya yang akan menangani proyek sepenting ini adalah Devan. Namun kali ini dia pergi ke luar kota untuk pekerjaan bisnis juga. Jadi terpaksa aku harus mewakilinya kali ini. Nisa adalah sekretaris Devan yang kedua di sini. 

Begitu aku membuka pintu ruang rapat, tubuhku langsung kaku. Karena yang ada di dalam sini adalah Al. Ternyata dia mengambil alih perusahaan Papanya. Aku tidak menyangka jika akan bertemu dengannya di sini. Pertemuan terakhir kami saat dia datang ke resepsi pernikahanku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status